Radio Baku Bae, 19-Jul-2007
Laipose Minta Maaf
Siake Manue - Ambon
Buya Syafii Maarif mantan Ketua PP Muhamadyah dalam suatu kesempatan
mengatakan bahwa "yang lumpuh di negeri ini adalah Akal Sehat dan Hati Nurani.
Akhirnya kita jadi orang yang sangat pragmatis, latah, dan ikut-ikutan".
Ungkapan di atas tidak berlebihan kalau dipakai untuk menilai saran DPRD Maluku
dan Pemerintah Daerah Maluku untuk menyampaikan permintaan maaf kepada
Pemerintah Indonesia & Masyarakat Indonesia atas nama Rakyat Maluku, terkait
dengan peristiwa pembentangan Bendera Benang Raja di depan batang hidung
Presiden SBY dalam puncak perayaan acara Harganas di Ambon baru-baru ini.
Minta maaf atas nama Rakyat Maluku artinya mengakui bahwa seluruh Masyarakat
Maluku, entah itu Tua-Muda, Salam-Sarane, Jujaro-Mungare, Parampuang-Lak'laki,
samua tarengke-rengke bersalah dan musti pikol hahalang tanggal 29 Juni itu. Minta
maaf sebagaimana disarankan awal oleh Ketua DPRD Maluku, berarti suatu ketika
dimasa tuanya bapak ketua musti siap cerita par cucu-cucunya bahwa dorang pung
darah juga terhisap kedalam titisan rasa bersalah akibat tonel 29 Juni 2007.
Minta maaf atas nama Rakyat Maluku berarti mau bilang bahwa terhadap peristiwa 29
Juni 2007 cuma Rakyat Maluku yang salah sasaja. Seng orang laeng, ka kelompok
laeng lai. Soldadu seng salah, Polisi seng salah, Intelejen seng salah, Panitia seng
salah, Jakarta seng salah. Tuangala jua'ee ini batul-batul handeke satetok. Orang ada
tinggal pasang dadeso di batang leher, bale pi sorong diri maso kasitu.
Meminta maaf atas nama Rakyat Maluku kas'tunju bahwa aktualisasi diri katong
dalam proses berbangsa ini memang belum tuntas. Minta maaf model bagini kas'tunju
bahwa mentalitas inlander tinggal malakat dalam diri, yang saban kali biking katong
jadi paranoid terhadap Jakarta dan akhirnya melanggengkan kalakuang maraju deng
bajilat. Kalakuang bagini biking beta dapa inga sagu lempeng Negri Pia. Balaga
mawali dalang palastik, tacolo aer panas malele abis.
Sungguh mati beta mau bilang, bahwa sebagai warga masyarakat beta seng perlu
rasa maluhati berlebihan. Bahwa tonel 29 Juni 2007 di perhelatan Harganas sadiki
mengusik beta pung rasa keramah-tamahan budaya, memang iya. Tetapi selebihnya
beta melihat peristiwa itu dalam makna "koreksi kebangsaan". Orang Papua bilang
"Pace ko pung maksud betul, tapi ko pung cara itu salah".
Apakah beta sedang menggampangkan masalah ini. Di satu pihak memang iya,
karna beta cukup tau seberapa kuat barisan afiliasi "Maluku Merdeka" ini, baik secara
lokal, nasional maupun international. Di lain pihak sama sekali tidak, karna beta juga
mendeteksi cukup banyak orang dan kelompok yang mencoba barmaeng enggo
sambunyi dibalik tonel 29 Juni 2007. Seperti hikayat cagulu-cagulu Samson di Alkitab
"dari yang busuk keluar manisan". Beta pung tamang sosiolog UI Thamrin Amal
Tomagola, dalam satu kesempatan diskusi tentang separatis di Jakarta pake istilah
"Proyek Separatis.....". Titik-titik di blakang tuh basudara tanya paitua Thamrin jua ke
Jakarta.
Kembali ke soal minta maaf, menurut beta yang musti bilang akang pertama-tama
adalah Panitia Harganas, kemudian Aparat Keamanan (baik TNI maupun Polri),
semua group Intelejen, serta Paspanpres. Untung bae 28 anana Aboru itu hanya
bermaksud melakukan "koreksi kebangsaan", kalo seng Tuan SBY pung tanuar akan
jadi seperti Tuan Anwar Sadat almarhum. Untung bae berikutnya katong orang
Maluku pada umumnya seng pung kebiasaan bunuh pimpinan, baik dari blakang
maupun dari muka, kalo seng Tuan Presiden su pindah tahta ke Republik Mimpi.
Karna itu meskipun marah tagal tonel 29 Juni mencederai beta pung kesantunan
budaya, tetapi permintaan maaf seng boleh sekali-kali dialamatkan atas nama
Masyarakat Maluku.
Dari perspektif "Koreksi Kebangsaan" permintaan maaf sebaliknya harus disampaikan
kepada masyarakat Maluku. Baik oleh tuan-tuan pemerintahan di Provinsi Maluku ini,
maupun oleh tuan-tuan pemerintahan di menara gading Jakarta sana. Su tantu
tuan-tuan pasti tau bahwa anomali sosial akan terjadi bilamana kanal-kanal aspirasi
dan protes publik tersumbat penyalurannya. Tonel 29 Juni 2007 merupakan letupan
kecil dari sekelompok orang kecil untuk membilang "hoee dengar katong dolo". Yang
diminta dari tuan-tuan adalah telinga untuk mendengar dan hati nurani untuk
merasakan.
Kalo diminta telinga dan hati nurani jangan dolo tuan-tuan langsung kasih tangan
untuk membantu. Yang diperlukan adalah kehadiran tuan-tuan untuk mendengar dan
merasakan. "Bapa'ee seng perlu kasih apapa, yang penting Bapa dong su dengar
katong pung persungutan".
"Dialog didalam tabiat kebudayaan", itu yang hilang dari kepemimpinan banyak orang
di negeri ini. Akhirnya ketika rakyat minta ampas tarigu, tuan-tuan kasih ampas
kalapa. Ketika rakyat minta didengar, tuan-tuan kasih kepeng. Memang yang lumpuh
dari tuan-tuan di negeri ini adalah Nurani dan Akal Sehat.
Untuk maksud di atas maka lewat kesempatan ini beta tantang Upu Latu Ralahalu
deng Mama Nyora untuk turun langsung ke Aboru. Tanpa advance team, tanpa
pendamping banyak-banyak, tanpa atribut-atribut kepemimpinan, tanpa acara-acara
penyambutan, tanpa janji-janji pembangunan, tetapi semata-mata dengan membawa
telinga dan hati nurani untuk mendengar dan merasakan.
Kalau Upu bisa biking akang deng bagitu manis di Paparisa Sibu-Sibu, maka beta
parcaya anana negri akan pica dada, tatkala Upu biking akang di Baileu negri. Apalai
kalo Upu buka bicara tidak dengan minta maaf (karena minta maaf seng lazim dalam
idiom budaya di negri ini), tetapi deng bilang "jang dong mara beta'ee". Balong lai kalo
Upu depa kaki pi manginte keluarga-keluarga yang anggotanya dapa loko akibat tonel
29 Juni 2007.
Laste beta mau bilang bahwa tonel 29 Juni 2007 jang paskali biking peper katong
pung samangat bersama lalu laipose minta maaf. Tetapi sebaliknya harus tarus
tarewas ke Jakarta "Hoeee dengar katong juga, sebab Soekarno bilang "Indonesia
zonder Maluku bukanlah Indonesia". Artinya deng kata laeng Soekarno mau bilang
kalo Maluku bilang Amatoo maka Indonesia juga Amatoo.
Copyright © 2007 RadioBakuBae.com. All right reserved.
|