The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Selasa, 03 Juli 2007

Tarian "Siluman" Itu Lolos dari Deteksi Intelijen

Di sebuah rumah kopi di kawasan Batumerah, Ambon, Maluku, Senin (2/7), sejumlah pria muda antusias menceritakan masuknya penari cakalele ke Lapangan Merdeka. Seperti di berbagai tempat nongkrong lainnya di Kota Ambon, tarian yang dilakonkan secara liar oleh aktivis Republik Maluku Selatan atau RMS di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat lalu, memang menjadi buah bibir.

Informasi yang diperoleh dari media massa itu terus dikemas dalam bahasa tutur yang menarik. Isunya terus berkembang dalam komunikasi sosial. Namun, tak satu pun yang bisa menjawab bagaimana mungkin para penari itu menembus pengamanan presiden.

Berbagai spekulasi pun muncul, mulai dari konspirasi, kelalaian aparat keamanan, hingga penggunaan mantra-mantra gaib. Jawaban atas pertanyaan itu memang masih kabur. Polda Maluku dan Kodam XVI Pattimura selalu menyatakan kasus ini masih dievaluasi.

Dugaan titik lemah ada di pengamanan ring II dan III muncul karena para penari ini sempat menari di Jalan Sultan Hairun, kemudian berbelok ke Jalan Wem Reawaru, Jalan Pattimura, dan masuk ke Lapangan Merdeka melalui pintu selatan. Padahal, di jalur itu ada aparat keamanan yang terdiri atas kepolisian, TNI, dan Paspampres.

Mereka masuk ke tengah lapangan melalui jalan selebar lima meter di samping podium para tamu undangan, di sisi timur podium utama.

Para penari ini dibiarkan saja menari di jalan-jalan yang sudah disterilkan. Padahal, masyarakat umum dan wartawan harus diperiksa ketika melintasi jalan-jalan itu. Yang tidak punya kartu izin resmi tidak bisa lewat.

Anehnya lagi, para penari itu leluasa masuk ke lapangan di saat Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu sedang berpidato. Mereka kemudian diam selama 15 menit, menunggu Gubernur selesai membacakan pidato.

Jeremias Saija, salah satu aktivis RMS, mengaku tidak ada aparat yang menghalangi mereka masuk ke Lapangan Merdeka. "Jangan salahkan kami kalau kami bisa masuk ke lapangan," ujarnya.

Penyusupan itu sebenarnya telah direncanakan sebulan yang lalu. Mereka telah rapat di Desa Aboru, Haruku, Maluku Tengah, dilanjutkan di Desa Hutumuri, Lei Timur Selatan, kemudian di Batugantung, Nusaniwe, dan terakhir di kompleks Pagar Seng, Kelurahan Mardika, Ambon, Kamis malam.

Tidak jelas benar bagaimana aktivitas mereka bisa lepas dari pemantauan aparat keamanan. Para penari ini bahkan mengaku leluasa berlatih tarian cakalele di Hutumuri di bawah bimbingan Raja Hutumuri Ferdinand Waas.

Di tengah polemik kelalaian aparat itu, kemudian muncul dugaan adanya konspirasi antara aktivis RMS dan panitia teknis Hari Keluarga Nasional (Harganas) XVI yang dihadiri Presiden Yudhoyono. Dugaan ini dikuatkan oleh pengakuan salah satu tersangka, Ferdinand Waas, bahwa ada elite politik lokal yang akan dimintai konsultasi untuk memasukkan tarian cakalele ke dalam agenda acara.

"Bola panas" pun bergulir ke Asisten I Sekda Maluku Jopi Patty. Kepolisian sudah mengirim surat panggilan Jopi sebagai saksi. Menurut Jopi, konsultasi itu tidak pernah terjadi.

"Sesuai dengan BAP (berita acara pemeriksaan) polisi, Raja Hutumuri menyebutkan akan berkonsultasi ke saya. Yang perlu ditekankan adalah kata akan. Sampai dengan acara itu, saya tidak pernah dikontak dan tidak pernah menghubungi Raja Hutumuri. Jadi saya ini merasa dikambinghitamkan," ujarnya.

Pengungkapan kasus ini terus menjadi polemik karena saling lempar tanggung jawab. Polisi dan TNI tidak mau dikatakan kecolongan. Sedangkan panitia teknis Harganas menolak tudingan tidak koordinatif.

Situasi yang mengambang tanpa ada kejelasan ini menjadi salah satu pemicu ketidakpuasan masyarakat. Mahasiswa, organisasi kepemudaan, dan sejumlah elemen masyarakat menggelar demonstrasi menuntut kejelasan kasus ini.

Mayjen TNI Sudarmaedy Soebandy, Panglima Kodam XVI Pattimura pun masih bungkam. Ia belum mau memberikan keterangan dengan alasan masih dievaluasi. Asisten Teritorial Kolonel (Inf) Yudi Zanibar meminta masyarakat sabar.

Kondisi yang menggantung ini telah memicu pembelokan isu secara liar menuju nuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Senin siang, sekelompok pengunjuk rasa di Lapangan Merdeka sempat melempari sebuah tempat ibadah. Insiden ini segera diredam aparat kepolisian.

Namun, selang satu jam kemudian, isu ini berlanjut lagi saat demonstran berkumpul di depan Masjid Al Fatah, Jalan Sultan Baabullah. Massa yang emosional terpancing lagi untuk menghadang mobil angkutan umum jurusan Amahusu dan Kudamati. Sekali lagi, insiden ini bisa diredam oleh aparat keamanan bersama masyarakat setempat.

Bibit isu SARA ini telah telanjur menyebar dan masyarakat mulai waswas. Pembelokan isu telah menjadi hantu yang menakutkan bagi warga Ambon. Kedamaian yang mereka impikan kembali mengambang.

Tarian cakalele yang menggambarkan etos perjuangan Kapitan Pattimura yang mestinya dimaknai untuk semangat rekonsiliasi malah menebar kembali benih-benih permusuhan. Siapa yang salah? (Agung Setyahadi)

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/aboroe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044