The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Berpolitik.com


Berpolitik.com, Rabu, Jul 04, 2007 16:26

Tarian Perang Untuk Presiden

Redaksi Berpolitik.com

Berpolitik.com: Dalam peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-14 di Lapangan Merdeka Kota Ambon, Jum'at (29/06) lalu, Presiden Sudilo Bambang Yudhoyono (SBY) 'disuguhi' tarian Cakalele yang berujung pada berkibarnya bendera Benang Raja, yang tentu tidak ada dalam susunan acara panitia. Terlihat Jelas kemarahan SBY.

Usai insiden tersebut, sebelum memulai pidato resminya, dengan raut membuncah, SBY membukanya dengan pidato tanpa teks, ''Kalau ada perbedaan diantara para elite, para pemimpin, para tokoh, janganlah memilih cara-cara yang tidak baik. Kasihan rakyat, kalau lebih dari itu.''

Setelah itu, masih di hadapan ribuan masyarakat Kota Ambon yang hadir, SBY memberi ultimatum, bila tarian Cakalele dinilai menggangu keutuhan NKRI, atas nama institusi, presiden meminta pejabat yang berwenang memberikan tindakan yang tegas dan tepat. ''Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keutuhan bangsa dan negara, persatuan dan kesatuan di antara kita semua harus kita junjung tinggi dan kita tegakkan,'' tegasnya pada Jum'at (29/07) lalu.

Apa yang membuat SBY kesal? Selain karena berhasil menelikung aparat keamanan yang berujung dengan mempermalukan dirinya, tarian Cakalele yang dibawakan menjadi alasan kedua kemarahan SBY. Apa sebenarnya makna tarian Cakalele?

Saat ini, Cakalele mungkin hanya dilihat sebagai obyek wisata dan budaya yang manarik diamati. Tapi lebih dari itu, tarian Cakalele sebenarnya punya makna sebagai tarian perang untuk menyambut tamu agung. Memang belum jelas darimana tarian ini berasal. Ada sebagian yang bilang bila Cakalele lahir di Minahasa, Sulawesi Utara. Namun tidak sedikit yang menyebut Maluku sebagai daerah kelahirannya.

Ritual adat bernuansa mistik

Pastinya, tarian Cakalele digelar untuk melakukan ritual wisata agama dan budaya 'Buka Kampong dan Tutup Kampong'. Ambil contoh di Kampong (desa) Lontor, Kampong Baru, Kampong Waer, Kampong Salamong, Kampong Negre dan Kampong Run di Banda Neira, sebuah kecamatan dalam wilayah kabupaten Maluku Tengah yang terletak pada sekelompok pulau di antara jejeran kepulauan Maluku yang berada 120 mil tenggara pulau Ambon, Ibu Kota Propinsi Maluku.

Di sana, kita akan menemukan tarian adat yang tidak ada bandingannya di dunia, Tarian Cakalele yang hingga kini masih terlihat keasliannya. Bukan hanya karena paling indah nilai artistiknya, namun unsur mitos dan mistik yang berpadu padan dengan seni tata rias dan seni berperang, menjadi perbedaan lain.

Nilai artistik tertuang dalam pakaian warna-warni dengan motif nuansa Maluku yang kental, bertutup kepala Burung Cendrawasi berbulu indah. Karena itu, Cakalele biasanya juga diperuntukkan untuk menyambut tamu terhormat dan tidak bisa setiap saat tarian ini dipentaskan. Selain karena memerlukan biaya besar, Cakalele dipastikan selalu berkait dengan struktur adat Buka Kampong dan Tutup Kampong yang memakan waktu dan personel yang terlibat dalam proses adat.

Selain personel utama yang membawakan Cakalele, personil pembantu utama yang tidak bisa dipisahkan, adalah kelompok Mai Mai yang melambangkan istri-istri penari Cakalele. Mereka selalu tampil di mana saja apabila sang suami tengah mentas, yang punya makna kesetiaan wanita Banda dalam mendampingi suami yang tengah bertugas, bahkan dalam medan perang sekalipun.

Seutuhnya, Tarian Cakalele terdiri dari personil penari Cakalele, Mai Mai, Penabuh dan pemukul Tifa dan Gong, pemegang umbul-umbul, plus pemuka adat dan personil pembantu. Secara adat, dalam sebuah pementasan, masing-masing memainkan peranan yang berbeda. Sehingga peran dan fungsi mereka tidak bisa dirubah atau diganti oleh personil lain. Artinya, masing-masing personel Cakalele adalah sebuah keutuhan yang sarat dengan ritual adat bernuansa mistik.

Adat Buka Kampong dan Tutup Kampong

Secara umum, jumlah penari Cakalele di tiap desa hampir sama jumlahnya, yakni lima orang. terkecuali Kampong Lontor yang memiliki personel sembilan orang. Kampong Lontor adalah kunci pengembangan budaya di Banda Neira, sehingga secara struktur, Kampong ini dipandang sebagai desa yang sangat berwibawa secara adat, dibanding desa lain di Banda. Pemimpin Tari Cakalele adalah seorang Kapitang yang mengenakan pakaian berbeda warna dengan personel lain. Dan tentu, Kapitang sangat mendominasi atraksi Cakalele.

Pelaksanaan adat Buka Kampong tidak saja melibatkan para penari dan struktur lain yang mengitari sistem tarian tersebut. Akan tetapi melibatkan seluruh masyarakat kampong dimana acara Buka Kampong itu dilaksanakan. Di sinilah seluruh warga kampong merasa terikat dengan kewajiban dan hak mereka terhadap upacara tersebut. Baik saat mulai dari Buka Kampong hingga acara Tutup Kampong. Lama waktu di antara acara adat tersebut tidak bisa ditentukan karena disesuaikan dengan kebutuhan untuk apa tarian Cakalele dipentaskan.

Suasana ritual inilah yang paling berkesan kepada masyarakat Banda atau pelancong di Banda, terutama bagaimana kita berusaha mengenal mitos Cakalele itu sendiri. Karena yang menarik dan membuat kesan mendalam bagi semua masyarakat kampong adalah semua warga kampong harus bersih hati maupun bersih lingkungan hidupnya. Apabila ketentuan adat itu dilanggar, maka korban jatuh tak bisa dihindari hindari. Dan ketentuan adat itulah yang hingga kini dipegang teguh masyarakat Banda, sehingga diyakini unsur mistik menjadi terlihat kuat.

Memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah kaitan antara keduanya. Namun seperti dilansir situs resmi milik pemerintah daerah Banda Neira, kenyataan itu secara empirik bisa dibuktikan. Jadi, apabila warga kampong tersebut melanggar ketentuan yang telah ditentukan adat, selalu saja ada warga kampong yang jatuh sakit. ''Penyakitnya menjadi aneh-aneh, dan baru bisa disembuhkan apabila pelanggar memperbaiki kesalahannya,'' tulis situs tersebut.

Yang menarik, biasanya yang menjadi korban adalah orang lain, bukan si pelanggar. Lucunya, orang lain itulah yang akan menunjukkan siapa pelanggarnya. Dan insiden itu yang selalu ingin dihindari warga kampong karena dianggap bahwa aib-nya akan terbeberkan dan diketahui orang se-kampong. Selang beberapa waktu dan disesuaikan dengan kebutuhan, usai upacara adat Buka Kampong digelar, pada periode ini acara pementasan tarian Cakalele baru diperkenankan untuk digelar.

Apabila pementasan Cakalele dinilai sudah cukup dan tidak perlu dilaksanakan lagi, maka upacara adat Tutup Kampong menjadi upacara selanjutnya. Nah, upacara adat Tutup Kampong juga tidak kalah menarik dengan acara Buka Kampong. Acara Tutup Kampung menjadi puncak dari seluruh rangkaian acara yang berhubungan dengan pementasan tarian Cakalele.

Sebab, usai upacara adat Tutup Kampong rampung dipersembahkan, tidak diperkenankan untuk mementaskan tarian Cakalele sampai pada acara Buka Kampong di waktu yang lain, dengan alasan apapun. Karena itulah Cakalele punya arti mendalam dan berpegang kuat pada struktur adat dan budaya di Maluku. Artinya, tarian Cakalele tidak bisa serampangan dilaksanakan.

Etos perang

Di luar itu, Cakalele punya makna perjuangan yang kerap berkait dengan etos perang. Di wilayah Negeri Pelauw, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, tarian Cakalele Tenu Pakapita menjadi ritual tiga tahunan yang dipusatkan di pelataran Masjid Raya Negeri Pelauw.

Juru Bicara Raja Pelauw, Basa Alim Tualeka menjelaskan, proses Cakalele di Negeri Pelauw diawali dengan jiwa yang bersih. Baik oleh keluarga, maupun seluruh keluarga besar. Setelah itu, anak putra keluarga akan dipilih untuk membawakan tari yang dianggap sakral nan suci. Karenanya, menjadi wajib bagi tiap anak laki-laki Negeri Pelauw untuk ikut Cakalele. Bahkan bagi orang Hatuhaha laki-laki, ada sebutan Pamalona yang artinya benar-benar laki-laki. Disinilah proses seorang pria menjadi laki-laki sebenarnya, wajib melewati prosesi Cakalele terlebih dahulu.

''Satu minggu sebelum pelaksanaan Cakalele, masing-masing anak laki-laki yang hendak mengikuti Cakalele dikeluarkan dari Rumah Soa atau Rumah Marga. Kemudian mencuci parang setajam-tajamnya, sebab kalau tidak tajam maka akan terasa sakit. Tetapi kalau semakin tajam parangnya, maka semakin enak digosokan ke badan penari,'' imbuh Tualeka.

Masih kata Tualeka, Cakalele Negeri Pelauw bukanlah urusan jimat-jimat. Namun tradisi turun-temurun daerah. Karena bagi siapa yang mempunyai turunan darah Hatuhaha, baik dari perempuan maupun laki-laki, maka dirinya berhak. Tapi bagi orang luar yang masuk dan melebur menjadi orang Hatuhaha, kemudian bergabung untuk mengikuti Cakalele, maka itu adalah keniscayaan. Sebab Cakalele adalah anugerah dan rahmat yang diberikan leluhur dan Tuhan kepada masyarakat Hatuhaha untuk menjaga diri, marga, serta warga Hatuhaha.

Dijelaskan Tualeka, para peserta Cakalele kemudian dibagi menjadi tiga tujuan. Ada yang ke Matasiri, pusat Air Wailuru, dan juga ada yang ke Walapia. Mereka masing-masing akan kembali lagi untuk memperagakan di depan masyarakat.

''Ditempat keramat itu disana, uji cobanya lebih tinggi dari yang diperagakan di sini. Kemudian mereka kambali sampai di Baileo. Semua peserta tidak boleh kembali ke rumah. Tetapi semua peserta harus dikalungkan kain merah. Kalau tidak akan naik terus walaupun sudah sampai dirumahnya,'' ungkap Tualeka.

Namun banyak juga meyakini jika Cakalele punya etos perjuangan Kapitan Pattimura saat hendak berhadapan dengan penjajah Belanda. Tujuannya apalagi kalau tidak untuk mengobarkan semangat perang para pengikut Kapitan, saat berjuang dalam menghadapi Belanda. Karena itu, pada setiap tarian Cakalele di daerah manapun di Indonesia Timur, selalu ada pemimpin atau Kapitannya.

Nah, peluang inilah yang dimanfaatkan para aktivis Republik Maluku Selatan yang memanfaatkan misi luhur cakalele, demi mengelabui aparat. Kesenian adat pengobar semangat perang menjadi kendaraan taktis yang mengantar mereka 'berhadapan' dengan presiden.

Saat ini mungkin tarian hanyalah simbol yang hanya diartikan sebagai seremonial belaka. Namun makna Cakalele yang luhur dan sakral, dapat diartikan lain tatkala dibawakan oleh pejuang RMS yang hendak 'melarikan Maluku' dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)

Berpolitik.com 2007
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/aboroe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044