KOMPAS, Kamis, 26 Juli 2007
Jutaan Ton Sagu Terbuang Setiap Tahun
30.000 Hektar Lahan di Lingga Dinilai Potensial
Batam, Kompas - Hutan tanaman sagu seluas 1,5 juta hektar di Indonesia belum
termanfaatkan secara optimal sehingga jutaan ton sagu terbuang percuma setiap
tahun. Potensi yang cukup besar ini sebaiknya dimanfaatkan pemerintah dan
investor, baik untuk keperluan pangan maupun bahan bakar.
Demikian dikatakan Ketua Umum Perhimpunan Pendayaguna Sagu Indonesia
Nadirman Haska di sela-sela lokakarya pengembangan sagu di Indonesia. "Hutan
sagu di Indonesia sangat luas. Di Papua saja seluas 1,2 juta hektar," kata Nadirman
di Batam, Rabu (25/7).
Sayangnya, lanjut Nadirman, sagu yang tersebar di Tanah Air itu belum
termanfaatkan. "Potensinya menjadi hancur. Sekitar enam juta ton sagu kering
terbuang per tahun," ujar Nadirman yang juga peneliti di Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT).
Ia menilai, perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap sagu masih tergolong
kurang. Selama ini hutan dinilai hanya memproduksi kayu. Padahal, hutan juga
mampu memproduksi sagu yang dapat menjadi substitusi pangan dan substitusi
bahan bakar, yaitu bio-etanol.
Hambatan terbesar dalam memanfaatkan hutan sagu, lanjut Nadirman, adalah
infrastruktur. "Hutan sagu berada di daerah-daerah terpencil. Ini menjadi masalah
karena sulit dijangkau dan infrastruktur terbatas," katanya.
Dalam kaitan itu, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kepulauan Riau Said Djafar
mengatakan, Sampoerna Agro sudah mulai berinvestasi di perkebunan sagu di
Kabupaten Lingga. Luas lahan tanaman sagu yang akan dikelolanya mencapai
10.000 hektar. "Potensi lahan tanaman sagu di Kabupaten Lingga bisa mencapai
30.000 hektar," ujarnya.
Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Kepulauan Riau
menambahkan, perusahaan swasta PT National Timber and Forest Products juga
mengembangkan perkebunan sagu dan pabrik produksi di Selat Panjang, Riau.
Diversifikasi pangan
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Achmad Suryana
mengatakan, pemanfaatan sagu perlu diprioritaskan untuk ketahanan dan diversifikasi
pangan. Misalnya, substitusi untuk bahan mi instan. "Jika sagu mampu memberi
kontribusi 10 persen, hal itu sudah dapat mengurangi impor gandum," katanya.
Ia juga sependapat bahwa sagu dapat dikembangkan untuk bahan bakar bio-etanol.
Namun, untuk yang satu ini perlu dilakukan pengkajian yang lebih dalam. (FER)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|