BaliPost, Jumat Wage, 6 Juli 2007
RMS Perlihatkan Kelemahannya Sendiri
Oleh GPB Suka Arjawa
INSIDEN tarian Cakalele dari gerombolan separatis Republik Maluku Selatan (RMS)
di Lapangan Merdeka, Ambon, seminggu lalu, nampaknya tidak bisa dihilangkan
begitu saja. Jika saja salah satu dari penari itu membawa senjata tajam, lalu berbuat
lebih nekat maka ceritanya bisa lain. Puluhan penari itu, jika dilihat dari tayangan
televisi, sudah begitu leluasa masuk lapangan dan berhadapan dengan Presiden
Indonesia, serta berbagai pejabat tinggi dan undangan terhormat lainnya. Tetapi
barangkali saja, sebagai sebuah strategi perjuangan, cakalele RMS itu tidak mau
berbuat lebih sembarangan yang bisa merugikan citranya sendiri. Karena itu, menarik
untuk dilihat bagaimana sesungguhnya menggambarkan peristiwa itu dari sudut
perjuangan separatis.
Tingkat intensitas perjuangan separatis sesungguhnya bisa dipakai memperkirakan
kekuatan kelompok itu sendiri. Kelompok separatis yang mampu melakukan
gangguan secara sistematis dan membahayakan, jelas merupakan kelompok yang
terorganisasi dan memiliki kekuatan signifikan.
Gerakan Aceh Merdeka, sebelum kemudian ''lebur'' ke dalam negara Indonesia, bisa
dikatakan memiliki ciri seperti ini. Mereka tidak saja melakukan gangguan terhadap
sasaran terpilih, seperti angkatan bersenjata dan teror terhadap penduduk sipil, tetapi
juga memiliki angkatan bersenjata tetap. Beberapa gambar dan film di media massa
memperlihatkan bahwa gerakan tersebut memiliki tempat tersendiri untuk latihan
angkatan bersenjata. Mereka memiliki pemimpin di pengasingan yang
mengorganisasikan perjuangan. Karena itu, pastilah menjadi ancaman potensial bagi
negara dan sudah sewajarnya negara juga melakukan konter yang sama terhadap
model gerakan seperti ini.
Macan Tamil di Sri Lanka, mempunyai ciri yang sama dengan Gerakan Aceh
Merdeka. Tetapi, ada juga gerakan separatais yang hanya mampu melakukan
gerakan sporadis saja. Artinya kemunculan mereka sewaktu-waktu, tidak kontinu,
tidak beraturan namun mengejutkan. Mereka melakukan tindakan tersebut dalam
bentuk penculikan, pembunuhan atau penyanderaan. Secara umum boleh dikatakan
tidak sistematis. Kesporadisan tindakan ini justru memperlihatkan bahwa gerakan
tersebut sesungguhnya kekurangan power untuk memperjuangkan ideologinya,
karena itu dilakukan sewaktu-waktu saja.
Jika hal itu dilakukan dengan cara-cara yang kejam, hal ini diperuntukkan untuk
memunculkan kesan keberanian dan kenekatan mereka menghadapi lawan. Tetapi
tetap mencerminkan kelemahan yang lain, seperti pengikut dan pasokan senjata
yang kurang. Gerakan Sparatis Basque adalah contoh dari fenomena ini di Eropa. Di
Indonesia, fenomenanya adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Dengan melihat contoh tersebut, apa yang dilakukan oleh anasir RMS di Lapangan
Mardeka Ambon, sesunggunya tidak masuk dalam dua kategori di atas. Berarti
masih ada di bawah gerakan separatis yang memiliki perjuangan sporadis. Tindakan
fenomenal terakhir yang dilakukan para anasir RMS terjadi di Belanda tahun 1976,
berupa penyanderaan kereta api. Tetapi setelah itu, gerakan ini seolah tidak terdengar
lagi sebelum kemudian mulai digemakan oleh Alex Manuputy tahun 2001 yang
mengibarkan bendera RMS. Gerakan itu sendiri sesungguhnya berdiri pada April 1950
oleh Soumokil dan kawan-kawan, yang tidak puas dengan pemerintahan Indonesia
dan lebih condong dengan pemerintahan Belanda. Tetapi mulai periode Juli sampai
September tahun itu pula, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat berhasil
menumpas ruang gerak mereka di Pulau Buru dan Seram. Sejak itu, boleh dikatakan
RMS hanya ada dalam pelajaran sejarah sampai kemudian menggegerkan dunia
tahun 1976 itu. Baru sejak Alex Manuputy mengibarkan benderra RMS sampai
dengan insiden Lapangan Merdeka Ambon itulah kembali gerakan ini menggejala.
Prestasi Tersendiri
Dengan demikian, boleh dikatakan kekuatan gerombolan RMS ini bersifat lebih
rendah dari sporadis, kemungkinan anggotanya juga tidak terlalu banyak dan
power-nya masih lemah. Insiden tarian cakalele itu boleh dikatakan sebagai sebuah
upaya ''nasional'' untuk memperingatkan masyarakat dan pemerintah Indonesia bahwa
meskipun gerakannya masih di bawah sporadis, tetapi gerakan itu ada dan ada
orang-orang yang bersedia memperjuangkan separatis RMS tersebut. Paling tidak 28
penari yang ada di Lapangan Merdeka itulah pejuang-pejuang mereka. Karena itu,
adalah tindakan bodoh jika misalnya para penari itu melakukan tindakan nekat
(semisal menyandera pejabat negara) saat unjuk kebolehan di Lapangan Merdeka.
Tindakan nekat akan bisa membawa mereka diberantas sampai ke akar-akarnya.
Bahwa mereka berhasil mengelabui petugas keamanan, menari di depan Presiden
Indonesia dan kemudian diliput secara luas oleh media di Indonesia, itu telah
merupakan prestasi tersendiri.
Kini bagi pihak keamanan Indonesia, di samping telah mengetahui keteledoran dan
kelemahannya sendiri, sesungguhnya telah ditunjukkan pula oleh para anasir RMS itu
tentang kelemahan diri mereka. Tinggal bagaimana sekarang pemerintah dan pihak
keamanan Indonesia menekan agar gejolak RMS itu tidak berlanjut dan berlarut-larut
serta memberi inspirasi bagi gerakan separatais lainnya.
Insiden tarian cakalele itu boleh dikatakan sebagai sebuah upaya ''nasional'' untuk
memperingatkan masyarakat dan pemerintah Indonesia bahwa meskipun gerakannya
masih di bawah sporadis, tetapi gerakan itu ada dan ada orang-orang yang bersedia
memperjuangkan separatis RMS tersebut. Paling tidak 28 penari yang ada di
Lapangan Merdeka itulah pejuang-pejuang mereka.
* Kelompok separatis yang mampu melakukan gangguan secara sistematis dan
membahayakan, jelas merupakan kelompok yang terorganisasi dan memiliki
kekuatan signifikan.
* Tetapi, ada juga gerakan separatis yang hanya mampu melakukan gerakan sporadis
saja.
* Mereka berhasil mengelabui petugas keamanan, menari di depan Presiden
Indonesia dan kemudian diliput secara luas oleh media di Indonesia, itu telah
merupakan prestasi tersendiri.
* Bagaimana sekarang pemerintah dan pihak keamanan Indonesia menekan agar
gejolak RMS itu tidak berlanjut dan berlarut-larut. |