Menggugat Pengkotakan Diri
oleh: Mitos B. Aryanto (aryanto@indo.net.id)


Dalam bergaul, saya itu termasuk orang yang susah. Selain susah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, saya orangnya gampang minder, selalu saja ingat sama yang namanya kekurangan. Betapa tidak, saya dengan mudahnya menjadi bisu kalau mesti berkumpul sama orang-orang yang derajat sosialnya jauh di atas saya. Apalagi jika saya harus menemui mereka di lingkungan elite yang menurut saya serba menjanjikan kemudahan, bahkan kemudahan untuk jauh dari yang namanya iman. Mungkin saya ini salah. Tapi itulah hasil yang saya terima dari didikan orang tua dan guru mengaji saya waktu saya masih kecil.

Saya ini tumbuh di lingkungan yang penuh kesederhanaan. Orang tua saya berasal dari Pekalongan, sebuah kota kecil yang sering disebut juga kota santri. Karena darah kesederhanaan santri itu mengalir kental pada diri orang tua saya, maka begitulah saya dididik. Saya dibiasakan untuk melihat dengan kacamata santri desa, yang sangat jauh dari apa yang namanya kehidupan glamour, yang lebih banyak memandang kehidupan kota besar itu sebagai kesenangan yang menipu.

Karena pandangan itulah saya kemudian memilih untuk bergaul di lingkungan yang adem-ayem, dalam irama suasana Islam yang selalu khusyuk beribadah walaupun belajar dan bekerja sekeras apapun. Namun ada bedanya antara cara pandang saya terhadap kehidupan islami yang dahulu dengan sekarang.

Dulu, ketika saya masih bocah, saya tidak pernah memikirkan bagaimana hubungan antara manusia itu harus dibina, bagaimana cara orang Islam bersikap terhadap kehidupan di luar Islam, atau bagaimana saya harus memahami fenomena sosial yang terjadi di lingkungan saya. Saya cuma tahu saya harus mengaji , belajar sholat, dan tidak melewatkan Ramadhan hanya dengan puasa bedug.

Lebih bertambah usia saya, saya mulai membangun suatu keakraban dalam atmosfir santri di lingkungan sekolah saya. Cuma itu saja. Caranya ya dengan mengajak teman-teman saya untuk mau bersama belajar agama, mengusulkan pada guru untuk mengadakan sholat Jumat di sekolah, atau dengan membuat kegiatan menyambut Ramadhan dan Maulid.

Tapi kemudian setelah pola pikir saya mulai terbentuk sejalan dengan usia yang bertambah untuk melihat kehidupan sosial di sekitar saya, saya mulai banyak menemukan benturan-benturan, yang disebabkan pandangan yang berbeda dalam pergaulan sesama muslim sendiri. Saya mulai tidak sejalan dalam pandangan dengan mereka yang menyebut dirinya santri-santri kampus, yang kadang menjadikan Islam sebagai agama yang tertutup dan ikut dalam kotak-kotak eksklusif pergaulan di kampus.

Saya tidak menutup mata, bahwa di dalam kampus tempat saya berjuang mencapai gelar sarjana itu ada semacam pengkotak-kotakan masyarakatnya yang menjadikan mereka sebagai gambaran jelas kehidupan nyata sekitar kita. Yang tergolong anak-anak gedongan ya mengelompok sendiri, begitu juga yang berstatus asisten dosen, anak band, bahkan yang berdarah keturunan pun adalah golongan tersendiri. Pokoknya, tidak ada pembauran di sana. Persaudaraan hanya sebatas kepentingan, kesamaan status sosial, warna kulit, bahkan fanatisme agama. Amatlah disayangkan bahwa para santri kampus itu ikut-ikutan dengan pengkotakan ini, mereka menjauhi bahkan kadang bersikap sinis terhadap rekan-rekan mahasiswa dalam kotak eksklusifisme yang lain.

Di sinilah saya mulai melihat apa artinya kesederhanaan dan nilai-nilai yang harus diikuti dengan pandangan ekstrim kaum saya sendiri. Kalau memang rekan-rekan yang anak gaul itu sering berada dalam totalitas keduniawian, mengapa tidak diajak dan dirangkul dalam atmosfir kesantrian tadi dengan cara yang lebih bisa diterima? Bukankah Nabi dulu tidak menjauhi sekelompok orang yang menyekutukan Allah agar supaya nilai-nilai Islam itu dapat diterima dengan terbuka?

Sering saya mengetuk 'pagar' mereka untuk sekedar bertamu dan bertukar pikiran dalam soal pengembangan agama. Dari situ saya menemukan bahwa pembatasan diri mereka itu kadang menyempitkan ruang gerak mereka sendiri dalam kehidupan kampus. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan anda jika anda dikuliahi panjang lebar tentang perjuangan kaum muslim hanya karena anda kuliah dengan mengenakan celana jeans yang menurut mereka produk orang Yahudi, padahal anda punya banyak bahan tambahan untuk ujian yang bermanfaat? Saya yakin anda tidak akan berbagi dengan mereka. Lalu, siapa yang akan rugi?

Sudah beberapa orang rekan yang mencoba mendobrak keadaan ini, untuk mencoba merubah pola pikir dan mengembalikan Islam dalam posisi ketulusan dan kesederhanaan santri sebenarnya, yang bergerak dalam pola perjuangan Nabi; tanpa menjauhi dan memusuhi. Saya cuma bisa mengembalikan semuanya kepada Allah, karena toh saya punya ketakutan juga bahwa pendapat saya ini salah. Subhanallah.


Kembali ke halaman utama

mitos, 25 Maret 1997