KOMPAS, Selasa, 21 Agustus 2007
Zaman Normal
Salah satu cara menikmati berkah kemerdekaan adalah dengan bernostalgia. Walau
umur dan memori enggak nyampe ke tahun 1945, saya banyak mendengar indahnya
romantisme perjuangan kemerdekaan dari penuturan para "pejoang" kita.
Banyak pula buku sejarah lama yang diterbitkan yang menjadi jendela dunia yang
membuka hati dan mata. Kini pun tersedia pula bertumpuk sumber sejarah yang
terekam lewat berbagai perangkat multimedia.
Rasanya perlu diulang lagi cerita Proklamator Bung Karno yang ketika wafat tahun
1970 tidak meninggalkan harta benda. Menurut cerita seorang sahabatnya, Bung
Karno malah sempat bingung enggak punya uang untuk membangun rumahnya di
Jalan Sriwijaya.
Ia lalu meminjam uang dari beberapa sahabatnya, yang juga sama sekali bukan
konglomerat kaya raya. Saya bertanya kepada sahabatnya itu, "Masa sih Bung
Karno, Presiden negara dan bangsa yang besar ini, tidak mampu membangun
rumah?"
Sang sahabat menjawab, "Kami tak perlu apa-apa karena cukup dengan rasa bangga
telah menjadi bangsa yang merdeka." Ia mengucapkan kalimat itu tanpa beban
karena selama 50 tahun terakhir mempraktikkan pola hidup sederhana.
Juga perlu diulang lagi cerita tentang nasib sial Proklamator Bung Hatta. Ia mimpi
kalau punya uang ingin membeli sepatu Bally, produk buatan Swiss yang sampai kini
dikenal sebagai merek terkenal barang-barang supermewah.
Bung Hatta menggunting iklan sepatu Bally yang ingin dibelinya itu dari sebuah harian
yang terbit di Ibu Kota. Kliping iklan tersebut sengaja ia simpan supaya jika kelak
punya duit, Bung Hatta langsung ke toko untuk mewujudkan impiannya.
Apa lacur Bung Hatta gagal bergaya memakai sepatu Bally sampai ia tutup usia.
Belum lama ini putrinya, Halida, mengeluh atap rumah warisan ayahnya di Jalan
Diponegoro bocor karena tak dirawat pemerintah sebagaimana mestinya.
Pada tahun 1970-an saya selalu berdesak-desakan dengan puluhan orang untuk
bersalaman dengan Jenderal AH Nasution seusai shalat Idul Fitri. Pak Nas setiap
tahun memang menjadi penceramah andal Idul Fitri karena nasihat-nasihatnya selalu
menyejukkan hati.
Saya masih ingat ceramah Pak Nas tentang "kebajikan-kebajikan Indonesia" yang
berhasil membantunya menjaga hidupnya bersih dari korupsi. "Sedari kecil saya
diajari jangan meminjam, apalagi mengambil barang orang lain," ujar Pak Nas, yang
putrinya, Ade Irma Suryani, merupakan Pahlawan Revolusi.
Tahun 1963 Pak Nas sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala
Staf Angkatan Bersenjata ditunjuk Bung Karno memberantas korupsi dan kolusi
melalui Operasi Budhi, yang antara lain menjerat seorang yang pernah amat berkuasa
di negeri ini.
Cerita lain, belakangan ini pemerintah memberikan perhatian khusus kepada
pahlawan nasional bernama Tan Malaka. Ia pejuang tanpa pamrih yang memimpin
perlawanan arus bawah terhadap penjajah Belanda.
Tan Malaka menulis mahakarya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) di
bantaran kali di pinggiran Jakarta. Menurut cerita, dalam periode itu, ia hidup spartan
alias mirip gelandangan yang tak mempunyai dan membutuhkan apa-apa—kecuali
menyelesaikan bukunya.
Namun, Madilog merupakan salah satu kitab bagi para intelektual untuk mempelajari
berbagai aliran ideologi politik dunia. Anda juga wajib membaca mahakarya Tan
Malaka lainnya, Dari Penjara ke Penjara.
Oh ya, Pak Mohammad Natsir dan Pak IJ Kasimo tahun 1950-an memimpin partai
yang ideologinya berasal dari dua agama yang berbeda. Namun, di parlemen mereka
sering bergandengan tangan untuk mengejar cita-cita politik yang sama.
Zaman tentu telah berubah. Orang-orang tua masih sering bernostalgia tentang
nikmatnya kehidupan pada "zaman normal" (1927-1945) ketika negeri ini masih
bernama Hindia-Belanda.
Indonesianis asal Jepang, Takashi Shiraishi, menyebut zaman normal sebagai era
yang diwarnai ketertiban dan perdamaian. Ia menggantikan era yang marak dengan
perjuangan awal kebangsaan melawan penjajahan yang dikenal sebagai "zaman
pergerakan" (1912-1926).
Zaman itu disebut normaal (wajar) karena Belanda menerapkan sistem pengintaian
negara kolonial yang tak menoleransi setiap gerakan subversif. Cara-cara yang amat
mirip dengan apa yang dilakukan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib) ini memaksa kehidupan politik masyarakat menjadi pasif.
Ibaratnya elite dan rakyat dibuat tidur senyenyak mungkin bagaikan bayi
mendengarkan kidung Nina Bobo. Mereka memang hidup serba cukup, tetapi
sikapnya jadi serba masa bodoh.
Penjajah tak lupa pula memanjakan rakyat dengan politik etika serta politik balas
budi. Menurut cerita para orang tua, mutu pendidikan yang mereka terima tak kalah
dengan orang Belanda dan mereka pun diajari prinsip, mengutip slogan CSIS, "Ajar
Nalar Terusan Budi".
Bung Karno, Bung Hatta, Pak Nas, Tan Malaka, Pak Natsir, dan Pak Kasimo
beruntung bisa belajar banyak dari zaman normal ala Hindia-Belanda. Rumah mereka
ada brand gang-nya, tinggi hek-nya sesuai aturan, sepedanya pakai péneng, dan...
tetap jadi para pemimpin besar Indonesia.
Zaman telah berubah karena Belanda dan Jepang sudah 62 tahun tidak ada lagi di
bumi Nusantara. Namun, kini alam amat mudah murka dan kita begitu gampang
tersulut amarah.
Lalu kita sedang memasuki zaman apa ya? Mungkin Anda tahu jawabannya.
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|