birahilaut.multiply.com, Jul 26, '07 2:49 AM
RMS, Tarian Cakalele dan Persoalan Pembangunan di Maluku
Oleh : Dino Umahuk
Sebagaimana diberitakan berbagai media massa, pada acara peringatan Hari
Keluarga Nasional yang berlangsung di Lapangan Merdeka Ambon, 18 Juni silam,
secara tak terduga sejumlah penari Cakalele membentangkan bendera Benang Raja
yang merupakan simbol gerakan Republik Maluku Selatan. Yang membuat heboh,
pengibaran itu dilakukan dihadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga
sejumlah duta besar negara sahabat lainnya.
Presiden Sudilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disuguhi tarian Cakalele yang
berujung pada berkibarnya bendera Benang Raja itu terlihat jelas kemarahannya.
Sebelum memulai pidato resminya, dengan raut membuncah, SBY membukanya
dengan pidato tanpa teks, ''Kalau ada perbedaan diantara para elite, para pemimpin,
para tokoh, janganlah memilih cara-cara yang tidak baik. Kasihan rakyat, kalau lebih
dari itu.''
Masih di hadapan ribuan masyarakat Kota Ambon yang hadir, SBY memberi
ultimatum, bila tarian Cakalele dinilai menggangu keutuhan NKRI, atas nama institusi,
presiden meminta pejabat yang berwenang memberikan tindakan yang tegas dan
tepat. ''Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keutuhan bangsa dan negara, persatuan dan
kesatuan di antara kita semua harus kita junjung tinggi dan kita tegakkan,'' tegasnya
Apa yang membuat SBY kesal? Selain karena berhasil menelikung aparat keamanan
yang berujung dengan mempermalukan dirinya, tarian Cakalele yang dibawakan
menjadi alasan kedua kemarahan SBY.
Cakalele merupakan nama tarian perang ala Maluku, yang di yakini mempunyai nilai
magis dan spiritual kuat yang menjadi etos perjuangan Kapitan Pattimura saat
hendak berhadapan dengan penjajah Belanda. Tujuannya apalagi kalau tidak untuk
mengobarkan semangat perang para pengikut Kapitan, saat berjuang dalam
menghadapi Belanda. Karena itu, pada setiap tarian Cakalele, selalu ada pemimpin
atau Kapitannya.
Nilai magis dan etos kepahlawanan cakalele inilah yang coba dimanfaatkan oleh para
penari yang membawa bendera Republik Maluku Selatan sebagai manifesto dan
ekpresi kekecewaan mereka terhadap pemerintah. Kesenian adat pengobar semangat
perang itupun menjadi kendaraan taktis yang mengantar mereka 'berhadapan' dengan
presiden.
Tarian Cakalele boleh kita asumsikan sebagai simbol yang hanya diartikan sebagai
seremonial belaka. Namun makna Cakalele yang luhur dan sakral, dapat juga
diartikan sebagai sebuah bentuk pernyataan sikap ketika dibawakan oleh sekelompok
orang sambil menggusung bendera RMS pada tanggal 29 Juni tersebut.
RMS di mata pendukung fanatiknya
Kenyataan sejarah tidak dapat dipungkiri, bahwa Republik Maluku Selatan (RMS)
pernah "hidup" di Ambon (Maluku tengah pada umumnya), walaupun tidak lama.
Kenyataan dan fakta sejarah ini merupakan keyakinan dan nilai dasar bagi para
aktivisnya untuk membuktikan bahwa RMS "bukanlah gerakan separatis". RMS
menurut para pendukungnya, didirikan, "sebelum" negara Kesatuan RI menjadi
seperti sekarang ini, dengan wilayah kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Semua
hasil "perundingan" di dalam berbagai koferensi antara Pemerintah Belanda dan
Indonesia seperti "Perjanjian Linggarjati" (25 Maret 1947), "Perjanjian Renville"(1948),
"Konferensi Meja Bundar" (November 1949), menurut mereka telah memberikan
kemerdekaan penuh bagi Maluku untuk menentukan nasibnya sendiri.
Menurut para Aktivis RMS, hasil pertemuan "Moehamad Roem dan Van Royen" (7
Mei 1949), sebelum Konferensi Meja Bundar, justru memperkuat keputusan
Perjanjian Linggarjati dan Renville, dimana kedua pihak, baik pemerintah Belanda dan
Indonesia", tidak boleh mencampuri atau mencegah proses penentuan nasib sendiri
dari berbagai daerah seperti Maluku, tetapi harus membantu rakyat Maluku didalam
menentukan nasibnya sendiri dan di dalam menentukan "jenis hubungan" antara RMS
dengan pihak Pemerintah Belanda dan Indonesia di bawah pengawasan Komisi PBB
Untuk Indonesia. Inilah kiranya yang menjadi dasar dan spirit perjuangan mereka
selama ini.
Pola pendekatan keamanan melalui pengiriman pasukan TNI ke Ambon, pada tanggal
13 Juli 1950, oleh aktivis RMS dianggap sebagai invasi pemerintah indonesia terhadap
kedaulatan negera mereka. Meskipun sebelumnya pemerintah telah mengirimkan
misi perdamaian yang dipimpin oleh putra-putra Maluku sendiri.
Ketika RMS akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah Indonesia, sebagian besar
warga RMS lalu mengungsi ke Negeri Belanda dan tetap berjuang bagi kembalinya
RMS di Ambon. Sedangkan sebagian lagi terdesak ke pedalaman hutan pulau
Seram. Dengan tertangkapnya Dr. Chris. Soumokil di Seram, maka dapat dikatakan
bahwa RMS sudah lumpuh. Sebagian besar para aktivisnya yang berada di pulau
Seram, "turun gunung", dan menyerahkan diri kepada Pemerintah Indonesia. Setelah
menjalani hukuman penjara, mereka lalu mengabdi kepada Pemerintah RI seperti
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dll.
Seiring pergantian generasi, RMS praktis dilupakan, sehingga sebagian besar warga
Ambon yang sudah mencapai umur 60 tahun malah "belum pernah melihat" macam
apa bendera RMS itu, hingga meletusnya konflik Maluku 19 Januari 1999. Bahkan di
negeri Belanda, RMS hanya hidup dalam memori generasi angkatan pertama sebagai
kenangan masa lalu yang manis sekaligus pahit. Di kalangan muda terutama
generasi ketiga, RMS hanya menjadi semacam simbol untuk membedakan mereka
dengan kelompok urban lain seperti Maroko dan Turki yang membanjiri negara kincir
angin itu.
Ketidakmampuan Pemerintah
Orientasi pembangunan yang hanya dipusatkan di wilayah Indonesia Barat,
terbatasnya lapangan pekerjaan dan tingginya angka pengangguran di Maluku juga
menjadi semacam titik api yang gampang menyala.
Fenomena tarian cakelele dengan membawa bendera benang raja, sebenarnya lebih
merupakan peristiwa pengungkapan kekecewaan terhadap pemerintah daripada
sebuah aksi makar. Penyelesaian konflik Maluku yang berlarut-larut dan tidak tuntas,
serta buruknya kinerja birokrasi, dipercaya memunculkan ketidakpuasan di kalangan
masyarakat Maluku saat ini.
Beberapa kondisi yang nampak di lapangan saat ini antara lain, tidak tuntasnya
penanganan konflik, maraknya praktek korupsi dikalangan pejabat pemerintah dan
legislatif daerah serta tingginya angka pengangguran yang mencapai angka 200 ribu
lebih jumlah tenaga kerja aktif, telah memunculkan frustasi sosial di tengah
masyarakat Maluku.
Pernyataan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, tentang akan meminta pimpinan
eksekutif Front Kedaulatan Maluku(FKM) Alexander Manuputty, diekstradisi dari
Amerika Serikat(AS), sepertinya hanya merupakan upaya menutup borok di muka.
Karena sesunguhnya permasalahan tidak berujung pada ada tidaknya RMS di
Maluku, melainkan mengakar kuat pada buruknya sistem birokrasi yang ada di
Maluku saat ini.
Kondisi ini kiranya perlu di cermati secara tepat dan bijak oleh pemerintah pusat
sebelum mengambil langkah-langkah represif melalui pendekatan keamanan terhadap
para penari cakalele. Karena boleh jadi tarian cakalele di hadapan presiden SBY
hanyalah sebuah fenomena gunung es yang mencuat ke permukaan dari besarnya
permasalahan sosial yang ada di Maluku.
Sesungguhnya bagi orang Maluku, bergabung dengan Indonesia sudah menjadi
keputusan final sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dimana Maluku
menjadi provinsi ke delapan dari republik muda belia bernama Indonesia ketika itu.
Akhirnya penulis ingin menyampaikan bahwa upaya-upaya penanganan masalah
sosial dan masalah pembangunan di Maluku yang tidak tepat, apalagi dengan
menggunakan pendekatan keamanan, hanya akan melahirkan perlawanan yang lebih
besar. Semoga Jakarta bisa lebih arif dan bijaksana.
* Penulis adalah penyair dan jurnalis
|