Indopos, Minggu, 01 Juli 2007
Pangdam - Kapolda Tunggu Nasib
Panglima: Aparat yang Bertanggung Jawab Insiden RMS Akan Diberi Sanksi
JAKARTA - Penyusupan kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) dalam acara
Presiden SBY akan membawa "korban". Sejumlah pejabat Polri dan TNI yang
bertanggung jawab akan diberi sanksi sebagai konsekuensi bobolnya pengamanan
RI-1.
Kepastian tersebut diungkapkan Panglima TNI Marsekal Djoko Soeyanto dan Kapolri
Jenderal Pol Sutanto setelah mereka melakukan rapat maraton membahas peristiwa
memalukan itu. Dua petinggi keamanan tersebut juga telah dipanggil presiden.
Mereka siap menerima konsekuensi akibat kelalaian anak buahnya di lapangan.
"Kemarin, kami membahas masalah itu seharian. Dalam laporan pertama kepada
presiden, kami menyampaikan itu menjadi tanggung jawab kami. Jadi, nasib kami
(terkait dengan kejadian Ambon, Red) berpulang kepada presiden," ujar Djoko kepada
wartawan di kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, kemarin.
Jumpa pers yang dihelat pukul 12.30 tersebut tidak dihadiri Kepala BIN Mayjen (pur)
Syamsir Siregar sebagai penanggung jawab intelijen istana.
Djoko menegaskan, anggotanya yang bertanggung jawab atas penyusupan RMS,
sehingga mengibarkan bendera di depan SBY itu, akan diberi sanksi. "Itu pasti. Hasil
evaluasinya akan kami peroleh secepatnya. Nanti terlihat siapa yang paling
bertanggung jawab, bergantung gradasinya," jelasnya.
Siapa yang bertanggung jawab? Menurut Djoko, tanggung jawab setiap kunjungan
presiden mengalir mulai panglima TNI, Pangdam, Danrem, dan satuan-satuan di
bawahnya. Kapan akan diputus? Dia menjawab in this week (dalam minggu ini).
Hal yang sama dilakukan Polri. "Tentu, yang bertanggung jawab akan dikenai sanksi
sesuai jabatannya," tegas Sutanto.
Dia menyatakan, pihaknya sudah membentuk tim internal yang terbang ke Ambon
untuk menyelidiki jajarannya yang terlibat. "Sekarang, ada dua kegiatan utama yang
dilakukan Polri. Pertama, penyidikan terhadap 31 orang yang terlibat dalam
pengibaran bendera. Lalu, evaluasi internal di seluruh daerah, terutama terkait dengan
pengamanan kunjungan presiden dan tamu negara," ungkapnya.
Djoko menilai, pengibaran bendera Benang Raja pada Jumat lalu merupakan bukti
bahwa gerakan RMS masih eksis. "Itu tentu tidak hanya menjadi domain panglima
TNI dan Kapolri. Nyata-nyata ada tindakan yang mengobarkan separatisme dan tidak
bisa ditoleransi," ujarnya.
Lantas, mengapa pihak keamanan kecolongan? Dia menyatakan, menurut informasi
yang diterima dirinya setelah memanggil aparat di daerah itu, hal tersebut terjadi
karena petugas lalai. "Itu karena ketidakcermatan, kelalaian, tidak proaktif, dan tidak
ada inisiatif yang tinggi dari aparat-aparat di lapangan untuk lebih dini mencegah para
penari penyusup tersebut menuju lapangan," ungkap Djoko. Dalam jumpa pers
kemarin, dia tercatat menyebut kata "kelalaian" hingga tujuh kali.
Evaluasi juga dilakukan terhadap prosedur tetap pengamanan presiden. "Pertama,
kami lihat berapa kekuatan ring satu, ring dua, dan ring tiga. Lalu, dalam jangka
menengah, dicek ulang apakah pembicaraan dengan pemda setempat dan aparat
TNI-Polri terkait dengan acara sudah matang," kata mantan KSAU tersebut.
Jadi, sebenarnya, siapa yang paling bersalah, TNI atau Polri? Ditanya seperti itu,
kedua petinggi keamanan tersebut malah terlihat kompak menyalahkan kerja intelijen.
"Sebelum pergerakan RI-1, seharusnya ada masukan terkait dengan kemungkinan
terjadinya demonstrasi atau unjuk rasa. Namun, ternyata mereka (RMS, Red) bisa
menyamar masuk. Itu berarti intelijen lemah, tidak proaktif dan lalai," tegasnya.
Sutanto mengiyakan. Menurut dia, deteksi dini gagal dilakukan. "Itu berarti ada
underestimate (meremehkan). Mereka tidak memprediksi bahwa akan terjadi
semacam itu," jelas alumnus Akpol '73 tersebut.
Untuk menunjukkan kekompakan keduanya, pada akhir acara, Kapolri dan panglima
berciuman pipi secara demonstratif di depan wartawan. "Yang lebih penting
hikmahnya adalah ada musuh separatisme yang nyata-nyata mengancam kedaulatan
Indonesia, bukan siapa yang salah," tegas Djoko lalu melangkah menuju mobilnya.
Namun, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Marsekal Muda Sagoem Tamboen
yang dihubungi pada Jumat lalu pascainsiden Lapangan Merdeka mengungkapkan,
intelijen TNI sudah memberikan laporan soal ancaman tersebut kepada otoritas
pengamanan setempat.
"Sudah ada warning awal. Sebelum kunjungan presiden, ada tim yang ke sana dan
bekerja dengan satuan-satuan pengamanan yang ada serta memberikan laporan
awal. Tentu, yang terutama bertanggung jawab sekarang adalah polisi. Meski begitu,
tidak berarti TNI lepas tangan," kata mantan Kadispen TNI-AU tersebut.
Sagoem menjelaskan, konsentrasi pengamanan yang dilakukan aparat TNI berada di
ring satu yang dipegang Paspampres dan ring dua yang ditangani aparat Kodam XVI
Pattimura setempat. Ring tiga berada di luar stadion dan pintu masuk lapangan. Ring
dua berjarak sekitar 50 meter dari posisi presiden (tengah lapangan). Ring satu
melekat pada presiden.
Penari perang itu lolos dari pintu masuk lapangan yang dijaga polisi. "Tapi, bisa saja
penari tersebut dianggap bagian dari acara. Lagi pula, kalau bendera, sweeping-nya
memang sulit. Mungkin saja dianggap sapu tangan," ungkapnya.
Tapi, bukankah ada senjata berupa tombak dan parang yang lolos? Menurut mantan
staf ahli panglima TNI tersebut, tombak dan parang itu menjadi aksesori dalam
rangkaian cakalele. "Kalau itu sudah bagian dari adat setempat, kita mau apa?"
ujarnya.
Meski begitu, Sagoem meminta agar semua pihak tidak saling menyalahkan terkait
dengan insiden tersebut. "Ada hikmah besar bagi kita semua. Itu berarti RMS masih
eksis dan harus dilakukan operasi penindakan," tegasnya.
Kontak Manuputty
Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Sisno Adiwinoto menyampaikan, secara teknis,
penyidik sedang berupaya mengejar Simon Saiya, tokoh yang dekat dengan Alex
Manuputty (ketua FKM yang kabur ke AS, Red). "Buktinya berupa surat berbahasa
Inggris tertanggal 25 Juni. Isinya, agar ada aktivitas untuk menunjukkan bahwa
mereka masih eksis," ungkapnya.
Kop surat itu bertulisan Transnasional Government of the Republic of the South
Molucas. "Itu menjadi dasar penyusupan tersebut. Yang pasti, ada kontak dengan
Alex Manuputty. Yang lain masih kami kembangkan," katanya.
Sisno juga tidak membantah ketika ditanya soal kemungkinan adanya pejabat Pemda
Maluku yang terlibat insiden itu. "Seperti jawaban Kapolri, kalau ada konspirasi, tentu
kami tindak," tegasnya.
©Copyright 2006, Indo Pos Online colo'CBN. |