Pengantar ke dalam Metode Mengembangkan Kemampuan
Otak Kanan
"Masa Depan" adalah masa yang menjadi idaman setiap
orang. Dan masa depan itu pastilah diidamkan sebagai sesuatu masa
yang indah, makmur, sejahtera, bahagia. Masa depan adalah cita-cita
dan harapan. Tiap orangtua tentu berharap bisa memberikan
masa depan yang terbaik untuk anak-anak mereka.
Apakah itu sesuatu yang wajar dan bisa dicapai dengan
mudah? Pengalaman dan realitas membuktikan bahwa hal itu tidak mudah.
Orangtua yang merasa harus memberikan Masa Depan terbaik
bagi putra-putrinya ini sering kali lupa bahwa Masa Depan bukanlah
milik mereka atau milik siapa pun.
Memang, Masa Depan bukan milik siapa pun. Masa Depan
adalah suatu masa yang tidak bisa kita raba, kita rasakan, kita
tentukan, kita pastikan, apalagi kita berikan!
Jadi omong kosong kalau orangtua akan memberikan
Masa Depan terbaik untuk anak-anaknya. Memberikan Masa Depan
berarti memberikan impian atau lamunan. Masa Depan itu serba tidak
pasti. Tidak jelas apakah hijau, merah, ataukah kuning. Dan bila
orang lantas terpaku pada sesuatu yang tidak pasti, mengimpikan
Masa Depan itu, yang terjadi justru kehancuran. Mengapa? Karena
orang tidak lagi memperhatikan dan tidak menyadari hidup Masa Sekarang
yang sedang dijalaninya dari detik ke detik.
Jadi bagaimana?! Apakah kita masih terus berharap
memberikan, merebut, dan memimpikan Masa Depan itu?
Selama ini mungkin kita sangat terbiasa dengan istilah
Masa Depan sebagai suatu istilah yang menggambarkan harapan indah.
Gambaran keberhasilan Masa Depan adalah gambaran tentang suatu hidup
yang berjalan secara penuh perhitungan, matematis, rasional, objektif,
realistis, dan logis.
Masa Depan seolah tidak layak digambarkan sebagi
sesuatu yang kabur, kualitatif atau tidak sistematis. Menurut
pendapat sementara orang, Masa Depan harus pasti. Harus logis. Masa
Depan tidak bisa digambarkan sebagai suatu lukisan abstrak yang
kita sendiri tidak tahu artinya. Manusia menuntut suatu gambaran
tentang Masa Depannya sebagai sesuatu yang pasti, jelas, dan harus
bagus.
Itulah gaya manusia hidup: ingin segala sesuatunya
serba pasti dan terukur. Kita seakan menuntut bahwa segala hal dalam
hidup kita harus masuk akal, termasuk Masa Depan. Kita tidak akan
dan tidak mau menerima begitu saja penjelasan bahwa Masa Depan itu
adalah sesuatu di luar jangkauan kita untuk menentukannya. Begitu
pula kita tidak akan terima bila seseorang mengatakan bahwa Masa
Lalu adalah sebuah impian yang selayaknya tidak mengganggu kehidupan
kita di Masa Sekarang.
Kebanyakan orang sering kali hidup di Masa Depan
atau justru hidup di Masa Lalu. Inilah orang-orang yang mati
dalam kehidupannya.
Kembali kepada Masa Depan, setiap orangtua yang ingin
memberikan Masa Depan terbaik bagi putra-putrinya, secara spontan
juga akan berpikir bahwa itu berarti menyediakan pendidikan terbaik,
akomodasi terbaik, makanan yang terbaik (bergizi), dan, kalau memungkinkan,
permodalan dalam bentuk materi yang cukup.
Hal seperti itu seolah menjadi naluri kebanyakan
orangtua. Orangtua memberikan kepada anak-anaknya harapan bahwa
Masa Depan itu adalah sesuatu yang indah, sejahtera dan membahagiakan.
Dan untuk menggapai hal itu, si anak haruslah rajin belajar, bekerja
keras, dan berpikir secara logis dan rasional. Jangan menjadi pemimpi
dan pengkhayal bila ingin mendapatkan Masa Depan yang indah tadi.
Itu pesan standar para orangtua yang selama ini kita
dengar.
Dalam pandangan umum, pendidikan formal merupakan
jalan tol bebas hambatan menuju Masa Depan. Ilmu matematika, aritmatika,
fisika, kimia, dianggap merupakan kunci utama membuka pintu Masa
Depan yang cerah dan gemilang. Dan biasanya, dengan pendidikan formal
yang terjamin mutunya, orangtua sedikit terhibur atau bahkan merasa
pasti bahwa Masa Depan putra-putrinya pasti aman.
Kehidupan manusia saat ini memang didominasi oleh
materi. Masa Depan cemerlang pun artinya adalah materi yang berlimpah
dan hidup sejahtera. Manusia tergila-gila pada sesuatu yang logis,
rasional, dan segala sesuatu dalam kehidupan haruslah masuk akal.
Kondisi manusia saat ini jauh dari paradigma ideal. Manusia makin
rapuh dan lemah secara mental. Manusia Indonesia merasa gagah secara
fisik karena bisa menghadirkan teknologi dirgantara. Padahal di
Barat orang justru mulai sadar bahwa teknologi bukanlah segalanya
di dalam kehidupan.
Bahkan pada salah satu seminar tentang penelitian
ilmu medis di Amerika, pernah diungkapkan bahwa dalam ilmu pengobatan
medis modern hanya kurang lebih 25% yang bisa dipertanggunggjawabkan
secara ilmiah dan selebihnya adalah suatu tindakan trial
dan error (coba-coba). Sementara itu kita menganggap ---bahkan
menggantungkan hidup kita!--- justru dari tindakan medis modern
yang kita klaim adalah segalanya.
Fenomena tentang Masa Depan seperti diperbincangkan
di atas adalah suatu keadaan yang menjelaskan betapa rapuhnya manusia
menata konstruksi rumah kehidupannya. Fenomena ini sangat
jelas terbentang di bumi Indonesia. Dan dari berbagai kondisi di
lapangan dan hidup sehari-hari, terpapar secara gamblang bahwa manusia
Indonesia adalah mahluk yang diharapkan sepenuhnya logis, rasional,
sistematis bahkan matematis. Di sisi lain kita seolah berusaha menutupi
keadaan sebenarnya. Kita menyebut diri sebagai manusia religius
yang sangat taat kepada Tuhannya.
Sekali lagi ini menunjukkan rapuhnya tatanan kehidupan
kita. Religius di dalam pengertian kita adalah spiritual.
Dan kehidupan spiritual ala Indonesia itu lalu berjalan seperti
sebuah hapalan, memorisasi yang diulang-ulang tanpa makna.
Selain penggambaran Masa Depan yang salah kaprah.
Sistem pendidikan juga kehilangan esensinya dan hanya bergantung
kepada metode memorisasi. Ini justru menciptakan lebih banyak lagi
kerapuhan di dalam kehidupannya. Sebagian pemikir mengatakan bahwa
manusia kehilangan arah, rapuh, dan lemah karena melenceng dari
fitrahnya. Manusia kehilangan identitas dan jati dirinya.
Perburuan teknologi yang berlebihan membuat manusia
lupa kepada asal usulnya. Hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan
fisik maupun psikis. Ketika manusia semakin mengejar teknologi untuk
mencoba menyelamatkan hidupnya. Manusia justru makin terperosok
lebih jauh ke dalam kerapuhan mental dan kelemahan hidup.
Kita bisa melihat bahwa ketika agama mencapai puncak
kejayaannya sebagai sebuah lembaga. Di bagian lain manusia yang
mengaku penganut setia agama justru menjadi buas dan tindakannya
sangat berlawanan dengan ajaran agama itu sendiri. Itu terjadi dengan
begitu saja dan sering kali peristiwa kebuasan manusia itu justru
dipoles dengan tradisi serta lambang keagamaan untuk mensyahkan
perbuatan itu. Hal ini akan terjadi ketika manusia mempelajari atau
mengakses agama hanya sebagai sebuah ritual, seremonial,
dan tanpa pemahaman secara spiritual, yang memang memerlukan
pemikiran lebih dari sekedar menghapal dengan bagian otak kiri,
yang rasional dan logis itu. Tapi manusia kita saat
ini memang hanya mengerti cara tersebut. Agama saat ini hanya menjadi
label dan kemasan agar orang yang bersangkutan tampil rapi serta
memenuhi syarat sebagai seorang warga negara, itu saja!
Spiritualitas menjadi barang langka dan terasa sangat
jauh dari jangkauan. Sementara orang di Barat yang dianggap sebagai
biang teknologi justru menyadari bahwa hidup ini haruslah punya
nuansa spiritual. Kita yang di Timur, yang katanya merupakan gudang
spiritualitas, malah menganggap hal-hal yang spiritual sebagai mistik,
klenik, dan omong kosong yang tidak perlu dipikirkan.
Sebaliknya di sisi lain kita tergila-gila pada takhayul,
pada kekuatan gaib yang memungkinkan suatu tindakan fantastik, menebarkan
asap berwarna-warni, suara-suara yang tidak jelas berasal dari mana
dan keajaiban lainnya. Tidak sedikit masyarakat kita yang percaya
akan kesaktian keris yang mampu menolak bala, batu cincin
atau akik tertentu yang membawa berkah dan nasib baik, dan
di berbagai majalah selalu ada ramalan tentang masa depan berdasarkan
horoskop, yang anda kritik dan cela tetapi diam-diam anda baca dan
ikuti saran dan ramalannya. Tidak jarang pula yang lari kepada dukun
atau paranormal begitu mendapatkan musibah yang secara medis modern
tidak terdeteksi. Bahkan ketika kita beribadah seringkali yang kita
katakan dalam doa adalah permintaan akan segala macam hal, dari
yang mungkin dan rasional sampai ke yang tidak masuk akal. Di dalam
kehidupan ini, kita kerap berdagang dengan Tuhan, kita membuat
pahala, beramal dan membuat kebaikan-kebaikan yang sebenarnya kita
dasari pamrih untuk mendapatkan sesuatu kelak. Kita tidak pernah
beribadah dengan alasan hanya Kasih atau Cinta saja.
Makin lama kita makin rapuh, pertama kali mungkin
secara mental dan psikis. Lalu sesudah itu kita rapuh secara fisik.
Fisik yang eksistensinya didukung oleh psikis pada akhirnya akan
rusak dan tidak mampu menyangga sendiri eksistensinya.
Tidak ada jalan lain bagi siapa pun untuk mendapatkan
hidup yang berkualitas selain memulai keseimbangan, memahami spiritualitas,
dan kehidupan sebagaimana adanya.
Harus ada yang mau mulai memahami bahwa tindakan
medis adalah salah satu upaya. Bukan segalanya! Dalam hal ini harus
diakui bahwa, setiap tahunnya, di Amerika ada 10 ribu orang mati
karena kesalahan tindakan medis yang 75% berupa trial and error.
Juga harus ada yang mulai mau menyadari bahwa agama
bukan sekedar identitas, hapalan, atau negosiasi belaka. Agama juga
bukan sebuah lembaga bisnis yang gemerlapan sehingga harus
bersaing untuk mendapatkan banyak pengikut.
Agama adalah suatu ajaran yang akan menuntun kita
menempuh jalan keseimbangan untuk mendapatkan hidup berkualitas,
bukan sekedar pahala atau kapling di surga.
Hidup berkualitas berarti sehat secara tubuh, pikiran,
dan jiwa/roh. Ini membutuhkan pemahaman, disiplin, dan maksimalisasi
pada proses, bukan hasil akhirnya (baca buku: Body Approach -
Mengembangkan Potensi Tubuh, Pikiran dan Jiwa).
Sistem pendidikan di masa lalu sampai saat ini (2002)
berorientasi kepada isi dan bukan pada proses belajarnya sendiri.
Yang ingin dicapai adalah hasil akhir berupa prestasi atau nilai
tertinggi dan secara lebih jelas lagi, gelar, dan ijasah! Acuan
utamanya adalah memorisasi, hapalan. Para peserta pendidikan di
seluruh tingkatan formal dituntut untuk mampu dan mahir di dalam
hapalan serta memiliki sistem memorisasi yang baik. Itulah parameter
keberhasilan yang saat ini dipakai dalam sistem pendidikan kita.
Seseorang yang tidak memiliki kemampuan memorisasi cukup tinggi,
akan terdaftar dan terdata sebagai kurang berhasil di dalam pendidikan.
Ini suatu vonis yang akan berlangsung seumur hidup dan mempengaruhi
seluruh kehidupannya kelak.
Memorisasi dianggap sebagai sebuah produk utama yang
akan menunjang keberhasilan seseorang di masa depan. Ini sudah menjadi
semacam hukum tak tertulis di masyarakat: seseorang yang daya ingatnya
agak rendah artinya bodoh. Padahal memorisasi adalah produk mental
dengan kadar yang terendah dan terhitung primitif. Hal ini dibuktikan
dengan perkembangan teknologi yang kian mampu menggantikan kecanggihan
memorisasi manusia bahkan mengalahkannya secara telak. Manusia sekarang
sudah hampir tak berdaya bila diadu kecepatannya menghitung dengan
kalkulator. Belum lagi komputer yang mampu menyimpan sekian megabyte
data dan mengeluarkannya lagi seketika dengan tepat hanya dengan
menyentuh satu atau dua tombol keyboard. Dibanding dengan
alat-alat modern, memorisasi manusia tidak ada apa-apanya.
Kehidupan berkualitas tidaklah ditentukan oleh seberapa
hebatnya kita menghitung, seberapa besar kapasitas memori otak kita.
Kehidupan berkualitas ini justru diukur dari hal-hal sederhana mendasar,
misalnya; seberapa banyak kita menghakimi orang lain pada hari ini,
seberapa sering kita mengucapkan terima kasih, atau seberapa banyak
waktu yang kita gunakan untuk sepenuhnya menyadari tindakan-tindakan
kita?
Sayangnya, hal-hal seperti itu justru tidak menjadi
perhatian kita. Itu adalah hal-hal yang sepele, remeh. Mungkin itu
adalah pendapat anda bila melihat parameter kualitas hidup. Tapi
benarkah hal-hal di atas adalah hal sepele dan mudah dilakukan siapa
saja, termasuk anda sendiri?
Cobalah anda melakukannya hari ini. Cobalah dengan
memulai tersenyum pada setiap orang yang anda jumpai hari ini. Setelah
itu cobalah mengucapkan terima kasih pada setiap pengamen dan pengemis
yang anda beri sedekah. Bukankah ini hal sederhana yang mudah dilakukan?
Mulailah dengan hal yang termudah sebelum anda belajar hal-hal yang
mungkin lebih sulit.
Proses belajar adalah sesuatu yang seharusnya dijadikan
fokus dari keseluruhan pendidikan. Dalam proses terletak esensi
pelajaran itu sendiri. Bagaimana seseorang memulai membentuk pikiran
untuk melakukan suatu proses panjang tentang berpikir suatu hal,
adalah inti dari belajar itu. Berpikir dengan pola terbatas, setahap
demi setahap dengan orientasi pada hasil akhir adalah yang biasa
kita pakai. Cara belajar semacam ini merupakan produk yang mengarahkan
seseorang untuk berpikir vertikal. Hal ini sangat membatasi orang
itu karena terbiasa dengan pola berpikir menunggu satu arah jelas
yang relevan, baru menggulirkan pikiran yang berikutnya.
Berpikir secara vertikal ini memang efektif, tapi
ini bukanlah cara berpikir yang lengkap. Dengan pola pikir vertikal,
kita hanya terarah pada satu tujuan yang memang sudah dipolakan.
Kita tidak memiliki alternatif selain mengulang pola tersebut, dan
bila pola itu tidak bisa dipakai, yang terjadi adalah kita terpaksa
mengulangi proses dari awal, setahap demi setahap lagi. Orang akan
menjadi sangat efektif tetapi juga kaku dan tidak berkembang.
Metode ilmu pengetahuan dalam pendidikan kita adalah
metode konflik. Pendidikan selalu berhubungan dengan masalah
pengkomunikasian gagasan. Gagasan ini diusahakan dari waktu ke waktu
selalu up to date dengan cara menggunakan konflik.
Konflik di sini digunakan untuk selalu memperbaharui gagasan demi
gagasan. Dipertentangkannya gagasan dengan informasi baru melalui
sebuah konflik adalah cara memperoleh gagasan dan informasi baru
yang mutakhir.
Dalam pola berpikir seperti ini, manusia sangat tergantung
dengan produk informasi dan gagasan yang harus terus diperolehnya
agar pendidikannya dapat berjalan. Bila suatu saat arus gagasan
yang mengalir tersendat, sistem pendidikan juga akan macet dan akibatnya
adalah terciptanya anak didik yang kurang secara kualitas maupun
kuantitas.
Cara ini telah dipakai dari waktu ke waktu. Cara
berpikir vertikal yang bertahap dan tidak menyeluruh merupakan
satu-satunya pilihan yang diberikan oleh pendidikan kita di sini.
Bila kita ingin sesuatu yang lain dan kemudian berusaha mencarinya
dari buku atau mengambil pendidikan di negara lain yang melengkapi
cara pendidikannya dengan metode tertentu, maka kita akan menjadi
produk aneh yang sulit beradaptasi di negara sendiri. Itulah keadaan
yang melanda kehidupan kita sekarang dengan sistem pendidikan metode
berpikir vertikal, rasional, dan memakai bagian otak kiri sebagai
tumpuan utama.
Berpikir sebagai suatu proses merupakan kerja mental.
Untuk itu dibutuhkan suatu pemahaman dan kecerdasan emosi tertentu
agar proses ini berjalan dengan kualitas yang baik. Bila berpikir
hanya menjadi suatu kerja otomatis yang didasarkan pada memorisasi,
yang terjadi adalah suatu kerja mental dalam kualitasnya yang terendah.
Hasilnya adalah suatu pengejawantahan informasi secara harfiah dan
mentah.
Proses berpikir cara ini bila ditumbuhkan di dalam
suatu masyarakat atau negara, tentu akan menimbulkan banyak dampak
sosial. Protes-protes tanpa ujung pangkal yang dimotori oleh para
provokator politik dan kelompok-kelompok yang menggunakan sarana
politik sebagai lahan bisnis merupakan salah satu bukti keberhasilan
sistem belajar cara ini. Dalam bentuk lebih kecil, cara bekerja
yang hanya mengandalkan ijasah dan sekedar berorientasi pada uang
adalah bentuk lain dari keberhasilan cara belajar memakai sistem
berpikir vertikal. Dalam segala bidang, penyusupan sistem ini bisa
sangat beragam, termasuk dalam hal ini adalah cara berpikir kita
yang seragam menganggap bahwa Masa Depan bisa diberikan kepada
putra-putri kita.
Di dalam situasi seperti inilah kita tumbuh dan berkembang,
sementara kaum terdidik dan yang berkepentingan dengan masalah pendidikan
secara langsung, juga mengalami pendidikan cara berpikir vertikal.
Maka yang terulang adalah suatu cara berpikir yang sama, meskipun
mungkin pernah terbersit suatu ketika bahwa sistem ini kurang lengkap,
namun kembali cara berpikir vertikal yang sudah ditanamkan sejak
bertahun-tahun tersebut melenyapkan pletikan informasi atau
gagasan baru tentang cara berpikir lainnya yang lebih lengkap tadi.
<< Persembahan || Mengubah
Pikiran - Mengembangkan Kemampuan Otak Kanan >>
|