KOMPAS, Sabtu, 30 Juni 2007
Aksi Separatisme Berkedok Cakalele
AGUNG SETYAHADI
"Keluarkan itu! Sebarkan ke tamu asing," teriak Jeremias Saija (27). Ia salah satu dari
28 aktivis Republik Maluku Selatan atau RMS yang mempertontonkan tarian cakalele
secara liar di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon, Maluku, Jumat
(29/6) pagi.
Seketika, orang-orang tanpa baju itu merogoh selebaran dari sebuah kantong plastik
biru muda. Isinya, seruan makar terhadap Negara Kesatuan RI dan menuntut
pengosongan Maluku dari TNI dan Polri. Salah seorang di antara mereka
mengeluarkan selembar bendera benang raja, lambang perjuangan gerakan RMS.
Pengakuan Jeremias saat diinterogasi aparat di Markas Kepolisian Resor Pulau
Ambon dan Pulau-pulau Lease, Jumat siang, sedikit menyingkap masalah ini.
Jeremias dan rekan-rekannya ingin eksistensi RMS diakui. Mereka menilai kehadiran
Presiden sebagai momen tepat untuk menunjukkan eksistensi itu.
Abraham Saija (23), rekan Jeremias Saija, mengakui, ia dan teman-temannya tidak
dibayar oleh siapa pun untuk menyusup ke acara itu. Gerakan itu semata-mata demi
pengakuan atas eksistensi mereka. Mereka tidak takut akan tindakan tegas aparat,
termasuk penangkapan.
Aksi ini menunjukkan betapa longgarnya pengamanan kunjungan seorang kepala
negara.
Mengapa cakalele?
Ide awal aksi muncul sejak sebulan lalu di Desa Aboru, Kecamatan Pulau Haruku,
Maluku Tengah, Maluku. Namun, baru Kamis malam, sehari sebelum upacara Hari
Keluarga Nasional (Harganas) berlangsung, strategi menyamar sebagai penari
cakalele diputuskan.
Tarian itu dipilih karena secara kultural memiliki "aura" untuk "menghipnotis"
orang-orang, termasuk aparat, jadi permisif. Maklum, tarian cakalele merupakan
tarian perdamaian khas Maluku yang lazim diperagakan di depan tamu agung.
Cakalele melambangkan etos perjuangan Kapitan Pattimura. Peluang inilah yang
dimanfaatkan para aktivis RMS. Mereka memanfaatkan misi luhur cakalele demi
mengelabui aparat. Kesenian rakyat itu menjadi kendaraan yang mengantar mereka
ke depan Presiden.
Mengingat acara Harganas di Maluku tak lepas dari misi membangun rekonsiliasi
sosial, tarian itu dianggap sangat pas. Jeremias dan kawan-kawan sudah
memperhitungkan hal itu.
Petugas diperkirakan tak terlalu hirau jika tiba-tiba ada aksi yang melibatkan puluhan
orang dalam kemasan adat. Tifa, alat musik tradisional, berikut pedang dari kayu,
adalah perangkat adat yang diperkirakan kuat untuk mengecoh aparat.
Abraham Saija, satu dari 28 tersangka itu, mengatakan ide penyusupan melalui tarian
cakalele digagas koordinator gerakan, Yoyok Teterisa.
Alhasil, strategi mereka berhasil mengecoh aparat keamanan. Sebelum acara
dimulai, pintu lokasi acara memang dijaga ketat aparat keamanan. Namun, setelah
Presiden hadir dan acara dimulai, penjagaan mengendur. Hujan yang turun sejak pagi
mungkin menggoda para aparat keamanan untuk berteduh.
Kehadiran para aktivis RMS sebetulnya bisa mengundang kecurigaan. Maklum,
busana dan aksesori mereka tidak mencerminkan penyemarak acara yang
dipersiapkan panitia. Para penari bertelanjang dada dengan celana pendek
sehari-hari. Tak tampak atribut penari cakalele seperti celana merah, ikat kepala
merah, dan riasan wajah.
Sebelum masuk lapangan, para penari sempat dicegat polisi yang berjaga di
perempatan Jalan AY Patty. Jalan itu berada di depan Lapangan Merdeka. Mereka
bergerak ke arah Balaikota Ambon di samping lapangan Merdeka sambil terus
menarinari. Penari berbelok di samping Kantor Gubernur Maluku menuju ke Gereja
Maranatha.
Anehnya, dari arah itu mereka bisa masuk ke Lapangan Merdeka dan menembus
penjagaan aparat keamanan yang terdiri atas kepolisian, TNI, dan Paspampres.
Mereka masuk ke tengah lapangan melalui jalan selebar sekitar 5 meter di samping
podium para tamu undangan di sisi timur podium utama. Saat itulah sekitar 4.000
peserta peringatan Harganas tersadar, ada usaha penyusupan RMS.
"Saat masuk, kami tidak dilarang. Kami dibiarkan masuk. Kalau tidak boleh masuk,
kami tidak akan memaksa," ungkap Jeremias. Ia bahkan masih sempat mengatur
siapa saja yang akan membawa selebaran sebelum kemudian disita polisi.
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|