GATRA, Nomor 34 Beredar Kamis, 5 Juli 2007
Efek Bola Liar Penari Makar
Penyusupan penari cakalele membawa ekses ke sana kemari. Mulai isu politik lokal,
sentimen konflik lama, friksi elite keamanan, sampai kecemburuan ekonomi.
Ja'far Umar Thalib yang pernah memimpin Laskar Jihad di Maluku, tidak percaya
RMS hadir lantaran faktor kemiskinan. "Banyak penduduk Indonesia ini tingkat
kesejahteraannya sama miskinnya dengan mereka," kata Ja'far. "Bahkan ada yang
lebih miskin dari mereka, toh tidak memberontak." Ia menunjuk, otak di balik penari
liar itu ada kepala desa dan guru PNS, yang dinilai cukup mapan. "Ideologi mereka
sudah mendarah daging sebagai warisan pendahulu mereka yang mendapat
keistimewaan dari penjajah Belanda," tutur Ja'far. "Menghadapi mereka harus tegas."
Pendeta Jacky Manuputty menyangkal pengidentikan RMS dengan orang Kristen.
"Mayoritas pengikut RMS memang Kristen. Tapi arus utama umat Kristen Maluku
menolak RMS," kata Jacky, yang akhir Mei lalu menerima Maarif Award karena
perannya dalam resolusi konflik. Beruntung, provokasi dan peredaran rumor yang
berpotensi membenturkan dua kelompok agama, Senin lalu, tidak berkembang jauh.
Ironisnya, yang terjadi adalah sikap saling menyalahkan antar-instansi. Jumpa pers
Kapolri dan Panglima TNI, Sabtu pekan lalu, kompak menuding kelemahan intelijen
sebagai faktor penyebab.
Staf khusus Badan Intelijen Negara (BIN), Janzi Sofyan, pun menggelar jumpa pers.
BIN menyatakan sudah menyampaikan hasil penelisikan di lapangan. Semestinya
TNI-Polri yang menindaklanjuti, karena BIN tidak memiliki kewenangan menindak.
Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto, kembali menimpali bahwa TNI memang
menerima informasi akan adanya demonstrasi, tapi bukan dari RMS.
Kasus cakalele, bagi Yusron Ihza Mahendra, Wakil Ketua Komisi I DPR Bidang
Pertahanan, tidak hanya memperlihatkan lemahnya pertahanan teritorial. "Sekaligus
memperlihatkan kepada dunia bahwa kelompok separatis masih ada. Mereka
berteriak kepada dunia, 'Kami masih ada lho.' Itulah masalahnya," ujar Yusron.
Masalah RMS bukan terletak pada seberapa kekuatan militernya. "Tapi apakah ada
negara-negara yang menjadi pendukung gerakan ini karena bisa menjadi api dalam
sekam," kata Yusron.
Tapi beda lagi sorotan politisi lokal. Anggota DPRD Maluku, Ridwan Marasabessy,
minta SBY tak perlu kebakaran jenggot dan merasa dipermalukan akibat aksi para
penari liar itu. "Mereka kan cuma menari dan bawa pedang-pedangan dari kayu.
Bandingkan dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan OPM (Organisasi Papua
Merdeka) yang pakai senjata mematikan," kata Ridwan, yang berasal dari Pulau
Haruku, satu kecamatan dengan para penari itu.
Sementara itu, di kalangan masyarakat, menurut Abidin, ada penolakan
penyelenggaraan acara Harganas di Ambon. Karena terlalu bermewah-mewah di
tengah masyarakat Ambon yang masih banyak jadi pengungsi. Sumber Gatra yang
enggan disebut namanya menyebutkan, kegiatan Harganas ini menghabiskan
anggaran tidak kurang dari Rp 15 milyar. Dana itu, antara lain, digunakan untuk
memperbaiki wisma tempat presiden menginap. "Acara itu dinilai tidak memiliki
dampak langsung bagi masyarakat," tutur Abidin.
Abidin menilai sah-sah saja para politisi mau mengolah berbagai momentum,
termasuk penyusupan penari cakalele itu, untuk permainan politik. "Asal tidak
merugikan dan memperalat masyarakat bawah saja," katanya.
Masalahnya, efek politik itu kini telah terjadi. Satu efek yang, kata Jacky, mungkin
tidak pernah disangka-sangka oleh siapa pun. Bahkan oleh para perancang aksi
demo yang dikhususkan menyambut kedatangan SBY. "Tarian cakalele itu semua
tidak mencerminkan agenda arus utama aksi protes atas kedatangan SBY," ujarnya.
Asrori S. Karni, Rach Alida Bahaweres, Deni Muliya Barus, dan Mukhlison S.
Widodo
Copyright © 2002-04 Gatra.com.
|