Berikan Aku Kerelaanmu, Ya Allah
oleh: Mitos B.
Aryanto (aryanto@indo.net.id)
Saya baru saja pulang dari menonton wayang londo, judulnya Jerry Maguire. Begini-begini menonton film adalah kegemaran saya yang paling utama. Untuk sejenak saya bisa melupakan kepenatan sebagai warga biasa yang hidup di metropolitan. Dan untuk sejenak pula saya bisa menjadi raja, duduk santai tanpa ada yang memperhatikan, nyeruput minuman dingin, dan menatap wajah-wajah bintang dunia tanpa takut yang punya wajah itu marah kepada saya. Hidup di dalam ruangan bioskop itu memang mengasyikkan, walau kadang timbul juga perasaan tidak enak di hati saya.
Anda bayangkan, saya itu punya dua tempat yang paling menjadi favorit saya untuk mengunjungi dunia Hollywood. Tempat yang satu letaknya tidak jauh dari kawasan perdagangan Blok M. Tempat itu dulunya adalah komplek perumahan prajurit, yang sebagian anak-anak mereka adalah kawan saya sekolah. Saya ingat betul wajah-wajah ceria mereka kalau pergi ke sekolah dengan nebeng truk loreng, betapa bahagianya. Saat ini saya tidak tau kemana lagi mereka dan apakah mereka masih bisa melepas tawa seperti itu lagi.
Dan tempat menonton yang satunya lagi adalah di kawasan elite Pondok Indah, yang beberapa tahun lalu cuma hamparan tanah kosong yang ditumbuhi ilalang tempat saya dan beberapa teman bermain layangan atau mencari belalang untuk praktek biologi di sekolah. Pokoknya tempat itu tempatnya keceriaan 'anak-anak kampung' di tengah-tengah kemewahan orang lain.
Tapi bukan itu yang mau saya sampaikan kepada Anda. Bukan masalah penggusuran apalagi perbedaan status yang menyebabkan keterhimpitan sebagian dari saudara-saudara kita. Saya cuma mau cerita sedikit tentang film yang saya tonton itu, Jerry Maguire.
Si J itu kerja sebagai agen atlit-atlit top di Amerika sana. Anda tahu, profesi seperti itu membutuhkan jiwa pengorbanan yang sangat besar. Bagaimana tidak, mereka dengan giat bekerja memutar otak dan 'mbanting balung hanya untuk kesuksesan orang lain. Mereka hanya menjadi orang-orang yang tersembunyi. Dan banyak profesi yang demikian itu, bahkan di negeri kita ini. Selain agen atlit, juga ada agen model, penyanyi, bintang film, dan lainnya lagi.
Tidak hanya profesi-profesi yang demikian itu yang menjadikan seseorang menjadi pemain di balik layar. Guru, dokter, akuntan, bahkan orang tua, suami, atau isteri bisa saja menempati posisi tersebut. Dan kalau dilihat, dari mereka itu ada yang sengaja menyembunyikan diri, ada yang memang tidak kelihatan, atau malahan ada yang disembunyikan. Kita lihat saja Si J. Dia itu menjadi orang atau bagian yang tidak kelihatan dari sosok atlit top Amerika di mata masyarakat sana karena memang demikian. Lain halnya dengan misalnya seorang pawang hujan yang bekerja untuk seorang pejabat di Jakarta yang hendak mengadakan kunjungan ke arena outdoor. Dia itu memang sengaja disembunyikan dengan berbagai alasan.
Bagi saya mereka-mereka itu bukanlah sesuatu yang menyita pikiran saya sehingga saya perlu meuliskannya sebagai Renungan seperti ini, kalau saja beberapa dari mereka yang saya kenal banyak mengeluh tentang keadaannya. Saya bekerja selama lima tahun sebagai fotografer model dan telah banyak teman-teman saya, baik fotografer atau agen model yang mengeluh jika anak didik mereka memperoleh kemajuan luar biasa. Banyak model negeri ini yang menjadi sangat popular bahkan di manca negara berkat kerja keras, kejelian dan polesan fotografer dan agen model mereka. Tapi banyak pula yang lalu melupakan sang tokoh di balik layar itu.
Bukan hanya di situ. Di berbagai pengajian saya pun sering bertemu dengan sosok orang-orang yang kadang mengeluhkan keadaan mereka yang bisa melahirkan kesuksesan dan kekayaan bagi orang lain tetapi tidak pernah menerima sedikitpun bagian dari buah yang telah dihasilkan.
Hati saya menjadi gelisah jika mendengar keluhan-keluhan mereka itu, yang merasa dikucilkan dan ditinggalkan, padahal mereka telah berbuat banyak untuk sesuatu yang seharusnya dapat memberikan sesuatu pula kepada mereka. Keluhan-keluhan seperti inilah yang sebenarnya justru dapat menghambat kemajuan diri mereka sendiri, baik dalam profesi maupun keimanan.
Dan untuk menghindari kegelisahan itu saya biasakan diri untuk kembali mengingat dan berdoa kepada Allah, "Ya, Allah. Sungguh banyak di antara kami yang meninggalkanmu. Sungguh banyak di antara kami yang lebih berterima kasih kepada uang, atasan, atau jabatan kami. Sungguh banyak di antara kami yang menempatkanmu di sudut kecil saja dari ingatan kami. Tapi Engkau tidak pernah mengeluh. Engkau tidak pernah meninggalkan kami karena itu. Sungguh Engkau zat yang Maha Agung. Berilah kami ini sedikit saja kerelaanMu itu, ya Allah. Beri kami sedikit saja kesabarnMu itu, ya Rabbi. Sungguh kami ini bukan siapa-siapa di hadapanMu."
mitos, 1 April 1997