Pikiran Rakyat, Senin, 09 Juli 2007
Australia "Warning" Serangan Teroris
Ba'asyir, "Densus 88 Alat Asing Tindas Umat Islam"
JAKARTA, (PR).- Meski hari Minggu, Australia tidak libur dalam mengeluarkan travel
warning. Departemen Luar Negeri negeri kangguru itu, mengeluarkan peringatan
perjalanan bagi warganya agar mempertimbangkan melakukan perjalanan ke
Indonesia karena dikhawatirkan akan ada serangan teroris dalam waktu dekat.
Deplu Australia menyatakan, teroris sedang mempertimbangkan menyerang
kepentingan Barat. "Memang baru saja ada penangkapan operator teroris kelas atas
di Indonesia, namun kami menilai teroris masih aktif merencanakan serangan," bunyi
peringatan itu seperti dilansir AFP, Minggu (8/7).
"Serangan ini terjadi kapan saja dan bisa jadi dalam waktu dekat. Kewaspadaan
harus ditingkatkan dengan menghindari target teroris yang sudah dikenal." Australia
tidak memperinci daerah yang harus dihindari. "Serangan bisa terjadi di daerah mana
saja di Indonesia," kata Deplu Australia.
Dari Madiun, Abu Bakar Ba'asyir menilai, Densus 88 Antiteror Mabes Polri bekerja
bukan untuk negaranya sendiri, tetapi untuk kepentingan negara asing. Mereka
bekerja untuk Amerika Serikat (AS) dan Australia dalam menindas umat Islam.
"Jadi, mereka alatnya AS dan Australia untuk melakukan penindasan kepada umat
Islam di Indonesia maupun negara lainnya. Saya memprihatinkan dan menyesalkan
kepada pemerintah, yang selama ini masih mempertahankan Densus 88. Padahal
bila mau menyadari, bahwa negera kita masih dikuasai oleh asing," kata Ba'asyir,
pada ceramah umumnya di Gedung Islamic Centre, Kota Madiun.
Untuk itu, ia mengajukan pembubaran Densus 88 Antiteror ke pengadilan. Karena
selama ini dirinya dan umat Islam merasa dizalimi, sehingga dapat menekan
perkembangan Islam di Indonesia maupun mencemarkan nama baiknya sebagai
seorang tokoh Islam. "Kami tetap mengajukan dan Alhamdulillah oleh pembela
(advokat) sudah didaftarkan ke pengadilan. Berdasarkan fakta, Densus 88 Antiteror
selama ini dibiayai oleh orang AS dan Australia," tegas Ba'asyir.
Ia juga kembali menyuarakan soal syariat Islam di Indonesia. Dia menilai, syariat
Islam justru melindungi pemeluk agama lain. "Orang kafir bersama kita tidak apa-apa.
Tentunya, niat kebaikan itu patut kita hargai bersama," ujarnya kepada ribuan jemaah
tablig akbar.
Tak beralasan
Lain lagi dengan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Tjahjo Kumolo yang
mengatakan, siapa pun perseorangan atau kelompok sangat tidak beralasan meminta
pembubaran Densus 88 karena keberadaannya untuk memerangi kejahatan terorisme
di Indonesia.
"Keberadaan Densus 88 Polri ini cukup strategis untuk memerangi kejahatan
terorisme, yang mengancam keamanan dan ketenangan bangsa di Indonesia. Dengan
begitu, sah-sah saja Densus 88 tetap beroperasi dalam memerangi terorisme," kata
Tjahjo.
Menurutnya, sah-sah saja Polri dalam hal ini Densus 88 memperoleh bantuan
peralatan dari pihak asing sepanjang sesuai koridor, tidak ada intervensi ke tubuh
Polri. Sebagai masyarakat Indonesia, kehadiran dan peranan Densus 88 Polri tetap
diperlukan, sampai gerakan terorisme di Indonesia berhenti di wilayah NKRI.
Dengan tertangkapnya sejumlah tokoh terorisme baik di Banyumas, Wonosobo,
maupun Sukoharjo, merupakan bukti keberhasilan Densus 88 menangani terorisme.
"Masalah adanya ketidakpuasan terhadap prosedur pelaksanaan di lapangan,
tentunya semua pihak berhak menyampaikan saran dan kritik kepada pimpinan Polri.
Tapi tidak berniat minta membubarkan Densus 88, karena kita masih melihat
kemaslahatan bagi warga Indonesia," katanya.
Menyinggung bantuan AS untuk Densus 88, menurutnya, tidak tahu soal bantuan itu,
yang penting upaya Polri terus meningkatkan kerja secara optimal. Ini perlu didukung
semua elemen masyarakat yang pada hakikatnya untuk menciptakan keamanan
yang kondusif di NKRI.
Ia berharap, keberadaan Densus 88 Polri tetap mengacu pada prosedur di lapangan,
dan mengikis habis kejahatan terorisme di Indonesia. Masyarakat tetap
mendambakan Indonesia lebih aman dan tenteram, sehingga memiliki dampak
terciptanya kesejahteraan rakyat.
Tidak sah
Sebelumnya, Sri Mardiyati, istri Abu Dujana, yang diwakili Tim Pembela Muslim
(TPM), membacakan replik gugatannya terhadap Polri di PN Jaksel. Ditangkap dulu,
barulah surat penangkapannya keluar. Itu pun butuh 7 hari lamanya. Begitulah yang
dialami tersangka terorisme Abu Dujana. Dengan begitu, penangkapan pun dinilai
tidak sah.
Ketidaksahan itu karena penangkapan tidak hanya dilakukan dengan senjata api
petugas, berupa penembakan dalam keadaan jongkok dan menyerah di hadapan
anak-anak pemohon. Namun, juga dikarenakan surat tugas dan surat perintah
penangkapan tidak diberikan dengan segera kepada pemohon. "Penangkapan dan
penahanan Abu Dujana tidak sah. Surat penangkapan setelah 7 hari baru diserahkan
kepada kita," kata pengacara dari TPM Achmad Michdan .
Michdan menuduh, penangkapan terhadap Abu Dujana tidak jelas. "Penangkapannya
tidak jelas, berdasarkan DPO, tidak ada kejelasan penangkapan itu dalam kasus
apa," ujarnya. Ia menyayangkan, penangkapan yang dilakukan oleh Polri terhadap
kliennya hanya berdasarkan data-data intelijen.
"Seseorang bisa saja ditangkap intelijen. Tapi harus berdasarkan putusan pengadilan.
Siapa pun tidak boleh dinyatakan bersalah sampai diputuskan oleh pengadilan,"
katanya. (dtc)***
© 2006 - Pikiran Rakyat Bandung
|