The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Pos Metro Balikpapan


Pos Metro Balikpapan, Minggu, 15 Juli 2007

Ada Nilai Persaudaraan dan Kekeluargaan
Ritual dan Prosesi Penangkapan Ikan Bubara Ruo di Ternate

SAHU adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat, letaknya tidak jauh dari Ternate. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ibu, sebelah selatan berbatasan dengan Jailolo, sebelah timur dengan Kao dan sebelah barat dengan laut Maluku. Di Sahu terdapat berbagai macam potensi alam baik laut maupun darat. Di antaranya potensi pariwisata alam seperti Danau Rano (Telaga Rano), Air terjun Goal, Pantai Disa dan Pantai Muara Kali Ake Lamo. Ada satu potensi adat yang penerapannya banyak mengandung makna filosofis dan mistis, ada nilai persaudaraan dan solidaritas antarsesama manusia.

Nilai persaudaraan dan kekeluargaan terlihat pada saat pembagian hasil tangkapan Ikan Bubara Ruo. Siapa pun boleh mengambil ikan hasil tangkapan tersebut secukupnya, aplikasinya terlihat jelas pada acara tradisional penangkapan Ikan Bubara Ruo.

Unsur mistis pada acara tersebut menandakan bahwa masyarakat di Kecamatan Sahu (Maluku Utara pada umumnya) sangat yakin akan keterikatan alam fisik dengan alam metafisik yang keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain.

Pelaksanaan prosesi adat ini terbagi atas 3 bagian. Pertama, prosesi mistik, dimana para peserta penangkap ikan Bubara Ruo pergi berziarah ke keramat (Jere) yang dikenal dengan Keramat Bubara Ruo yan terletak di tempat tersebut. Kedua, prosesi penangkapan ikan, dan ketiga pembacaan doa syukuran oleh imam masjid.

Untuk prosesi penangkapan Ikan Bubara Ruo, pada saat bulan di langit memasuki malam kelima atau keenam. Beberapa orang pergi menziarahi keramat Bubara Ruo yang terletak di bukit Buku Din. Pada saat ziarah, jika batu nisan makam banyak terdapat kelompok semut yang sedang berhimpun pada batu nisan, maka itu tandanya Ikan Bubara Ruo di tepian pantai banyak. Jika di batu nisan tidak berhimpun semut merah maka Ikan Bubara Ruo tidak ada.

Sekembalinya dari keramat/makam tersebut dan yakin atas penglihatan fenomena semut, segera diumumkan kepada khalayak ramai terutama pemilik jaring dan anggota-anggotanya guna persiapan untuk menjaring ikan Bubara Ruo pada malam ketujuh sampai malam kesepuluh bulan di langit.

Setelah tiba hari yang dinantikan untuk menjaring ikan, mereka menghubungi seorang warga yang mempunyai kemahiran untuk bertugas memandu para nelayan dalam proses penangkapan ikan.

Pemandu ini menggunakan pakaian kebesarannya, pada saat dini hari setelah waktu subuh, sudah hadir lebih dahulu di bawah tebing berupa bukit terjal di tepi pantai kecil yang bernama Aru ma Mada yang berjarak sekitar 15 meter dari dari pantai.

Konon ikan Bubara Ruo hanya terdapat di perairan sekitar bukit terjal ini. Bukit terjal Aru ma Mada memiliki sebuah goa dengan panjang ke dalam sekitar 5 meter dan memiliki lingkaran tengah mulut gua selebar 1,5 meter.

Pada pagi hari tepat pada pukul 06.00, para nelayan dengan menggunakan beberapa perahu lengkap dengan jaring telah siap dan berjaga-jaga dengan jarak dari satu perahu ke perahu lainnya kira-kira 40 sampai 60 meter. Pandangan masing-masing juru mudi perahu dan segenap nelayan serta anggota masyarakat tertuju pada sang pemandu ikan.

Bila sang pemandu mulai berdiri dan bergerak laksana melakukan gerakan menari, maka itu menandakan bahwa ikan Bubara Ruo sudah ada. Jika gerakan yang dilakukan oleh sang pemandu itu arahnya tertuju ke tepi pantai, maka itu menandakan ikan Bubara Ruo masih jauh, si pemandu seraya memberi isyarat ke setiap mata yang tertuju padanya agar jangan dulu membuang jaring.

Namun kalau gerakan tari sang pemandu mengarah ke darat dan memberika isyarat berupa pengibaran/melambaikan Tulo (topi tradisional) yang dikenakan, itu menandakan ikan Bubara Ruo sudah dekat dan boleh membuang jaring (bahasa daerah setempat; Soma) untuk mengurung ikan.

Setelah ikan Bubara Ruo terkepung dan berada dalam jaring, hampir semua anggota masyarakat secara gotong royong (Bari) memegang dan menarik jaring secara bersama-sama dengan mengikuti aba-aba dari jurumudi (bahasa daerah; Saehu). Semakin dekat lingkaran jaring ke darat akan semakin jelas terlihat banyaknya ikan Bubara Ruo.

Pada kesempatan itulah masyarakat yang menyaksikan prosesi ritual tersebut seluruhnya menyerbu ikan Bubara Ruo yang sudah terkepung dalam jaring itu dan mengambilnya sesuka hati untuk dikumpulkan dalam badan perahu. Kendati adakalanya jaring ikut rusak oleh serbuan massa tersebut.

Ketika ikan Bubara Ruo sudah termuat di perahu, Saehu melihat dan memilih beberap ekor ikan yang diduga merupakan induk dari ikan-ikan yang ditangkapnya. Ada anggapan bahwa kalau ada 5 ekor induk ikan, maka pengikutnya pun berjumlah 500 ekor pula.

Kemudian beberapa induk ikan tersebt dibawa ke rumah imam mesjid dan diletakkan di atas piring besar yang disebut Lesa-Lesa. Imam masjid desa Susupu memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa di hadapan ikan yang tergeletak di atas lesa-lesa.

Selesai berdoa, ikan-ikan di atas lesa-lesa itu dibagi, 1 ekor untuk Imam, 1 ekor untuk Kepala Desa dan 1 ekor lainnya untuk Camat/Sangadji. Setelah itu baru terjadi jual beli seluruh ikan-ikan hasil tangkapan hari itu.

Copyright @ 2003 Pos Metro Balikpapan
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/aboroe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044