KOMPAS, Sabtu, 30 Juni 2007
Atasi Separatisme, Pendekatan Kesejahteraan Harus Lebih
Ditonjolkan
Jakarta, Kompas - Pemerintah diharapkan lebih menonjolkan pendekatan
kesejahteraan ketimbang pendekatan keamanan, dalam mengatasi gerakan
separatisme, termasuk di Maluku.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengungkapkan itu,
menanggapi insiden pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) oleh
sejumlah penari saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada di Lapangan
Merdeka, Ambon, Jumat (29/6).
"Masalah bangsa ini adalah kesejahteraan. Demokrasi itu harus melahirkan
kesejahteraan. Reformasi belum menjawab itu," papar Irman. Ia menambahkan,
"Kalau melihat Aceh dan Papua, masalah fundamental adalah kesejahteraan.
Pendekatan kesejahteraan harus lebih ditonjolkan daripada pendekatan keamanan."
Irman juga mengingatkan, Maluku di abad ke-16 pernah menjadi pusat perekonomian
dunia karena menjadi pusat rempah-rempah. Masyarakat Maluku akan
membandingkan kondisi saat ini dengan masa lalu itu. Dia khawatir apabila kasus
RMS ini disikapi dengan represif, suasana menjadi kembali tegang dan lebih
memperburuk kesejahteraan masyarakat di sana. "Tentu pengibaran bendera RMS ini
tidak bisa ditolerir karena Presiden itu simbol negara. Aparat yang harus dievaluasi,"
katanya.
Intelijen
Sementara anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
Andreas Pareira, sependapat jika pendekatan kesejahteraan harus lebih
dititikberatkan dalam menangani separatisme di Maluku. Tetapi, juga penting
diperhatikan pemerintah adalah pengamanan yang bersifat preventif, yaitu
kemampuan intelijen.
"Insiden di Ambon menunjukkan tidak berfungsinya intelijen dan pihak keamanan
dalam menjaga kehormatan bangsa dan wibawa Presiden sebagai simbol negara,"
kata Andreas.
Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berharap Presiden menindak
Kepala Badan Intelijen Negara, Kepala Polda Maluku, dan Panglima Komando Daerah
Militer sebagai yang paling bertanggung jawab atas insiden itu. "Kita ingin lihat
bisakah Presiden bersikap tegas," katanya lagi.
Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar juga menilai. pejabat intelijen dan
kepolisian daerah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas insiden itu.
Secara terpisah, Makmur Keliat, pengamat intelijen dari Universitas Indonesia,
Jakarta juga menilai kegagalan intelijen dalam kasus di Ambon itu. Semestinya
peristiwa ini bisa dicegah jika ada koordinasi baik antarlembaga intelijen.
"Itu menandakan intelijen tidak mampu menjalankan fungsi peringatan dini.
Bagaimana tidak jika masing-masing lembaga ini jalan sendiri-sendiri," ujarnya.
(sut/jon)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|