Indopos, Minggu, 08 Juli 2007
Hendropriyono: Waspadai Dana Otsus Papua
JAKARTA - Tudingan lemahnya aparat intelijen di balik "bobolnya" gerakan
separatisme RMS dan OPM kemarin dijawab mantan Kepala Badan Intelijen Negara
(BIN) A.M. Hendropriyono. Purnawirawan jenderal berbintang empat itu menegaskan
bahwa BIN tidak bisa disalahkan dalam kasus tersebut.
Menurut dia, sebagai mata dan telinga negara, BIN seharusnya punya sistem yang
kuat agar bisa bekerja maksimal. Namun, yang terjadi, saat ini BIN tidak punya
sistem, undang-undang, atau dasar pijakan yang pasti tentang hal yang boleh dan
tidak boleh.
"UU Intelijen tak kunjung jadi. Orang-orangnya (orang BIN, Red) sama dengan dulu.
Yang ganti-ganti presidennya," ujarnya dalam diskusi bertajuk Mengungkap
Eksistensi Separatisme di Menara Kebon Sirih kemarin.
Dibandingkan zaman Orba, kata dia, orang BIN sekarang memang jauh berbeda.
Sebelumnya, BIN terkesan kuat. Namun, saat ini, lembaga yang pernah dia pimpin itu
terpojok (gamang). "Dulu, segala cara bisa dipakai. Kalau reformasi, kita (BIN, Red)
harus tunduk pada the rule of law," ujarnya.
Yang memprihatinkan, ujar dia, saat ini, untuk mendapatkan informasi, BIN harus
mendapatkan izin provider (penyedia layanan, Red) guna menyadap telepon seluler.
"Masak kegiatan intelijen harus izin sama orang swasta," ungkapnya.
Soal gerakan separatisme yang saat ini mulai berani unjuk gigi, kata Hendro, itu
menjadi warning bagi pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi. "(Kemungkinan
maraknya) gerakan separatisme lima tahun ke depan perlu kita antisipasi," tegasnya.
Gerakan tersebut, jelas dia, bersifat separatisme periferal yang timbul akibat turunnya
kepercayaan daerah terhadap pemerintah pusat. Bukan hanya Maluku dan Papua,
daerah lain seperti Kalimantan pun berpeluang berusaha melepaskan diri dari
Indonesia. "Itu disebabkan adanya kesalahan berturut-turut dari pemerintahan yang
satu ke yang lain," ungkapnya.
Daerah mana yang paling berpotensi berontak? "Yang paling dekat Papua. Papua
lebih siap maju mendahului daerah-daerah yang kesusupan ide separatisme,"
ujarnya.
Kelebihan Papua, jelas dia, mereka punya sponsor. Tidak sampainya dana otonomi
khusus yang setahun mencapai Rp 17 triliun ke masyarakat diduga merupakan
kesengajaan agar anggaran itu bisa mendanai gerakan separatis.
Tampil sebagai pembicara sebelumnya, Ketua DPP Partai Hanura Suadi Marassabesi
menyatakan, insiden bendera RMS di Lapangan Merdeka Ambon seharusnya sudah
dideteksi aparat intelijen.
Menurut informasi, kata dia, sejak H-2 atau H-3, intelijen sebenarnya diberi tahu soal
adanya persiapan tarian cakalele (tarian perang, Red) yang diindikasikan bakal
dipentaskan dalam acara tersebut. "Ada sekelompok orang yang membeli celana
panjang hitam dan parang. Kalau kami orang Maluku langsung tahu itu untuk tarian
cakalele," ujarnya bernada tinggi.
Sayangnya, bukannya bertindak, aparat intelijen justru terkesan mengabaikan
informasi tersebut. Suadi menduga ada ketidakberesan koordinasi aparat intelijen di
daerah dengan pusat, sehingga indikasi kuat adanya gerakan separatis itu tak
ditindaklanjuti. "Yang mengherankan, mereka punya ID-card dari panitia. Masalah itu
seharusnya didalami intelijen sebelum acara dimulai," tegasnya.
Senada dengan itu, anggota Komisi I DPR Yorris Raweyai mengungkapkan, kinerja
intelijen bukannya semakin baik, namun justru terlihat semakin tak akurat dan
sistemnya lemah. "BIN tidak punya visi nasional, sehingga misinya pun bias. Jadi,
bergantung interpretasi orang yang pegang," katanya.
Pria asal Papua tersebut mengusulkan perlunya perbaikan sistem dan SDM. Bukan
hanya itu, BIN juga harus menerima konsekuensi reformasi dengan mengubah
paradigma dari intelijen militer menjadi intelijen sipil. "Pendekatannya pun harus
berubah," ujarnya.
©Copyright 2006, Indo Pos Online colo'CBN. |