Kembali ke Al-Quran
oleh: Mitos B. Aryanto (aryanto@indo.net.id)


Suatu hari seorang teman (sebut saja namanya Paijo) datang kepada saya. Ia mengajak saya berjalan-jalan dengan Be-M barunya. Katanya, mobil mewah itu merupakan pemberian ayahnya yang belakangan ini usahanya di bidang konstruksi bertambah maju. Sepanjang kami berjalan-jalan dari kawasan Kemang, lalu dilanjutkan ke Pandok Indah hingga ke Hard Rock Café, ia bercerita banyak tentang ayahnya yang sangat sayang kepadanya, sampai-sampai apa-apa yang ia minta selalu terpenuhi, dari mulai uang saku sebesar cicilan sepuluh RSS sampai 320-nya yang sekarang ini. Hidup si Paijo ini, di mata saya tidak pernah kekurangan. Bagaimana harus kekurangan, lha wong apa saja keperluannya tinggal meminta pada ayahnya.

Keesokan harinya, saya kedatangan seorang teman lain. Agus, namanya. Ia sudah bekerja pada sebuah perusahaan multinasional dengan gaji yang lumayan untuk ukuran kami-kami ini yang fresh graduate. Ia datang untuk memamerkan Kijang barunya yang katanya ia beli dari hasil kerjanya, yang baru tiga bulan. Sungguh mengagumkan memang. Seorang Agus yang lulus sarjana dengan IP 'nasakom' dapat dengan mudah meraih kesempatan menduduki posisi begitu 'basah' hanya dengan kelihaiannya memasarkan produk-produk buatan kantornya. Dan hal ini yang sangat menjadi kebanggaannya, sehingga ia tidak habis-habisnya berkata, "Berkat kerja kerasku…………………"

Ada yang mengusik hati nurani saya menghadapi kedua teman saya ini, yaitu tidak pernah terucapnya kalimat Alhamdulillah pada saat mereka dengan begitu bahagianya menyebutkan apa yang telah mereka terima, yang (mungkin) hanya menjadi mimpi tengah hari bolong bagi teman-teman mereka, termasuk saya. Agaknya belum terpikirkan oleh mereka bahwa semua itu datangnya dari Allah, dan bukan dari zat yang lain.

Si Paijo begitu menggantungkan segalanya pada sang ayah, hingga seakan-akan ia telah menuhankan ayahnya sendiri. Segala kebutuhan ia mintakan pada ayahnya, dan segala ucapan terima kasih ia kembalikan ke sana. Sedangkan Agus tampaknya lebih mengagungkan potensi dirinya, sehingga tidaklah mungkin ia bertindak seperti Fir'aun yang menuhankan dirinya, kekuasaan, harta, dan jabatannya.

Kesyirikan semacam ini, baik yang disengaja atau tidak telah mengantarkan manusia ke jalan yang tidak diridhoi Allah. Dan untuk mencegah hal-hal yang demikian, Allah telah mewanti-wanti umat Muhammad dengan membuka dan menutup Al-Quran dengan pesan-pesan yang sangat halus, yang tersurat dalam Al-Faatihah sebagai pembuka, dan An Naas sebagai penutupnya.

Dalam Faatihah, Tuhan mengawali Quran dengan suatu pelajaran tentang bersyukur; "Alhamdulillah hirrabil 'aalamiin" (segala puji bagi-Nya yang menguasai alam ini), yang disusul kemudian dengan petunjuk kepada siapa kita harus memohon, "Iyyaa kana'budu wa iyyaa kanasta'iin" (hanya kepadaMu kami menyembah dan mohon pertolongan).

Kemudian, Tuhan mengakhiri Quran dengan An Naas yang ayat pertamanya, "Qul a'uudzu birabbiinnaas" (Katakanlah aku berlindung kepada Tuhan yang memelihara manusia), yang mengingatkan kepada kita bahwa Allah-lah yang memelihara kita, sehingga kepadaNya lah kita sepatutnya bersyukur. Bukankah Allah telah memelihara kita dengan pemberian-pemberian yang baik? Pemberian itu dapat berupa apa saja; panca indera, kesehatan, jabatan, mobil, dan banyak lagi.

Dengan Al-Quran Allah seperti mengajak kita melakukan perjalanan yang sangat jauh, agar kita mengetahui segala sesuatu mengenai diri kita, alam, Tuhan, takdir, dan segala macam hal yang membuka cakrawala kita. Dari keseluruhan penjelajahan meniti ayat demi ayat itu, Gusti Allah telah membekali kita dengan halus di awal perjalanan, yaitu ajaran tentang bersyukur. Yang kemudian mengingatkan kembali di akhir perjalanan bahwa kita harus berterima kasih hanya kepadaNya.

Bapak, ibu, pimpinan, suami, guru, jabatan, uang, hanyalah sebagai suatu media yang tersedia di bumi yang digunakan oleh Tuhan untuk menyampaikan pemberian-pemberianNya, karena Ia tidaklah mungkin menurunkan BMW baru ke hadapan kita dengan begitu saja. Kita hanya harus lebih berpikir dengan nalar dan iman kita tentang hal itu.


Kembali ke halaman utama

mitos, 17 Maret 1997