The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Suara Merdeka


Suara Merdeka, Rabu, 15 Agustus 2007

Menggugat Makna Kebangsaan

Oleh Budi Susanto

DULU, pekik "merdeka atau mati!" mampu mendorong gerakan yang mengantarkan negeri ini lepas dari kolonialisme. Kini, teriakkanlah pekik yang sama di Papua, Maluku, Aceh, atau bahkan di Riau, Kalimantan Timur, atau mungkin daerah lain, maka "bisa" diartikan sebaliknya.

Dulu, pekik "merdeka" bisa menyatukan semangat serta menepis perbedaan seluruh elemen bangsa. Sekarang, pekik yang sama malah bisa berkonotasi pertikaian, perpecahan, bahkan semangat untuk melepaskan diri dari NKRI.

Lalu, kini masih relevankah semangat dan pekik "merdeka" itu? Sekarang ini sering muncul kembali pertanyaan, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Malah tak sedikit yang bertanya, siapakah sebenarnya yang disebut bangsa Indonesia? Pertanyaan itu mengemuka antara lain dilatarbelakangi oleh munculnya ancaman disintegrasi berupa gerakan bersenjata di sejumlah daerah.

Fenomena tersebut kiranya menunjukkan bahwa semangat kebangsaan Indonesia bukan saja sedang dipersoalkan, melainkan juga digugat, bahkan dilawan. Para penggugat bukan cuma tak lagi merasa, melainkan juga tak ingin lagi menjadi bagian dari Indonesia.

Jatuhnya korban jiwa dalam sejumlah kerusuhan dan gerakan separatis, merupakan bukti bahwa rasa persatuan dan kebersamaan sebagai bangsa sedang dalam ancaman perpecahan. Tak heran, jika reformasi yang ingin mengusung semangat demokratisasi justru dikhawatirkan akan mendorong ancaman disintegrasi tersebut.

Namun yang lebih memprihatinkan, kondisi itu justru diperparah oleh perilaku para elite dan pemimpin negeri ini. Kasus penjarahan kekayaan alam yang melibatkan aparat dan pejabat, terasa makin merajalela. Manipulasi dan korupsi berjamaah oleh para petinggi dan wakil rakyat, kian menyakiti hati rakyat. Pertikaian antarelite bagaikan tontonan yang tak pernah tersentuh oleh rasa malu. Kesenjangan makin meresahkan.

Itulah krisis multidimensi yang menjadi beban berat bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan. Di sisi lain, masih sering ada anggapan keliru yang melihat keberadaan bangsa Indonesia sebagai sesuatu yang sudah final seiring dengan proklamasi kemerdekaan. Maka, mempersoalkan pemahaman nasionalisme dianggap tidak relevan, dicurigai, atau malah dianggap subversi.

Padahal, lahirnya sebuah negara tidak sama dengan lahirnya sebuah bangsa. Lahirnya bangsa Indonesia bukan bermula dari sebuah kesatuan awal berupa entitas tunggal yang mampu mempertautkan seluruh masyarakat. Pertautan yang terjadi justru diakibatkan oleh faktor dari luar berupa penjajahan bangsa lain. Para pejuang membangkitkan keinginan melawan penjajah menjadi semangat dan kehendak untuk bersatu sebagai sebuah bangsa baru, dengan batas wilayah bekas daerah jajahan.

Itulah, yang digambarkan Benedict Anderson mengenai bangsa sebagai imagined community. Sebagai komunitas yang dibayangkan dapat diidentifikasi beberapa unsur terbentuknya nasionalisme, yaitu adanya perasaan senasib, kedekatan fisik/nonfisik, terancam dari musuh bersama, dan tujuan bersama, khususnya dalam melawan kolonialisme.

Demikian pula dengan konsep Ernest Renan bahwa nasionalisme adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan. Berbekal semangat itulah, nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Namun ketika kepentingan melawan kolonial telah berlalu, nasionalisme mendapat ujian. Bukan orang besar yang kita perlukan, tapi tindakan besar. Bukan pahlawan yang kita butuhkan, tetapi tindakan kepahlawanan. Bukan ratu adil yang kita impikan, tetapi sistem yang adil.

Semangat kebangsaan itu mulai gagap mengartikulasikan diri. Pergolakan antarelemen bangsa pun berlangsung tajam. Sebuah studi yang dilakukan oleh J Eliseo Rocamora terhadap Partai Nasional Indonesia (PNI) kurang lebih menggambarkan keadaan tersebut.

Terombang-ambing

Menurutnya, PNI pascakemerdekaan merupakan jagat kecil (mikrokosmos) yang dalam banyak hal mencerminkan sistem politik Indonesia secara keseluruhan. Hasil studi yang dilakukan menunjukkan, PNI senantiasa terombang-ambing dalam merumuskan nasionalisme sebagai seperangkat gagasan dan tindakan.

Rocamora menilai, percuma mencari pengertian nasionalisme sebagai ideologi politik yang terumus secara padu dan menyeluruh di dalam PNI. Ia senantiasa berubah-ubah dan lebih banyak ditentukan oleh kepentingan elite dalam merebut kendali partai dan pemerintahan, serta tuntutan kebutuhan kehidupan politik Indonesia yang bergerak cepat.

Rocamora sejalan dengan Daniel S Lev yang mengatakan, fungsi ideologi lebih banyak berkenaan dengan upaya mempersatukan pengikut dan melegitimasi para pemimpinnya. Nasionalisme hanyalah segumpal pernyataan simbolik untuk memberikan keabsahan bagi suatu kepemimpinan.

Maka, sejarah PNI pun senantiasa diwarnai penyakit faksionalisme kronis yang ditandai dengan pergolakan internal. Pertikaian di antara eksponen-eksponennya bahkan terus berlanjut, termasuk setelah meleburkan diri ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1973.

Pemaparan kedua ilmuwan tersebut tentu bisa memperkaya pemahaman tentang dinamika kehidupan politik Indonesia, bukan saja di masa lalu, melainkan juga sekarang, bahkan masa datang.

Setelah sekian puluh tahun merdeka, disadari atau tidak, sistem ekonomi yang dibangun di negeri ini telah tumbuh menjadi sistem yang lebih berpihak kepada kepentingan segelintir elite. Hampir seluruh kekayaan dan sumber daya alam daerah dikuras dan diisap ke pusat oleh kekuasaan yang tak tersentuh. Daerah tak lebih hanya menjadi sapi perahan. Di masa Orde Baru, kondisi itu bisa berlangsung lama karena dimanipulasi oleh sistem kekuasaan yang mengatasnamakan diri demi persatuan dan kesatuan, serta dijaga oleh kekuatan bersenjata.

Itulah sebabnya, Romo YB Mangunwijaya pernah mengatakan, persatuan dan kebersamaan yang dulu ampuh untuk melawan politik devide et impera penjajah Belanda telah berubah dan berevolusi menjadi sistem pengurasan ekonomi ala VOC. Atau meminjam istilah John Breuilly (1994), nasionalisme berevolusi menjadi alat manufacturing consent untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan ekonomi politik kelompok elite nasionalis.

Jika kemerdekaan diartikan sebagai kebebasan menciptakan sistem demi melayani kepentingan kelompok elite, wajar kalau rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan negara (distrust). Bisa dimengerti, jika ada yang mengartikan merdeka adalah melepaskan diri dari NKRI. Masuk akal, jika kohesi sosial bangsa menjadi rapuh. Padahal, sebagaimana dikemukakan Francis Fukuyama, kepercayaan merupakan modal sosial (social capital) paling penting dalam masyarakat sipil di negara demokrasi modern.

Pendangkalan

Akhir-akhir ini kita dihangatkan oleh masalah perjanjian ekstradisi dan pertahanan antara RI-Singapura. Polemik seputar rasa kebangsaan merebak, termasuk antara Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dengan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo.

Juwono berpendapat, semua pihak hendaknya bisa mengerti bahwa kondisi percaturan internasional saat ini sudah sangat berbeda dari kondisi 60 tahun lalu. Sehingga, kalau dulu Bung Karno pernah menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang terbuka dan hidup subur dalam tamansari internasionalisme, maka nasionalisme kita sekarang juga harus menyesuaikannya dengan konteks internasionalisme yang berkembang saat ini. Sementara Sayidiman tidak sependapat, karena menurutnya internasionalisme yang dimaksud Bung Karno sama sekali bukan internasionalisme yang didominasi Amerika Serikat seperti sekarang.

Membaca polemik kedua tokoh dan pemimpin tersebut, sekali lagi kita tidak memperoleh pengertian yang lebih utuh tentang nasionalisme Indonesia. Kedua pendapat itu sama benarnya, tetapi sebatas mencerminkan posisi masing-masing. Dengan mengutip Bung Karno, Juwono sebagai menteri berkesan hanya ingin mengatakan bahwa perjanjian RI-Singapura adalah benar. Adapun Sayidiman sebagai tokoh pelaku sejarah berpendapat, ajaran Bung Karno tidaklah seperti yang dikutip Juwono. Lebih dari itu, tak ada pengertian yang bisa memberi pemahaman maupun inspirasi baru. Tak ada yang bisa kita petik, misalnya untuk merumuskan sikap lebih jelas terhadap isu seperti globalisasi di satu sisi, dan isu menguatnya semangat etnisitas (etnonasionalisme) dan ancaman disintegrasi di sisi lain.

Polemik itu hanyalah satu contoh. Banyak perdebatan lain tentang nasionalisme yang hanya berputar-putar pada sudut kepentingan masing-masing. Keadaan itu kiranya menunjukkan adanya pendangkalan -atau malah kemandekan- paham kebangsaan Indonesia. Menjadi tanggung jawab utama para pemimpin dan cendekiawan negeri ini untuk memberikan pencerahan, dan bukan hanya mencari pembenaran posisi masing-masing.

Sebab, kesalahan kecil dalam mengambil langkah kebijakan bisa menyulut krisis yang jauh lebih besar dan lebih menghancurkan ketimbang krisis multidimensi sejak 1998 lalu. Ancaman "balkanisasi" bukanlah hal yang mustahil.

Namun sekali lagi, agaknya kita tak dapat terlalu banyak berharap dari para pemimpin, pembesar, atau para intelektual. Sejak 1998 kita sudah mengalami kepemimpinan lima presiden, tetapi keadaan belum banyak berubah. Sebenarnya memang bukan orang besar yang kita perlukan, tapi tindakan besar. Bukan pahlawan yang kita butuhkan, tetapi tindakan kepahlawanan. Bukan ratu adil yang diimpikan, tetapi sistem yang adil.

Itu semua tidak akan datang dari langit, tetapi merupakan hasil perjuangan seluruh komponen masyarakat. Hanya karena rakyatlah, maka pemimpin menjadi berarti. Karena tindakan nyata dari seluruh komponen bangsalah, gagasan besar sang pemimpin bisa terwujud.

Kesadaran Sejarah

Gugatan dalam tulisan ini tak lain bertujuan agar kita mencoba merenung dan merumuskan kembali makna kemerdekaan dan kebangsaan negeri ini. Bukan dengan cara mengangkat senjata, berperang, berontak, atau membebaskan diri dari NKRI, melainkan dengan cara-cara yang lebih elegan melalui gerakan budaya atau gerakan sosial untuk menjalin kembali rasa kebersamaan yang telah koyak; membangun kembali kepercayaan yang telah runtuh, merumuskan kembali nasionalisme agar bisa menjadi semangat, pedoman, serta memberi inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam dunia yang cepat berubah.

Nasionalisme memang bukan barang jadi, melainkan merupakan proyek sosial yang harus terus menerus dibangun, dijaga, dan disempurnakan oleh seluruh bangsa. Kiranya sangat penting untuk mengkaji kembali modal dasar kita sebagai bangsa, baik berupa sumber daya sosial, budaya, maupun sumber daya alam.

Perlu kita tinjau ulang makna perjalanan sejarah bangsa. Bukan untuk berorientasi kepada masa lalu atau membuka luka lama, melainkan justru untuk makin memahami diri demi menyusun masa depan bersama.

Masih banyak sisi detail sejarah kita yang belum dipahami, dan tak sedikit sisi gelap yang masih tertutup serta menjadi misteri. Semua perlu lebih kita dalami. Sebab, bangsa yang tak memahami sejarahnya sebenarnya adalah bangsa yang tak mampu merumuskan dan menyusun masa depannya.

Merdeka bukan berarti bebas menguras kekayaan untuk segelintir orang. Merdeka juga bukan untuk melepaskan diri dari NKRI. Kemerdekaan sebenarnya merupakan bentuk keterikatan baru. Pernyataan "merdeka" adalah pernyataan untuk mengikatkan diri terhadap arti "merdeka" yang diucapkan. Arti kemerdekaan yang kita proklamasikan, adalah kemerdekaan bagi seluruh bangsa, bukan kemerdekaan untuk segelintir orang, bukan untuk satu atau dua partai, apalagi satu atau beberapa faksi.

Kemerdekaan kita adalah kemerdekaan untuk Indonesia sebagai bangsa dan negara. Jika yang dimaksud bangsa dan negara tak lagi dalam konteks keindonesiaan, maka kemerdekaan memang patut dipertanyakan kembali. (68)

- Drs Budi Susanto S SH, wartawan tinggal di Semarang.

Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/aboroe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044