Indopos, Kamis, 05 Juli 2007
Kesejahteraan Penawar Separatisme
Dalam sepekan terakhir ini, dua momen berbau separatis muncul di tanah air. Di
Ambon, aktivis RMS (Republik Maluku Selatan) membentang bendera 'benang raja'
pada acara Peringatan Harganas (Hari Keluarga Nasional). Aksi itu sangat menohok
karena dilangsungkan di depan Presiden SBY.
Di Papua, bendera bintang kejora muncul lewat tarian pada Konferensi Besar
Masyarakat Adat Papua. Bendera kebesaran OPM (Organisasi Papua Merdeka) itu
mendapat sambutan dalam acara yang berlangsung di GOR Cenderawasih, Jayapura.
Dua kejadian itu memberi sinyal kurang menggembirakan bagi keutuhan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dua peristiwa berbau separatis tersebut
mengancam kontrak sosial bangsa Indonesia yang telah bersepakat mengakui
teritorial dari Sabang sampai Merauke. Padahal, bagi rakyat Indonesia kontrak NKRI
itu sudah menjadi harga mati. Sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Tentu kita semua sepakat tak ingin kehilangan wilayah itu. Apa yang harus negeri ini
lakukan agar kedua wilayah itu tidak hilang dari peta Indonesia Raya? Lewat senjata?
Pilihan lewat operasi militer untuk memburu para pemberontak jelas bukan jalan
keluar terbaik. Operasi militer sering memberi citra buruk karena mereka adalah
saudara-saudara kita sendiri. Intinya, cara kekerasan bukan pilihan.
Lantas apa? Pilihan kesejahteraan tampaknya sebuah jalan keniscayaan. Kita harus
percaya, ketidaksejahteraan melahirkan ketidakpuasan. Ketidakpuasan
memunculkan kebencian. Dan, saat hal itu memuncak, mereka menyatakan 'bercerai'
dengan ibu pertiwi.
Apalagi untuk menangani Papua. Masyarakat Papua sadar bahwa tanah yang mereka
pijak adalah sebuah kekayaan yang sangat besar. Keberadaan sejumlah perusahaan
pertambangan seperti Freeport menjadi lambang bahwa tanah mereka begitu kaya.
Mereka tentu tak ingin hanya menjadi penonton. Mereka tetap miskin di tengah deru
mesin truk-truk pengangkut tembaga dan emas.
Masyarakat Papua jelas merasa tidak adil dengan apa yang mereka alami. Harga
barang yang tinggi tak mampu mereka beli, sementara tanah Papua menghasilkan
devisa yang begitu besar bagi negeri ini.
Karena itu, Jakarta seharusnya melihat momentum separatis itu dengan kacamata
kesejahteraan. Kita harus berpikir, mengapa berita tentang kelaparan itu datang dari
Yahokimo, Papua? Kalau kita merasa saudara dengan rakyat Papua, tentu kita tak
ingin mereka lapar di tengah tambang kaya.
Tentu, kalau masyarakat Papua sejahtera, mereka akan merasa menjadi saudara dan
senasib dengan seluruh masyarakat Indonesia. Bila menikmati kekayaan alamnya
itu, mereka akan merasa sangat dihargai sebagai bagian dari negeri kaya ini.
Begitu juga warga Maluku. Dalam sejarah, wilayah ini dikenal sebagai daerah kaya
raya rempah-rempah. Kesejahteraan yang akan membuat mereka tak terpancing
dengan move sensasi para aktivis RMS.
Penyelesaian kasus GAM di Aceh juga memberi pelajaran penting. Saat pemerintah
menggelar operasi militer, yang terjadi bukan persoalan selesai. Masalah menjadi
kacau dan yang terbunuh semakin banyak. Ketika kesejahteraan ditawarkan, semua
menjawab amin. Karena itu, sekali lagi kuncinya: Kesejahteraan harus kita
kedepankan untuk menyelesaikan separatisme. (*)
©Copyright 2006, Indo Pos Online colo'CBN. |