SUARA PEMBARUAN DAILY, 30 Juni 2007
TAJUK RENCANA I
Bobolnya Pengamanan Presiden
Puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-14 di Ambon, Maluku,
Jumat (29/6) pagi, diwarnai insiden yang cukup menyentak. Presiden Susilo
Bambang Yu- dhoyono yang hadir pada acara itu, tiba- tiba disuguhi tarian Cakalele
yang ditampilkan puluhan pemuda, yang lantas mengibarkan bendera Republik
Maluku Selatan (RMS) di hadapan Presiden RI.
Seketika kita mempertanyakan, bagaimana mungkin sebuah kegiatan di lapangan
terbuka yang dihadiri seorang presiden, bisa disusupi orang-orang yang tidak
seharusnya berada di lingkar dalam pengamanan. Apalagi penyusup-penyusup yang
menyaru sebagai pengisi acara tersebut, merupakan simpatisan atau pendukung
RMS, yang notabene adalah gerakan separatis terlarang di Tanah Air.
Dari insiden tersebut tentu ada dua hal penting yang patut dicermati. Pertama, dalam
konteks politik, kelompok RMS yang menampakkan diri di hadapan Presiden, adalah
wujud masih bercokolnya gerakan sempalan itu di bumi Maluku. Dalam skala apa
pun, hal itu tidak bisa dianggap remeh. Justru sebaliknya, kita menuntut aparat
penegak hukum, untuk segera menuntaskan elemen-elemen gerakan separatisme
dari Tanah Air, agar tak mengancam keutuhan NKRI.
Kedua, dalam konteks keamanan, insiden tarian Cakalele itu menunjukkan bahwa
aparat keamanan, baik lokal maupun unit Pasukan Pengamanan Presiden
(Paspampres) kecolongan. Prosedur tetap yang cukup ketat di setiap kegiatan
presiden di luar ruang, terbukti tak dijalankan secara benar.
Sistem pengamanan untuk menyaring siapa saja, termasuk pengisi acara, yang bisa
memasuki lingkaran terdekat dari posisi kepala negara, bisa ditembus dengan mudah
oleh penari-penari simpatisan RMS. Bahkan dengan mudahnya mereka mengibarkan
bendera RMS di hadapan Presiden Yudhoyono. Insiden tersebut tentu saja sangat
membahayakan keselamatan jiwa kepala negara.
Lantas mengapa insiden itu bisa terjadi? Jelas, ini disebabkan kelengahan aparat
keamanan kita, termasuk intelijen. Potensi kerawanan, baik secara politis maupun
keamanan, tidak terdeteksi secara sempurna oleh aparat. Ambon (Maluku) yang kita
semua tahu masih menyimpan potensi kerawanan keamanan pascakonflik
antaragama beberapa tahun lalu, serta keberadaan RMS, pengamanan yang
diterapkan seharusnya lebih ketat dibanding wilayah lain yang potensi kerawanannya
relatif lebih aman.
Adalah hal yang tak masuk akal, serombongan pemuda yang mengaku sebagai
pengisi acara, bisa melenggang tanpa dapat dicegah, dan tampil di hadapan presiden.
Ini membuktikan tidak ada koordinasi antara aparat keamanan dari lapis terluar
hingga terdalam, dan panitia yang mengurusi pengisi acara.
Sebagai pengisi acara liar, tentunya serombongan pemuda simpatisan RMS itu tidak
memiliki tanda pengenal resmi dari panitia, sebagai tanda bahwa mereka
diperkenankan memasuki areal acara. Sayangnya, hal itu luput dari petugas.
Kita lantas bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan Paspampres, panitia,
dan aparat keamanan lokal yang mengamankan kunjungan presiden? Mengapa
mereka lengah, hingga hal yang paling sederhana pun, seperti menyeleksi siapa yang
boleh masuk dan tidak, tak dijalankan secara benar.
Tentu saja ada yang harus bertanggung jawab atas insiden di Lapangan Merdeka,
Ambon tersebut. Kita ingin peristiwa serupa tak terulang di kemudian hari. Kita juga
berharap agar aparat keamanan dan intelijen bertindak lebih profesional.
Di sisi lain, kita juga mengingatkan, agar pemerintah juga menaruh perhatian terhadap
ancaman separatisme yang masih bercokol di Maluku. Meskipun gerakan RMS tak
sebesar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM),
kehadiran mereka tetap harus diwaspadai dan ditumpas, agar tak mengancam
keutuhan NKRI.
Last modified: 30/6/07
|