JAWA POS, Jumat, 06 Juli 2007
Cara Pemerintah Atasi RMS pada 1950
Oleh I Basis Susilo
Kasus penyusupan aktivis "Republik Maluku Selatan" (RMS) dalam acara Hari
Keluarga Nasional (Harganas) XIV di Ambon yang dihadiri Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (30/6/2007) mengundang reaksi masyarakat warga Maluku di Ambon
sendiri dan di kota-kota lain di Indonesia. Mereka menolak aksi separatisme yang
mengatasnamakan masyarakat Maluku Selatan itu.
Untuk diketahui, pemberontakan RMS diotaki Dr Ch R. Soumokil. Proklamasi
dibacakan oleh J. H. Manuhutu di Ambon pada 25 April 1950. Pemberontakan RMS
tersebut dilatarbelakangi oleh frustrasi sebagian eks KNIL dan politik devide et impera
pemerintah Belanda pada waktu itu. Tentang kebingungan eks KNIL, Herbet Feith
(1962) menulis: "... were therefore ambivalent in their responses to the Indonesian
nationalism."
Tentang politik devide et impera, Alastair M. Taylor (1960) menulis bahwa Belanda
menginginkan bekas jajahannya menjadi federal dengan negara-negara bagian yang
kecil-kecil. Tetapi, begitu menjelang KMB Pemerintah Republik Indonesia mengambil
kebijakan "trace baru", yaitu merangkul negara-negara bagian. Belanda lalu
mendukung pelbagai pemberontakan di mana-mana, seperti DI, APRA, peristiwa Andi
Azis, dan PRRI/Permesta.
Tulisan ini membahas dua hal. Pertama, bagaimana pada 1950 pemerintah kita
menghadapi pemberontakan RMS. Dari pembahasan ini ada pelajaran bahwa sikap
lugas (luwes dan tegas) pemerintah sangat diperlukan dalam menghadapi
pemberontakan.
Kedua, bagaimana reaksi masyarakat Maluku terhadap pemberontakan itu. Pelajaran
dari yang ini, ada kemiripan reaksi masyarakat Maluku Selatan terhadap RMS pada
1950 dan 2007, yaitu sebagian besar masyarakat Maluku Selatan tidak mendukung
RMS.
Lugas
Pemerintah Indonesia pada waktu itu (1950) menghadapi pemberontakan RMS
dengan tiga opsi. Opsi pertama, penyelesaian secara damai dengan
pembicaraan-pembicaraan. Opsi kedua, bila opsi pertama tidak berhasil, dilakukan
blokade laut untuk memaksa mereka bersedia berunding. Opsi ketiga, bila opsi
pertama dan kedua tidak berhasil, akan dilakukan operasi militer, seperti pendaratan
dan lain-lain.
Opsi pertama dimulai pada 27 April 1950 dengan mengirim Dr J. Leimena (menteri
kesehatan waktu itu), Ir Putuhena, Pellaupessy dan Dr Rehatta. Rombongan
berangkat ke Ambon dengan korvet Hang Tuah. Merapat pada 1 Mei 1950, sebuah
higginboot mendatangi Hang Tuah dengan Syahbandar Ambon sebagai pengantar
surat yang berisi penolakan. Rombongan akan memberi surat balasan, tetapi
higginboot itu telah diperintahkan untuk segera kembali, tak boleh menunggu.
Leimena menyatakan, "Kami sesalkan bahwa mereka tidak mau menerima dan
berbicara dengan kami yang datang melulu untuk merundingkan hingga soal Maluku
dapat diselesaikan dengan baik untuk kepentingan dan keselamatan seluruh nusa
dan bangsa. Saya persoonlijk merasa ini sangat menyedihkan" (Jusuf A Puar, 1956).
Opsi kedua, bolkade laut, dilakukan pada 18 Mei sampai 14 Juli 1950. Semua
perairan Maluku diawasi dan kapal-kapal pemberontak dihancurkan. Pada 14 Juli
diadakan pendaratan di Pulau Buru dan kemudian di pula-pulau lain seperti Seram,
Tanimbar, Kei, dan Aru. Opsi kedua ini pun tidak bisa memaksa Soumokil bersedia
berunding.
Opsi ketiga, operasi militer, dilakukan di bawah kepemimpinan Kolonel Kawilarang,
panglima Indonesia Timur saat itu. Operasi militer menumpas pemberontakan RMS
yang terkenal dengan Gerakan Operasi Militer IV atau GOM IV. Komandan pasukan
(brigade) adalah Letkol Slamet Riyadi. Rencananya: pasukan pertama didaratkan di
Hitu, kemudian pasukan kedua di Tulehu, lalu pasukan ketiga di Ambon (RZ Leirissa,
1978).
Mengingat persenjataan, sistem transportasi dan sarana komunikasi yang belum
secanggih sekarang ini, operasi berlangsung lama. Operasi itu baru bisa mulai
dilakukan September, dan baru Oktober APRI menguasai jazirah Hitu. Akhirnya pada
4 November 1950 benteng Nieuw Victoria dapat direbut APRI. Sisa-sisa angkatan
perang RMS lari ke gunung dan banyak yang melarikan diri ke pulau-pulau sekitar
pulau Ambon. Pimpinan angkatan perang RMS tertangkap atau menyerah pada 1952.
Soumokil sendiri baru tertangkap pada 1962.
Dukungan Minim
Selain karena kelugasan dalam menghadapi pemberontakan itu, tindakan pemerintah
dimudahkan oleh kenyataan bahwa pemberontakan RMS tidak mendapat dukungan
sebagian besar masyarakat Maluku Selatan sendiri. Proklamasi itu sendiri dibacakan
di bawah tekanan-tekanan bayonet tentara KNIL.
Manuhutu menyatakan dirinya mendapat tekanan dari tentara KNIL, Soumokil, dan
Manusama ketika membacakan teks proklamasi RMS pada 25 April 1950. Dua hari
sebelumnya, ketika didesak Soumokil dan Manusama, Manuhutu menolak
memproklamasikan RMS. Dia meminta hal itu mesti diajukan ke Dewan Maluku
Selatan terlebih dulu. Lalu 24 April malam, Manuhutu dipaksa dan diancam jiwanya
bila tak mau memprokalasmikan RMS.
Menurut Teu Lususina (1950): "... rakyat di kota Ambon banyak lari ke gunung dan
telah diumumkan di Ambon bahwa kalau mereka tidak ke kota, toko-toko di Ambon
di-beslag. Rakyat di sana hidup dalam ketakutan, demikian juga di Saparua.
Orang-orang Maluku Selatan yang ada di luar Maluku Selatan umumnya menentang
proklamasi RMS. Pada 26 April 1950, di Makassar rapat organisasi-organisasi
"Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku", "Pattimura", dan "Ikatan Pemuda Indonesia
Maluku" mengeluarkan pernyataan menentang proklamasi itu. Orang-orang Maluku di
Sumbawa menyetuji sikap Makassar itu dan mendesak pemerintah RIS bertindak
segera. Di Malang, masyarakat Maluku pada 30 April mengadakan rapat dan menolak
proklamasi RMS itu.
Berita Antara (22 Mei 1950) menulis: "Kapal-kapal RIS yang berpatroli di perairan
Maluku Selatan terus didatangi rakyat dari kepulauan itu dan dari mereka ini diketahui
keadaan sebenarnya sekarang di pulau-pulau di mana 'politieke & militaire avonturiers'
Maluku Selatan bermaharajalela. ... semua pembunuhan ini akibat dari proklamasi
yang dikeluarkan di ujung bayonet."
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
|