The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

GATRA


GATRA, Kamis, 5 Juli 2007

Mimpi Republik Para Bidak

Awan mendung masih menggelayut di bumi Maluku, Jumat siang lalu. Hujan yang baru saja reda menyisakan genangan air di sudut-sudut Lapangan Merdeka, Ambon. Suasana hangat mulai menjalar ketika Presiden Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono tiba di podium kehormatan. Tepuk tangan hadirin terdengar riuh dari segenap sudut lapangan, menandai acara peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-14 segera dimulai.

Sebagai tuan rumah, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahatu mendapat kesempatan menyampaikan ucapan selamat datang. Semula, acara lancar-lancar saja. Namun, di tengah-tengah pidato Karel, tiba-tiba dari arah samping kanan podium muncul 28 pemuda bertelanjang dada. Mereka tanpa alas kaki, bercelana sebetis aneka warna, dan berikat kepala kelir merah.

Para "penari" itu sebagian menggenggam bambu runcing dan salawaki --senjata parang khas Maluku terbuat dari kayu. Di tengah lapangan becek, badan mereka tak henti meliuk-liuk, mengikuti suara tifa. Mereka menari cakalele, tarian perang yang sangat populer di kalangan masyarakat Maluku dan kerap disuguhkan pada setiap acara.

Masuk akal kalau hampir semua hadirin merasa tak ada yang aneh. Sebagian malah bertepuk tangan. Hadirin baru terkesiap manakala rombongan pemuda itu mendekati podium tempat presiden berada. Jaraknya hanya sekitar delapan meter. Hadirin semakin terkejut ketika seorang pemuda mengeluarkan bendera kelir merah-hijau-putih-biru ukuran 30 x 40 sentimeter dari dalam tifa.

Karena tergesa-gesa, bendera yang merupakan atribut gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) itu terjatuh. Pada saat hendak dibentangkan, dua orang berseragam batik dan seorang polisi --yang menguntit penari liar sejak masuk arena-- langsung merebutnya.

SBY pun terkejut. Dia sempat berdiri dari tempat duduk. Ketika itulah semua sadar bahwa acara telah disusupi. "Kalau ada yang ganggu keutuhan NKRI, atas nama konstitusi, harus berikan tindakan yang tegas dan tepat," kata SBY sebelum membaca sambutan tertulis, sembari memerintahkan agar mengusut tuntas kasus ini.

Aparat keamanan sigap. Mereka menggiring dan menahan 38 orang, termasuk 22 penari cakalele. Polisi menyatakan, enam orang lagi masih buron. Selain itu, polisi juga masih menguber beberapa nama, satu di antaranya Simon Saiya yang diduga menjadi otak aksi tarian liar itu. Polisi mengantongi nama Simon berdasarkan pengakuan Abraham Saiya, satu di antara para penari.

Simon mengklaim diri sebagai Kepala Pemerintahan RMS. Lewat surat berbahasa Inggris, dia memerintahkan para penari berlatih. Persiapan diawali dengan pertemuan yang dikoordinasikan Yeye Teterissa, simpatisan RMS yang berprofesi sebagai guru, di Desa Aboru, Pulau Haruku, Mei lalu. Sejak itu, mereka melakukan serangkaian latihan di beberapa tempat. Termasuk di Desa Hutumuri, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, sepekan sebelum puncak acara Harganas.

Bagi aparat keamanan, insiden itu jelas memalukan: betapa mudah pengamanan presiden ditembus. Sedangkan bagi simpatisan RMS, seakan menjadi ajang unjuk diri. "Supaya RMS dianggap masih ada di Maluku," kata Brigadir Jenderal Polisi Guntur Gatot Setiyawan, Kapolda Maluku.

Gerakan separatis itu dideklarasikan pada 25 April 1950. Dimotori dan beranggotakan sekitar 4.000 bekas prajurit KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) asal Maluku yang tak puas atas pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Mengambil basis di Pulau Seram dan Ambon, RMS bertujuan membentuk pemerintahan sendiri berdasarkan kesamaan agama (Kristen).

Namun kekuatan militer RMS tak berusia lama. Tiga bulan berselang, TNI di bawah komando Kolonel A.A. Kawilarang berhasil menumpasnya. Para pentolan RMS kocar-kacir. Presiden RMS Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, sempat ngumpet di hutan. Sampai akhirnya ia tertangkap pada 1963 dan setahun kemudian divonis mati. Sedangkan tokoh RMS lainnya, seperti J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu, lari ke Belanda.

Sejak ditumpas, perjuangan RMS hanya sebatas politis. Itu pun tak lepas dari dukungan Belanda, yang pada 1951 mengeluarkan kebijakan untuk memboyong para bekas serdadu KNIL asal Maluku beserta keluarga. Sedikitnya 12.500 ikut boyongan ke negeri bekas penjajah itu. Merekalah yang kemudian melanjutkan mimpi sebuah republik merdeka dari tanah pelarian dengan membentuk pemerintahan RMS di pengasingan. Terpilih sebagai pemimpin, Johan Manusama. Terakhir beralih ke Frans Tutuhatunewa.

Seiring membaiknya hubungan RI-Belanda, tahun 1970-an RMS di pengasingan mulai merasa ditinggalkan. Mereka kecewa. Kekecewaan ini ditunjukkan dengan menebar aksi teror. Antara lain aksi penyanderaan 38 penumpang kereta api pada 1975, penyanderaan 100 siswa di sebuah sekolah tahun 1977, dan penyanderaan 78 warga sipil di gedung pemerintahan Belanda di Assen pada 1978.

Rangkaian aksi kekerasan ini membuat citra RMS semakin tenggelam, sekalipun di negeri yang semula melindunginya. Lambat laun gerakan ini kehilangan gaung. Boleh dibilang, keberadaannya hanya sebatas klaim "pemerintahan" dan segelintir simpatisan yang ada di tanah asal, Maluku.

Belakangan, ketika Ambon dipanggang api konflik antar-agama, tahun 1999-2004, gerakan RMS seakan "pulang kandang", ikut mendompleng. Pada kerusahan pertama, selepas Idul Fitri 1999, misalnya, di antara puing-puing bangunan yang telah jadi abu, berserakan tulisan: "Inilah RMS".

Setahun kemudian, mereka mulai berani unjuk diri, meski bersembunyi di balik wadah Forum Kedaulatan Maluku (FKM). Jati diri sebagai RMS terlihat dari yel-yel "menamura", salam kemerdekaan dalam bahasa Alifuru. Juga penggunaan atribut bendera "Benang Raja", bendera RMS. Tokoh utama FKM adalah Dr. Alex Manuputy, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.

FKM pun semakin mengambil peran dalam konflik. Mereka tak lagi sekadar pembonceng, tapi justru jadi pemantik. Pada 25 April 2001, misalnya, kelompok ini memanaskan suasana yang mulai reda dengan memperingati HUT RMS. Mereka mengibarkan bendera Benang Raja di depan rumah Alex di kawasan Kudamati, Ambon. Aksi ini sempat memancing reaksi warga Ambon yang menjadikan NKRI sebagai harga mati, yang kebetulan mayoritas muslim.

Kerusuhan bisa dihindari setelah polisi menciduk Alex, dua bulan kemudian. Bekas dokter teladan ini sempat divonis empat tahun penjara. Namun ia berhasil lari ke Amerika Serikat, memanfaatkan keteledoran administrasi. Surat vonis Mahkamah Agung yang jatuh pada Oktober 2003 ternyata baru sampai ke Kejaksaan Agung pada 21 November 2003, karena pengetikan salinannya telat. Ketika itu, Alex sudah kabur setelah dikeluarkan dari tahanan pada 8 November 2003 dengan alasan habis masa penahanannya.

Kaburnya Alex bukannya mematikan gerakan FKM. Hampir tiap tahun, tepatnya 25 April, peringatan HUT RMS semakin jorjoran. Bendera RMS berkibar di berbagai pelosok Ambon. Hanya saja, provokasi ini tak mempan. Warga Ambon, baik dari kalangan Kristen maupun Islam, yang meneken surat perdamaian di Malino pada Februari 2002, malah menentang mereka.

Barulah pada 2004, provokasi mereka berhasil. Kali ini, HUT RMS berlangsung lebih heboh. Sampai-sampai ada pelepasan balon gas ke udara yang membawa bendera RMS. Alex melayangkan pidato tertulis yang dibacakan Sekjen FKM, Mozes Tuanakotta. Tak lama kemudian Mozes ditangkap, yang kemudian memancing simpatisan FKM turun ke jalan.

Ambon kembali membara setelah pengunjuk rasa melintasi permukiman muslim yang pro-NKRI. Bentrok kedua kubu tak terelakkan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba terdengar tembakan. Beberapa orang roboh bersimbah darah. Satu di antara yang tewas adalah Abdullah Daeng Matta, Ketua DPC PKS Ambon. Kerusuhan baru bisa diatasi setelah polisi melakukan penggarukan besar-besaran. Sedikitnya 11 pentolan FKM ditahan pada 6 Mei 2004.

Sejak itu, keberadaan FKM nyaris tak terdengar, walau dari tahun ke tahun masih saja terjadi insiden kecil pengibaran bendera. Polisi pun melihat mereka tidak lebih hanya sebuah LSM. Kelangsungan hidup mereka bergantung pada bantuan luar negeri dan donator dari kalangan mereka sendiri. "Kekuatan mereka kecil," kata Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto, Kadiv Humas Mabes Polri.

Para aktivis RMS boleh saja dianggap kecil, bahkan bisa diibaratkan tak lebih dari sekadar bidak catur. Toh, nyatanya mereka mampu membuat kejutan. Mereka bisa menari cakalele di depan Presiden RI.

Hidayat Gunadi, Rach Alida Bahaweres, dan Deni Muliya Barus
[Laporan Utama, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 5 Juli 2007]

Copyright © 2002-04 Gatra.com.
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/aboroe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044