JAWA POS, Selasa, 10 Juli 2007
SBY-Kalla Tolak Partai GAM
Istana tak Restui saat Dilobi Malik Mahmud
JAKARTA - Bibit-bibit ketegangan mulai muncul dalam hubungan istana (pemerintah
pusat) dengan mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hal itu dipicu langkah
mantan anggota gerakan separatis yang mendirikan partai lokal dengan simbol dan
nama GAM.
Presiden SBY langsung menolak ketika disodori rencana partai berbau separatis itu.
Begitu juga Wapres Jusuf Kalla. Kedua petinggi tersebut menyangkal telah memberi
restu, seperti isu yang beredar.
Kamis (4/7) pukul 20.00, mantan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud bertemu
Presiden SBY. Orang berpengaruh di Aceh itu menyampaikan gagasan pendirian
Partai GAM. SBY langsung menolak. "Presiden saat itu tegas menyatakan tidak
setuju," kata Mensesneg Hatta Radjasa saat konferensi pers di Kantor Sekretariat
Negara kemarin. Hatta juga mengaku hadir dalam pertemuan SBY dan Malik Mahmud
tersebut.
Menurut Hatta, SBY tidak sepakat karena nama dan lambang partai tersebut tidak
sesuai dengan semangat MoU Helsinki. Apalagi nota kesepahaman yang
ditandatangani pada 15 Agustus 2005 telah melahirkan perdamaian dan UU tentang
Pemerintahan Aceh yang semangatnya adalah NKRI dan rekonsiliasi.
Bagi SBY, kata Hatta, pendirian partai politik lokal harus disesuaikan dengan UU
Pemerintahan Aceh. Karena itu, lanjut dia, pemerintah telah membuat aturan
pendirian partai politik lokal melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun
2007.
Dalam PP itu disebutkan bahwa Kepala Kantor Wilayah Depkum HAM mengawasi
pendirian partai dan memverifikasi pembentukan badan hukum tersebut. Depkum
HAM juga harus meneliti nama organisasi, lambang, berikut susunan
kepengurusannya. Selain itu, lanjut Hatta, harus ada pengawasan-pengawasan yang
dilakukan Komite Independen Pemilu apabila partai tersebut mengikuti pemilu.
Hatta mengaku sudah berkoordinasi dengan Menkum HAM Andi Matalatta. Berdasar
hasil koordinasi itu diketahui, ternyata, Andi belum menerima laporan pendaftaran
Partai GAM. Jadi, status Partai GAM, kata Hatta, sebatas deklarasi.
Selanjutnya, gubernur selaku perwakilan pemerintah pusat juga harus mengawasi
berdirinya partai lokal. Mendagri ad interim Widodo A. S., kata Hatta, akan
berkoordinasi dengan Irwandi Jusuf, gubernur NAD. "Saya ingin tegaskan sekali lagi
bahwa presiden tidak menyetujui pembentukan partai lokal dengan nama Partai GAM
tersebut," kata Hatta.
Bagi Hatta, pendirian Partai GAM itu melawan semangat untuk bersatu dan
membangkitkan luka-luka lama. Semangat MoU Helsinki, lanjut dia, adalah recovery
dan rekonsiliasi pascakonflik. Karena itu, seluruh pendirian partai harus mengacu
pada semangat tersebut.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menegaskan tidak pernah menyetujui penggunaan
nama dan bendera GAM sebagai identitas partai lokal yang didirikan para petinggi
GAM. "Tidak ada persetujuan (penggunaan nama dan atribut GAM), sama sekali
tidak pernah, sama sekali tidak benar," tegas Kalla ketika meninjau persiapan Piala
Asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Selatan, kemarin.
Kalla juga mengakui, mantan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud berkali-kali
meminta izin menggunakan nama dan bendera GAM sebagai identitas partai lokal
yang didirikan bekas kombatan GAM itu. "Tapi selalu saya katakan, janganlah itu. Itu
tidak sesuai dengan spirit kita untuk damai," ujarnya.
Selain tidak sesuai dengan semangat damai, kata Kalla, penggunaan nama dan
atribut militer GAM bertentangan dengan Nota Perjanjian Damai Aceh yang
ditandatangani di Helsinki. Dalam MoU Helsinki, lanjut Wapres, spirit yang
berkembang adalah pemerintah memberi ruang pada bekas kombatan GAM untuk
bergerak dalam politik praktis pada bingkai NKRI. "Artinya, spirit yang berkembang
dalam MoU Helsinki itu GAM dibubarkan secara alamiah," terang Kalla.
Mantan Ketua Pansus RUU Pemerintahan Aceh Ferry Mursyidan Baldan meminta
pemerintah untuk secepatnya mengingatkan gubernur NAD agar mendekati para
petinggi Partai GAM. "Gubernur harus berbicara secara resmi kepada elite-elite Partai
GAM agar tidak menggunakan nama dan lambang yang sensitif tersebut," kata
anggota Komisi II DPR RI itu kemarin.
Menurut dia, penggunaan nama dan lambang GAM kontraproduktif dengan semangat
parpol lokal yang diamanatkan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dia
lantas menyitir salah satu klausul dalam UU tersebut yang menyatakan, salah satu
fungsi parpol lokal di Provinsi NAD adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi
terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.
"Penggunaan nama dan simbol GAM hanya akan menimbulkan sekat lagi," tegasnya.
Akan Musyawarahkan
Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Ibrahim Syamsuddin tetap besikukuh
menggunakan nama Partai GAM dengan lambang bendera GAM. "Sampai hari ini kita
tetap menggunakan nama dan lambang partai sebagaimana yang telah kita
deklarasikan," katanya menyikapi pelarangan nama dan bendera GAM itu.
Menurut Ibrahim, tidak ada dasar hukum yang melarang pihaknya untuk membuat
partai dan bendera yang melambangkan GAM, baik itu MoU Helsinki dan UUPA.
"Larangan yang ada adalah menggunakan embel-embel GAM seperti senjata, baju
loreng dan topi dari militer GAM. Itu yang dilarang dalam MoU,"sebutnya.
Namun, katanya, tidak tertutup kemungkinan partai GAM juga akan membicarakan
lebih lanjut dengan pimpinan dan majelis partai terhadap larangan presiden dan wakil
presiden tersebut. "Untuk menentukan sikap partai selanjutnya akan kita
musyawarahkan lagi dengan para pimpinan partai," katanya. (tom/nue/noe/pri)
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
|