Indopos, Kamis, 05 Juli 2007
Sinyal Separatis Papua Menguat
Pejuang NKRI Minta Polisi Bertindak Tegas
JAYAPURA - Sikap polisi yang tidak tegas menindak insiden pembentangan bendera
Bintang Kejora membuat peserta pertemuan Masyarakat Adat Papua semakin berani
menampakkan simbol separatisme. Dalam pidato pertemuan itu kemarin, para
peserta semakin terang-terangan menyatakan ingin lepas dari Indonesia.
Ancaman disintegrasi tersebut tecermin dalam penyampaian pandangan tokoh-tokoh
daerah. Beberapa ketua Dewan Adat secara implisit menyatakan ingin berdiri sendiri.
"Jika Papua masih hidup dalam NKRI, berarti itu pemusnahan terhadap bangsa
Papua oleh NKRI," kata utusan dari Merauke dalam acara yang berlangsung di GOR
Cenderawasih, Jayapura, tersebut kemarin.
Lalu, Dewan Adat dari Manokwari Barnabas Mandacan meneriakkan ingin
referendum. "Kami sudah berjuang puluhan tahun. Mari bersatu melaksanakan
referendum," ujarnya.
Apolos Mora dari Teluk Saireri meminta kepada DAP agar pelurusan sejarah dijadikan
tonggak penentuan nasib sendiri. Hampir sebagian besar pidato mereka
mencerminkan suara separatisme. Apalagi, di luar sidang, muncul demo yang
mendukung gerakan separatis tersebut.
Meski nuansa separatis itu semakin berani, ada pula suara yang pro-NKRI. Ketua
Dewan Adat Sarmi Seblum Werbekai mengajak membangun kebersamaan dengan
pemerintah daerah serta menata kesejahteraan masyarakat adat dan menjunjung
kegiatan Dewan Adat. "Perlu adanya kerja sama dengan pemerintah daerah. Pemda
harus mempersiapkan dana untuk membangun kantor DAP," ungkapnya. Ada pula
sejumlah harapan lain untuk memperbaiki lembaga dan masyarakat adat ke depan.
Mereka yang mencoba membangun separatis itu hanya sebagian tokoh Papua.
Bahkan, pada hari yang sama, di tempat terpisah, sejumlah pejuang Papua
mengecam pembentangan bendera Bintang Kejora. Mereka meminta agar polisi
menindak gerakan separatis itu.
"Selaku orang tua dan tokoh pejuang, saya sangat prihatin atas kejadian
pembentangan Bintang Kejora di GOR. Sebab, kejadian tersebut kami nilai sangat
bertentangan dengan Pancasila maupun UUD 1945," tegas Ramses Ohee yang
didampingi para tokoh pejuang lain dalam acara konferensi pers di Hotel Matoa, Rabu
(4/7).
Menurut dia, upaya pembentangan bendera Bintang Kejora di GOR tersebut
merupakan kegiatan yang sudah mengarah ke separatisme dan disintegrasi bangsa.
"Kita harus bersatu dan tidak boleh lagi ada upaya membentangkan maupun
mengibarkan Bintang Kejora. Sebab, Bintang Kejora itu diklaim sebagai lambang
negara Papua Barat. Jadi, tidak boleh ada negara di dalam negara," ungkapnya.
"Panitia Konferensi Dewan Adat Papua dan para penari yang membentangkan
Bintang Kejora itu harus diproses sesuai hukum di negara kita," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, tokoh Generasi Muda Pejuang NKRI Daniel Wanda
menyatakan, negara ini adalah negara hukum. Karena itu, yang dilakukan
masyarakat juga harus berdasar hukum.
"Bintang Kejora merupakan bendera negara Papua Barat. Karena kita berada dalam
bingkai NKRI, upaya membentangkan Bintang Kejora jelas-jelas bertentangan dengan
NKRI dan mengarah ke separatis serta disintegrasi bangsa. Apalagi, pembentangan
Bintang Kejora itu diduga kuat telah direncanakan. Itu terlihat dari pakaian para penari
tersebut yang juga bermotif Bintang Kejora," katanya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Sutanto menjelaskan, kasus bendera OPM cukup
ditangani Polda Papua. "Itu sudah ditangani polda setempat. Jangan sampai terjadi
lagi," ujarnya setelah menghadiri korps rapor perwira menengah di Mabes Polri
kemarin.
Mengapa berbeda? "Itu (pengibaran) di lingkungan mereka. Tentu lain," katanya. Dia
tidak menjelaskan apakah "lain" yang dimaksud tersebut termasuk kategori makar
atau tidak.
©Copyright 2006, Indo Pos Online colo'CBN. |