ANTARA, 05/07/07 17:51
Melacak Jejak Oknum Intelektual RMS dalam "Kekacuan"
Harganas Ambon
Oleh Daniel Leonard dan Dien Kelilauw
Ambon (ANTARA News) - Kondisi dan situasi keamanan yang kian kondusif
pascakonflik kemanusiaan 19 Januari 1999 di bumi Maluku, khususnya di Kota
Ambon, mendapat ujian berat pada puncak perayaan Hari Keluarga Nasional
(Harganas) XIV di Ambon, 29 Juni lalu.
Hajatan nasional yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu
Negara bersama beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para Gubernur,
Walikota serta Bupati se-Indonesia itu tercoreng oleh ulah 29 "penari liar" yang tampil
tiba-tiba dan sempat mengibarkan bendera sebuah kelompok separatis.
Kepala Negara dalam kesempatan itu memberikan reaksi keras dan memerintahkan
aparat terkait untuk melakukan investigasi khusus terhadap kasus tersebut. Ternyata
para penari liar tersebut adalah kelompok seperatis Republik Maluku Selatan (RMS)
yang mencoba memanfaatkan momen besar itu untuk menarik perhatian publik.
Kasus yang menghebohkan republik ini sempat menimbulkan polemik dan tanda
tanya di berbagai kalangan, bahwa siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab
dalam insiden tersebut?
Tim ivestigasi Mabes TNI yang dipimpin Sesmenkopolhukam Letjen (TNI) Agustadi
Sasongko bersama Asops Kasum TNI, Mayjen (TNI) Bambang Darmono bersama
sejumlah perwira lainnya turun langsung ke Lapangan Merdeka Ambon, melakukan
investigasi atas lolosnya penari Cakalele liar acara itu.
Mereka meninjau lapangan Merdeka Ambon yang menjadi pusat peringatan puncak
Harganas XIV, juga meminta penjelasan dari Pangdam setempat, Mayjen TNI
Sudarmaidy dan Kapolda Maluku, Brigjen Pol Drs. Guntur Gatot Setiyawan, terkait
dengan lolosnya para penari liar ini.
Evaluasi tim ini tidak lain untuk mencari tahu siapa sebenarnya pihak yang paling
bertanggungjawab dalam peristiwa paling memalukan tersebut. Atas peran-peran
siapa sehingga para penari liar itu bisa berada di tengah lapangan, menembus
lapisan-lapisan pengamanan RI satu, bahkan pemimpin grup penari Cakalele tersebut,
Johan Teterissa, ternyata juga memiliki ID Card (kartu pengenal) untuk acara besar
itu.
"Saya tetap akan bertanggungjawab dalam peristiwa ini termasuk membentuk sebuah
tim investigasi untuk melakukan pemeriksaan secara internal, apakah ada anggota
TNI yang terlibat atau tidak. Kalau terbukti mempunyai andil dalam kasus ini akan
diberikan sanksi tegas," kata Pangdam Sudarmaidy dalam rapat kerja dengan DPRD
Maluku bersama Guberenur, Kapolda, dan panitia Harganas di Ambon, Rabu malam
(3/7).
Pembentukan tim investigasi internal Kodam Pattimura ini beranggotakan Komandan
Korem dari Maluku Utara dan sejumlah anggota Polisi Militer yang tidak terlibat dalam
anggota pengamanan Harganas agar mereka benar-benar netral dan bisa bekerja
secara optimal.
Tujuannya, kata Pangdam, untuk mencari tahu bagaimana sampai pemimpin grup tari
liar, Johan Teterisa, yang notabene merupakan seorang guru di desa Aboru,
Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, bisa memiliki ID Card sementara
pihak Kodam sendiri tidak mengetahuinya.
"Kami ini tim tari yang terlambat," ucap Pangdam mengutip pernyataan para penari
liar kepada petugas keamaman tanggal 29 Juni 2007, sehingga mereka akhirnya bisa
lolos masuk ke lapangan Merdeka Ambon.
Kapolda Maluku, Brigjen Pol Guntur Setiyawan dalam rapat tersebut juga
menyatakan dirinya siap bertanggung jawab atas kebobolan pengamanan puncak
peringatan Harganas XIV yang dihadiri Prsesiden SBY.
Dia sempat menjelaskan kronologis kejadian tersebut sesuai dengan laporan
petugasnya di lapangan.
Katanya, pukul 07.00 WIT, aparat kepolisian mulai melakukan gelar kekuatan
sebanyak 355 personel pada bagian VVIP.
Pukul 07:30 WIT, masyarakat mulai menghadiri tempat acara dan di antaranya satu
persatu para penari liar hadir dan berkumpul di halaman depan Kantor Sinode Gereja
Protestan Maluku (GPM) dan memakai pakaian tarian.
Kemudian pada pukul 08.30 WIT, Kasat Brimob, Dirlantas serta Dirsamapta Polda
Maluku melakukan kontrol wilayah dan sempat menanyakan kepada para penari liar
yang sedang berganti pakaian, "Kalian mau apa..? Lalu dijawab, "mau menari, Pak,"
ucap Kapolda mengutip jawaban penari tersebut, melalui laporan bawahannya.
Pukul 09.25 WIT Presiden memasuki tempat acara, lalu pukul 09.30 WIT para penari
turun ke jalan menuju arah depan Kantor PT. Pelni, sehingga petugas Poslantas di
kawasan itu melapor ke Mapolda kalau ada penari di jalanan yang sempat
menghambat arus lalu lintas sehingga petugas diperintahkan melakukan pemantauan
sampai akhirnya dibubarkan oleh seorang anggota polisi berpangkat Bripda.
Kelompok penari liar ini terus menyusup ke arah parkir timur lapangan Merdeka
Ambon, namun sempat dilarang masuk lokasi oleh seorang anggota Polisi. Tetapi,
akhirnya aparat keamanan terkecoh setelah rombongan tari liar bergabung dan masuk
ke arena lapangan bersama penari-penari Katreji, yang hari itu memang terdaftar
sebagai penari resmi untuk mengisi acara.
"Mereka memakai trik dengan mengumbar senyum sebagai sebuah pesan moral
yang tinggi dan memanfaatkan kelompok penari katreji dan rencana ini sudah
dilakukan lewat empat kali pertemuan di desa Aboru," kata Kapolda.
Dalam pertemuan itu sudah disusun rencana pengibaran bendera RMS pada puncak
peringatana Harganas XIV di kota Ambon, dan bendera RMS harus disembunyikan
pada celana dalam salah satu penari untuk nantinya dibentangkan saat dilakukan
tarian Cakalele liar.
Selama empat hari penyidikan pascatarian liar di hadapan Presiden SBY, sedikitnya
39 tersangka telah diringkus bersama sejumlah barang bukti, di antaranya selembar
bendera RMS yang dibawa saat menari, empat pesawat Hand Phone, 19 tombak
kayu dan lima set parang (pedang) dan perisai yang terbuat dari kayu, 66 penggal
kain ikat kepala dan lengan warna merah.
"Polisi juga telah menyita beberapa dokumen deklarasi RMS dan sebuah surat dari
luar negeri di rumah seorang pendukung RMS," kata Kapolda dalam rapat yang
dipimpin Ketua DPRD Maluku, Richard Louhenapessy, SH bersama Komisi A dan
ketua-ketua fraksi.
Sebenarnya rencana gerakan para pendukung RMS ini sudah tercium satu bulan
sebelum puncak perayaan Harganas, karena ada perpecahan di antara 23 orang yang
mengikuti rapat di rumah Johan Teterisa di Aboru.
Dari informasi inilah polisi bergerak pada 21 Juni 2007 meringkus empat tersangka
dan menyita 59 lembar bendera RMS yang sudah dijahit, termasuk ratusan potongan
lembar kain warna merah, biru, putih, dan hijau yang bakal dijahit menjadi bendera di
kawasan Benteng Atas, Kecamatan Nusaniwe (Kodya Ambon).
"Polisi sudah mengantongi sembilan nama lain yang masih dikejar sehingga saya
minta masyarakat untuk sama-sama membantu menumpas para pelaku 'Tindak
Pidana Makar' ini dan kami berharap agar situasi keamanan tetap terkendali,
meskipun ada riak-riak kecil saat aksi demo anti RMS karena ini merupakan sebuah
dinamika," kata Kapolda.
Menyangkut masalah tanggung jawab ID Card, Ketua Bidang Protokoler/pemandu
tamu dan upacara, Drs. Michael Rumajak menjelaskan, pihaknya memang membuat
ID Card, namun dilaporkan serta disahkan oleh Korem 1501 Binaya.
"Kecuali para peserta penari memang menjadi tanggung jawab seksi kesenian yang
nantinya mengajukan nama-nama penari dan setiap orang yang mengambil ID Card
ada nama-nama dan daftar terima," katanya.
Dia juga mengakui selama penyusunannya ada riak-riak kecil tapi selalu
dikoordinasikan dengan pihak Korem, dan terakhir ketika dilakukan gladi bersih
pihaknya sudah memberikan informasi bahwa dua jam sebelum hari-H dan jam-D
maka semua pendukung acara sudah harus hadir di lokasi acara.
Rumajak juga meyakini para penari Katreji tidak terlambat hadir di lokasi acara,
kecuali empat orang, yang memang terlambat akibat kemacetan lalulintas. Mereka
lantas meminta izin kepada Paspamres.
"Saya sendiri kaget melihat rombongan penari liar sudah masuk dari sektir paling
kanan Lapangan Merdeka dan mendekati sentleban sehingga saya langsung berdiri
melaporkannya kepada seorang aparat keamanan untuk memotong tarian liar
tersebut," tutur Rumajak yang mengaku dirinya ketika itu juga dipanggil Ibu Ani
Yudhoyono menanyakan masuknya penari liar yang tidak ada dalam agenda acara
puncak Harganas itu.
Anggota komisi A DPRD Maluku, L. Ivakdalam menilai pemerintah dan aparat
keamanan selama ini kurang tanggap terhadap keberadaan separatisme RMS di
daerah ini dan terkesan hanya bertindak sebagai pemadam kebakaran.
"Ada aksi baru timbul rekasi artinya bendera berkibar baru fungsi penegakan hukum
dijalankan, padahal ketika saya menjadi Kapolsek di Saparua, saya selalu bertindak
preventif," katanya.
Bahkan untuk pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) selalu diberi tanda OT
(Organisasi Terlarang) setelah penulisan nama bagi mereka yang terlibat dalam
gerakan separatisme.
Anggota komisi lainnya, Burhan Ayuba malahan menuding aparat penyelenggara
Harganas tidak bersih dari organisasi RMS, karena terbukti ada penari yang
mengantongi ID Card sehingga perlu diusut tuntas.
Pro kontra timbulnya separatisme RMS di Maluku yang disebabkan masalah ekonomi
dan ideologi di antara para anggota legislatif dari Komisi A ini pun mengemuka.
Menurut Poly Mantulameten dan Junus Tipka, masyarakat pedesaan selama 60
tahun Indonesia merdeka belum terlau tersentuh program-program pembangunan
karena selama ini hanya berputar di daerah perkotaan.
Bisa saja aspek kesejahteraan jadi pemicu sehingga daerah harus meminta perhatian
pemerintah pusat memberikan anggaran yang lebih besar untuk program
pembangunan, sekaligus menangani masalah separatisme RMS secara terpadu
sampai ke akarnya, karena setiap saat orang-orang yang melakukan aktivitas
pengibaran bendera tetap sama dan jumlahnya hanya sedikit.
Sedangkan Sufi Madjid berpendapat, aktivitas para pendukung separarisme RMS ini
lebih dititikberatkan pada masalah ideologi karena meskipun masalah ekonomi
mereka diperhatikan tetap saja mereka mendukung organsiasi RMS.
"Yang terjadi di Aboru misalnya bukan masalah idealisme tapi lebih terfokus pada
masalah ekonomi, karena contohnya Desa Alang, Kecamatan Leihitu (Pulau Ambon)
Maluku Tengah yang biasanya mengibarkan bendera RMS, kini tidak lagi terjadi,
karena gubernurnya berasal dari sana," kata Ir. Ridwan Marasabessy.
Namun, yang jelas oknum pelaku penari liar bersama seluruh pihak yang terlibat
termasuk aktor intelektualnya harus diproses menurut hukum, termasuk rencana
Gubernur mengupayakan ekstradisi pimpinan Front Kedaulatan Maluku (FKM) dr.
Alex Manuputty yang hengkang ke Amerika beberapa tahun lalu, agar tidak
menyinggung perasan semua komponen bangsa di daerah ini.
Para anggota legislatif ini juga secara umum menolak rencana Gubernur Maluku
menyusun sebuah Peraturan Daerah (Perda) anti-RMS karena kedudukannya jauh di
bawah Undang-Undang atau Kepres sehingga tidak mempunyai legitimasi.
Perda anti-RMS sangat lemah sehingga perlu dibuat rancangan undang-undang untuk
diusulkan ke pemerintah pusat dan DPR-RI sehingga nantinya memiliki legitimasi
yang lebih tinggi dan kuat.
Terlepas dari masalah idelologi atau ekonomi sebagai penyebab timbulnya
separatisme RMS dan masalah pelacakan jejak aktor intelektual di balik aksi penari
liar 29 Juni 2007, DPRD Maluku bersama Pemprov dan Pangdam/Kapolda setidaknya
harus segera meminta maaf kepada Prsiden SBY secara terbuka. (*)
COPYRIGHT © 2007 ANTARA
|