KOMPAS, Rabu, 04 Juli 2007
Polisi Kehilangan Jejak
Panglima Kodam Pattimura: Petugas Terkecoh
Ambon, Kompas - Kepolisian Daerah Maluku kehilangan jejak Simon Saija yang
diyakini sebagai aktor intelektual penyusupan separatis Republik Maluku Selatan
dalam upacara Hari Keluarga Nasional XIV di Ambon, Maluku, Jumat pekan lalu.
Simon disebut oleh para tersangka yang ditahan kepolisian sebagai Kepala
Pemerintahan Transisi Republik Maluku Selatan.
"Untuk sementara ini keterangan mengarah ke yang bersangkutan. Kami sudah
berusaha mencari, tetapi dia seperti hilang ditelan bumi," ujar Komisaris Djoko Susilo,
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Humas Polda Maluku, Selasa (3/7).
Nama Simon Saija, lanjut Djoko, disebut oleh para tersangka sebagai pemimpin
mereka. Berdasarkan informasi itu, polisi mengejar Simon ke tempat-tempat ia biasa
berada, termasuk di Desa Aboru, Haruku, Maluku Tengah.
Menghadapi kebuntuan ini, kepolisian mengharapkan informasi dari masyarakat jika
ada yang mengetahui keberadaan Simon Saija.
Sampai Selasa petang, polisi telah menahan 39 tersangka separatis RMS, 35 orang
di antaranya terkait langsung dalam tarian cakalele, dan 4 orang terlibat rencana
penyusupan.
"Kami terus mengejar aktor intelektual yang mendalangi peristiwa ini. Kami punya
batasan waktu 20 hari untuk mengungkap kasus ini," ujar Djoko.
Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu mendukung penyidikan kasus ini dengan
mengirimkan surat permohonan ke Menteri Luar Negeri dan Menteri Koordinator
Bidang Politik Hukum dan Keamanan supaya mengurus deportasi Alex Manuputty.
Tokoh gerakan RMS itu kini bermukim di Amerika Serikat. "Kami akan meminta
supaya Alex Manuputty diekstradisi sehingga polisi bisa mencari lebih dalam
aktor-aktor intelektual RMS," ujar Ralahalu.
Di markas Detasemen Khusus 88, Asisten I Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Jopi
Patty bertemu dengan Raja Hutumuri Ferdinand Waas. Pertemuan yang difasilitasi
Direktur Reserse Kriminal Polda Maluku Komisaris Besar Antam Novambar ini untuk
mengonfrontasi keterangan Ferdinand bahwa dia akan menghubungi Jopi Patty. "Raja
Hutumuri mengaku belum menghubungi saya, dan dia minta maaf telah menyebut
nama saya," ujar Jopi Patty.
Musuh bersama
Dalam pertemuan antara tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda,
mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah, kepolisian, dan TNI,
muncul pernyataan sikap bahwa RMS adalah musuh bersama. Peserta pertemuan
menolak bila RMS diidentikkan dengan agama tertentu.
Pertemuan yang dilaksanakan di Kantor Gubernur Maluku ini untuk meredam reaksi
masyarakat yang mulai terpancing ke isu suku, agama, ras dan antargolongan
(SARA).
Sementara itu, Panglima Kodam XVI Pattimura Mayjen TNI Sudarmaidy Soebandy
mengaku terkecoh oleh para penari cakalele. Para penari yang dilengkapi tanda
pengenal resmi Harganas XIV itu mengaku sebagai bagian dari penari yang terlambat
datang.
"Penari (cakalele) mengatakan ke petugas, kami bagian dari penari yang terlambat.
Pimpinan penari itu memakai ID card (tanda pengenal). Di situlah petugas kami
terkecoh di lapangan," ujar Sudarmaidy dalam keterangannya di DPRD Maluku,
Selasa.
Dalam acara itu hadir Kepala Polda Maluku Brigjen (Pol) Guntur Gatot Setyawan,
Gubernur Karel Albert Ralahalu, Wakil Gubernur Muhammad Abdullah Latuconsina,
Ketua DPRD Maluku Richard Louhanapessy, perwakilan fraksi dan komisi, serta
panitia teknis Harganas XIV.
"Kalau ada yang tanya siapa yang salah? Saya katakan kepada para perwira saya,
saya yang salah. Mungkin karena saya kurang jelas memberikan penjelasan kepada
mereka. Di sini, kami minta maaf atas kesalahan (itu)," kata Sudarmaidy. (ANG)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|