SINAR HARAPAN, Jumat, 13 Juli 2007
Irwandi Jusuf Tak Setuju Partai GAM
Jakarta–Reaksi pemerintah pusat dalam menghadapi deklarasi pendirian kantor
partai lokal GAM dinilai berlebih. Sebagai pembuat sistem, pemerintah seharusnya
percaya dengan sistem yang telah dibuat dalam Undang-Undang (UU) No 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terlebih lagi, hingga kini, partai GAM tersebut
belum menjadi sebuah partai yang didaftarkan di Departemen Hukum dan HAM.
Hal tersebut dikemukakan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Nasir
Djamil Jakarta, Kamis (12/7). "Pusat sebaiknya tidak perlu reaktif. Aturan sudah ada.
Tidak perlu dikhawatirkan sebagai gerakan sparatisme, karena mereka sudah dibatasi
MoU Helsinki. Semua pengaturan dalam UU Pemerintahan Aceh juga dalam rangka
NKRI," kata Nasir.
Namun, informasi yang dikumpulkan SH, rencana pendirian partai GAM tersebut
didiskusikan dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh beberapa petinggi GAM. Gubernur
NAD Irwandi Nazar dikabarkan juga ada dalam pertemuan tersebut. Namun, Irwandi
dan beberapa anggota maupun tokoh GAM dari kalangan muda tidak setuju dengan
rencana beberapa pimpinan untuk mendirikan partai dengan nama GAM.
Karena tidak terjadi persetujuan, para pimpinan GAM memutuskan untuk membentuk
tim kecil yang akan merumuskan pendirian partai. Tetapi dalam perkembangannya
tim kecil tersebut juga tidak berjalan. Keputusan tetap diambil oleh beberapa
pimpinan GAM.
"Kami sudah tahu ada tembok besar di depan kalau kami pakai nama GAM dan
dengan lambang seperti itu. Makanya beberapa di antara kami tidak sepakat," kata
sumber SH tersebut.
Lambang GAM adalah bulan sabit dan bintang dengan latar belakang merah. Irwandi
sendiri ketika dihubungi SH, telepon selulernya tidak aktif. Menurut informasi, Irwandi
sedang berada di Argentina.
Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari
Pramodharwani menyatakan tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mencurigai
Partai GAM. "Sudah saatnya pemerintah menerima Partai GAM dengan lambang
bendera Bulat Sabit Bintang. GAM dan masyaakat Aceh sudah menerima konsep
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Jaleswari di Kantor KontraS Aceh,
Rabu (11/7).
Pengamat anggaran dan bisnis militer ini minta pemerintah tidak mencurigai GAM
secara berlebihan. Sebab, kegiatan mantan GAM ini masih dalam koridor NKRI dan
MoU Helsinki. Menurutnya, Pusat jangan terlalu rewel dengan urusan teknis yang
justru terjadi kontroversi dengan hal-hal sosial.
Dia mengingatkan penggunaan nama dan bendera GAM oleh Partai GAM tidak perlu
dipermasalahkan karena pemerintah sudah mengizinkan partai lokal di Aceh."Simbol
dan nama tidak perlu dipermasalahkan. Kenapa kita harus takut dengan hal-hal yang
belum terjadi?" gugatnya.
Menurut Nasir Djamil, lambang dan simbol tentang parpol lokal memang tidak diatur
dalam PP No 20 Tahun 2007. Namun, aturan yang mengatur mengenai hal tersebut
sudah diatur tersendiri di dalam UU Pemerintahan Aceh. Oleh karenanya, dia
menyarankan supaya GAM melakukan modifikasi partai dalam rangka untuk
memperkuat demokrasi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
"Ini kan belum didaftar. Sebelum didaftar, saya pikir buang waktu kalau dijadikan
polemik. Peristiwa itu sendiri sebenarnya juga bukan deklarasi pendirian partai, tapi
peresmian kantor yang di situ ada lambang bendera GAM," papar Nasir.
Sementara itu, Sekretaris Negara Hatta Radjasa, Rabu, kembali menyatakan bahwa
pemerintah memastikan diri tidak akan menerima partai lokal yang menggunakan
nama dan simbol Gerakan Aceh Merdeka. Alasannya, penggunaan simbol tersebut
tidak sesuai dengan semangat MoU Helsinki.
"Sudah jelas semangat dalam MoU Helsinki adalah perdamaian," ujarnya. Ia
menambahkan, dalam PP No 20/2007, pengaturan parpol lokal dilakukan oleh Menteri
Hukum dan HAM, Komite Independen Pemilihan (KIP) dan Gubernur sebagai
kepanjangan tangan pemerintah. (tutut herlina/murizal hamzah)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|