KOMPAS, Senin, 09 Juli 2007
Indonesia, "Negara yang Belum Selesai"
Saurip Kadi
"Haruslah Pancasila, weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakat atau
tidak, tetapi saya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk
weltanschauung itu" (Bung Karno, 1 Juni 1945).
Ambon kembali bergejolak. Ada yang bilang, separatisme RMS adalah mainan
kelompok tertentu yang sulit dijebak hukum, tetapi sebetulnya itu keliru. Ambon,
Papua, dan Aceh (dulu), adalah murni persoalan politik karena kesalahan sistem
kenegaraan.
Akibat kedaruratan di awal berdirinya republik, negara yang dibangun belum disusun
dalam sebuah sistem dalam bentuk sebuah rangkaian lembaga negara sebagai
totalitas yang mampu menjamin kesetaraan dan bebas tirani. Persoalan politik lalu
ditangani dengan cara-cara militer, maka jatuhnya korban sesama anak bangsa tidak
bisa dihindari.
Sayang, amandemen UUD 1945 gagal memperbaiki sistem kenegaraan secara
keseluruhan sehingga mustahil akan mengubah jiwa dan visi serta paradigma dalam
pengelolaan negara, termasuk di bidang keamanan. Yang pasti, tidak benar kalau
dalam kasus penyusupan penari RMS, TNI kembali dikambing- hitamkan.
Max Lane menulis buku Bangsa yang Belum Selesai (2006). Lane menyebutkan,
Indonesia adalah bangsa yang belum selesai dalam pembentukan jati diri. Dan saya
kira itu hal yang pasti. Bahkan, lebih daripada itu, Indonesia adalah "negara yang
belum selesai'.
Antara bangsa dan negara perlu dibedakan. Mengapa? Sebagai bangsa, kita ada
masalah dengan integrasi sosial antarkelompok yang berbeda, tetapi relatif masih
bisa ditangani. Namun, dalam masalah kenegaraan, kita mempunyai masalah besar,
karena sistem kenegaraan yang kita bangun masih sangat lemah. Kasus Ambon
harus dilihat dalam konteks ini.
Lemahnya sistem kenegaraan
Teringat, ceramah bertajuk Amandemen Kelima dalam Rangka Rekonstruksi Sistem
Kenegaraan di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (Kompas, 16/6). Hampir
semua pembicara, termasuk saya, sepakat, masalah kita adalah lemahnya sistem
kenegaraan. Maka, jika sistem kenegaraan ini tidak dibenahi, kita akan terus menjadi
"negara yang belum selesai".
Sistem yang dibangun bukan sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya terjadi
sinergi, tetapi sebaliknya sesama lembaga negara saling bernegasi, mereduksi, dan
mengeliminasi otoritas, fungsi dan peran satu sama lain. Dengan begitu, sebagai
sebuah sistem tidak mampu menjaga makna terdalam dari kedaulatan rakyat. Terkait
dengan ini, Pancasila perlu terus kita soroti.
Kita lihat, pasal-pasal dalam UUD 1945 yang asli tidak sempat memuat secara utuh
nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
umpamanya, belum dijabarkan secara detail dalam batang tubuh UUD 1945 tentang
bagaimana hak warga negara dalam soal keberketuhanan yang harus dijamin negara.
Selama ini ketuhanan hanya ditafsir sebagai "beragamakan sejumlah agama yang
diakui negara". Entitas pembentuk negara yang nyata-nyata sudah mengenal
"ketuhanan" jauh sebe- lum Indonesia lahir justru kehilangan haknya oleh otoritas
negara.
Bukankah dalam hal ketuhanan, negara mesti memberi perlakuan yang setara
kepada setiap warganya? Klausul "kewajiban menjalankan syariat Islam" disepakati
dengan tulus untuk dihapus adalah dalam rangka lahirnya Indonesia yang majemuk
dalam berketuhanan.
Persoalan kemanusiaan juga demikian. Setelah diamandemen empat kali, UUD 1945
banyak memuat masalah HAM. Tetapi, visi lama belum berubah. Maka, hingga kini
sejumlah elite masih menempatkan persoalan HAM sebagai "barang impor". Padahal,
motivasi utama perjuangan untuk merdeka adalah menegakkan perikemanusiaan.
Kasus Pasuruan yang menimbulkan korban rakyat jelata membuktikan bahwa sistem
bernegara kita termasuk sistem ketentaraan, belum dijiwai semangat
perikemanusiaan Pancasila. Begitu pula sila-sila lain, belum terwujud dalam
pengelolaan negara, karena belum secara memadai diuraikan dalam batang tubuh
UUD 1945 termasuk setelah amandemen.
Oleh karena itu, ke depan, tugas kita dan mereka yang disebut "pejuang reformasi"
adalah bagaimana menjabarkan Pancasila sebagai landasan operasional kenegaraan
kita.
Dan, satu hal yang penting adalah memisahkan negara dari pemerintahan. Negara
dan pemerintahan adalah berbeda. Pemerintahan bisa bubar kapan pun, bahkan tidak
harus menunggu pemilu lima tahunan, tetapi negara akan tetap berdiri, kecuali jika
seluruh komponen bangsa menginginkan negara bubar. Namun, ini mimpi buruk yang
harus hilang dari tidur kita.
Memisahkan negara dari pemerintahan penting dalam rangka memahami kedudukan
Pancasila sebagai weltanschauung.
Dulu, pada masa Orde Baru, negara disamakan dengan pemerintahan, sehingga saat
pemerintahan dikritik diposisikan sama dengan mengkritik negara dan Pancasila. Di
sanalah mereka diposisikan sebagai musuh negara dan musuh Pancasila, lalu
dihadapi negara.
Yang terpenting adalah bagaimana mencegah agar Pancasila tidak disalahartikan
oleh rezim yang berkuasa. Karena itu, ia harus dikembalikan posisinya yang semula,
yaitu sebagai landasan filsafat negara.
Revitalisasi Pancasila
Setiap negara mempunyai weltanschauung. Tanpa itu, ia rapuh karena tidak ada
kekuatan batin yang mengikatnya. Ke depan, kita perlu revitalisasi weltanschauung
kita, yakni Pancasila, yang telah terbukti mampu mengikat kita meski terus dilanda
krisis, sehingga Indonesia sebagai negara tetap utuh.
Saya menduga kuat, apa yang selama ini disebut dengan "Pancasila", baik dalam
kaitan demokrasi, ekonomi, atau organisasi politik, bahkan di lapangan sepak bola,
bukan Pancasila sebagaimana dimaksud para pendiri Republik.
Pancasila dipahami secara berbeda karena banyaknya penyimpangan nilai Pancasila
dalam praktik sepanjang sejarah kita sebagai negara. Maka, hal mendasar untuk
perubahan adalah, bagaimana bangsa ini secara sadar menata ulang batang tubuh
UUD yang memuat amanah Pancasila, dan semua hal yang telah dituangkan dalam
pembukaan UUD 1945.
Saurip Kadi Mayor Jenderal TNI
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|