Radio Nederland Wereldomroep, 10-07-2007
Membentangkan Bendera RMS
Benarkah Itu Langkah Makar?
Sejauh ini sudah 42 orang ditahan di Ambon, akibat protes Cakalele, yaitu
pembentangan bendera RMS di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 29 Juni lalu. Apa sebenarnya tujuan aksi ini? Benarkah langkah
pembentangan bendera RMS itu sebuah langkah makar? Berikut penjelasan Antone
Hatane, pemimpin kelompok 14 orang pengacara yang mendampingi ke 42 orang
tahanan kepada Radio Nederland Wereldomroep.
Proses pendampingan
Antone Hatane [AH]: Ya. Jadi memang aku kemarin ditunjuk pihak kepolisian untuk
mendampingi semua orang-orang yang diduga sebagai tersangka dalam kasus
Cakelele atau tari-tarian yang berlangsung pada Hari Keluarga Nasional. Berdasarkan
kasus itu, selain beberapa gelintir orang yang melakukan aksi-aksi itu, juga ada orang
yang ditahan, jadi jumlah saat ini 42 orang yang ditahan pihak kepolisian dalam
kaitan dengan diduga sebagai orang-orang yang terlibat dalam kasus RMS.
Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Apa yang diminta polisi kepada anda?
AH: Jadi pada saat itu aku diminta, karena itu memang kewajiban polisi untuk
menunjuk penasihat hukum atau lawyer. Karena ancaman pidana terhadap mereka di
atas lima tahun, itu wajib polisi menunjuk penasihat hukum jika mereka tidak punya
penasihat hukum. Nah, dalam proses pendampingan saya sudah lakukan. Memang
ada terjadi kerjadian-kejadian di dalam, misalnya ada terjadi pemukulan-pemukulan
pada saat mereka ditangkap.
Sehingga memang saat ini memang kita dalam proses pendampingan mereka selaku
seorang manusia yang membutuhkan bantuan hukum dari seorang lawyer membela
hak-hak dan kepentingan mereka sebagai seorang yang masih dianggap diduga
melakukan tindak pidana itu, jadi belum bisa dinyatakan bersalah, tapi masih diduga.
Salah prosedur
RNW: Sejauh mana mengibarkan bendera menurut anda bisa dikatakan langkah
makar?
AH: Ya kalau untuk sementara memang pasal itu yang dipersangkakan kepada
mereka. Kalau saya belum bisa mengatakan itu makar karena kita perlu pembuktian
lewat jalur pengadilan. Artinya ada putusan pengadilan atau lembaga pengadilan,
yang menyatakan itu makar. Tapi saya sudah bicara dengan mereka, dari
pembicaraan mereka katakan bahwa sebenarnya maksud dan tujuan mereka adalah
mengajukan protes kepada pemerintah Indonesia.
Dalam hal ini, karena selama ini mereka menganggap diri mereka sebagai
orang-orang yang memang tidak memiliki hak apa pun. Artinya orang-orang yang
hak-hak asasinya maupun hak-hak sosialnya tidak diperhatikan pemerintah. Kalau
tadi saya bicara dengan mereka seperti itu, Pak.
RNW: Apakah menurut anda langkah mereka untuk memprotes itu benar atau bisa
dipertanggungjawabkan?
AH: Jadi kalau misalnya dari niat mereka untuk menyampaikan protes itu benar.
Cuma persoalannya cara menyampaikan itu memang tidak prosedur. Artinya mereka
lakukan itu pada saat kunjungan presiden. Jadi itu salah prosedurnya di situ. Tapi
kalau misalnya itu bisa disampaikan, memang dalam penyampaian itu ada proses arif
dan bijaksana tapi bagi saya, itu saya ajukan dalam proses pendampingannya,
proses penyampaian protes itu memang bertentangan, seharusnya tidak dilakukan
seperti itu.
Karena memang maksud mereka adalah baik. Cuma persoalannya cara
penyampaiannya itu memang pada saat presiden hadir. Jadi memang itu yang
menjadi semacam permasalahan. Selain itu ada klarifikasi bahwa kepada presiden
pada saat itu, jadi kita harus klarifikasi.
Masalah sosial
RNW: Tapi tampaknya memang mereka bukan yang pertama ini, karena dari
dulu-dulu juga selalu ada saja kasus RMS ini. Kasus Alex Manuputty, Sammy
Weilaruni, segala macam. bagaimana menurut anda Ambon ini selalu ada masalah
seperti ini?
AH: Sebenarnya kalau saya mau lihat memang ini masalahnya masalah sosial. Yang
sebenarnya kalau pemerintah mau bijak, paling bagusnya lakukan
pendekatan-pendekatan secara persuasif dengan mereka. Lalu menanyakan mereka
pendekatan yang baik, pendekatan moral pendekatan kekeluargaan. Tanyakan
kepada mereka, maksud apa sih mereka lakukan itu.
Tinggal bagaimana ijinkan mereka untuk bagaimana bisa berdialog dengan
pemerintah. Dan kalau misalnya mereka menyampaikan aspirasi, pemerintah bisa
menjawab secara gampang. Kalau misalnya mereka ingin memisahkan diri dari NKRI,
ya pemerintah bisa menjawab di situ. Atau kalau mereka ingin menuntut kembali
Republik Maluku Selatan, pemerintah bisa menjawab. Artinya ini kembali lagi ke
pendekatan penyelesaian yang lebih baik. Daripada pendekatan penyelesaian dengan
menggunakan cara-cara keras gitu. Artinya kekerasan yang dilakukan.
Kalau misalnya saat ini yang bergeser adalah setelah proses penangkapan terhadap
beberapa orang-orang yang kemarin, saat ini sudah mulai mencari lagi orang-orang
yang sudah terlibat tahun 2001, 2003. Sementara bagi saya sih mereka tidak punya
kaitan apa-apa dengan peristiwa hari itu. Jadi pendekatannya bagi saya lebih baik
pemerintah, baik pemerintah daerah baik aparat keamanan baik pemerintah pusat
mencoba untuk berdialog dengan mereka. Menyatakan apa sih kemauan anda sih,
sampai anda mau melakukan protes-protes seperti itu. Ini yang saya tangkap dari
pemikiran mereka, Pak.
RNW: Kalau mereka dikaitkan dengan aksi-aksi terdahulu, apakah menurut anda
memang ada kaitannya? Apalagi melihat RMS ini punya kaitan dengan Belanda?
AH: Kalau dilihat mungkin bisa ya. Tapi dari pembicaraan dengan mereka saya
melihat apa yang mereka sampaikan itu polos. Mereka ingin protes saja kepada
pemerintah Indonesia, bahwa kami ini orang-orang yang selama ini hidup di negara
Indonesia dan kami ini hak-haknya tidak diakomodir oleh pemerintah.
Misalnya masalah kesenjangan sosial. Mereka memperjuangkan kepentingan daerah
mereka yang tertinggal sama sekali. Ini kan tidak diperhatikan. Kalau saya bicara dari
fakta-fakta yang diberikan kepada saya. Orang Maluku selama ini tidak pernah duduk
menjadi pejabat pemerintah seperti menteri dan sebagainya. Itu yang saya tangkap
dari diskusi dan pembicaraan saya dengan mereka.
© Hak cipta Radio Nederland 2007 Disclaimer
|