SUARA PEMBARUAN DAILY, 4 Juli 2007
Aparat Keamanan Bersiaga di Jayapura
[JAYAPURA] Aparat keamanan bersiaga di Kota Jayapura menyusul aksi
pembentangan bendera "Bintang Kejora", dalam suguhan tarian saat pembukaan
Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua, di Gelanggang Olahraga (GOR)
Cenderawasih, Jayapura, Papua, Selasa (3/7).
Polri telah menyiagakan tiga satuan setingkat kompi (SSK), yang terdiri dari
Pengendalian Massa (Dalmas) dan Brimob Polda Papua. Mereka bersiaga di
Mapolresta Jayapura. Sedangkan TNI menyiagakan lima SSK, yang disebar di Korem
sebanyak satu SSK, satu SSK di Kodim dan tiga SSK di Kodam.
Bahkan sehubungan dengan rencana pembubaran Konferensi Besar Masyarakat Adat
Papua, tiga SSK dari kepolisian telah berpatroli dan unjuk kekuatan melintasi GOR
Cenderawasih. Namun, rencana tersebut batal setelah negosiasi antara panitia dan
Kapolresta Jayapura.
Kapolresta Jayapura AKBP Robert Djoenso menyatakan, berdasarkan keterangan
panitia, pembentangan "Bintang Kejora" itu merupakan rangkaian pertunjukan dari
tarian ditampilkan saat pembukaan.
Dia mengaku mendapat jaminan dari panitia tidak akan ada kegiatan yang
bertentangan dengan NKRI. "Apapun bentuk kegiatan itu jika sudah keluar dari koridor
hukum dan NKRI, itu adalah tindakan makar," ucapnya.
Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Polisi Max Donald Aer
berpendapat, pembentangan bendera "Bintang Kejora" oleh penari dari Grup Sampari
asal Manokwari yang juga mengenakan kostum bercorak bintang Kejora, jelas
melanggar hukum. "Karena bendera tersebut sudah dilarang digunakan dan
dikibarkan. Karena selama ini bendera itu dianggap sebagai lambang kedaulatan dari
suatu negara yang disebut Papua Barat," tegasnya.
Sementara itu, di sela-sela kongres pada Rabu (4/7) siang, bendera berwarna putih
bertuliskan "SOS" dikibarkan sekelompok pemuda yang menamakan diri Koalisi
Rakyat Papua di halaman GOR Cenderawasih. Mereka meminta pemerintah
memperhatikan tuntutan mereka. Tuntutan yang ditulis di atas spanduk itu adalah
pencabutan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan
pengusutan pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura.
Kasus RMS
Dari Ambon diperoleh informasi, menyusul investigasi Tim Mabes TNI terkait insiden
pembentangan bendera "Benang Raja" simbol Republik Maluku Selatan (RMS), pada
Rabu (4/7), Pangdam XVI/Pattimura Mayjen Sudarmaidy Subandi melakukan
investigasi internal terhadap jajarannya yang bertugas saat peringatan Hari Keluarga
Nasional (Harganas) ke-14 di Ambon, Jumat (29/6) lalu.
Investigasi internal ini untuk mengetahui titik-titik rawan yang menyebabkan
terkecohnya petugas keamanan di lapangan, sehingga penari cakalele liar bisa lolos
dan tampil serta membentangkan bendera "Benang Raja" di hadapan Presiden.
Secara terpisah, Kapolda Maluku Brigjen Polisi Guntur Gatot Setyawan mengaku
curiga dengan masuknya para penari cakalele yang tidak masuk dalam susunan
acara. "Saya curiga dengan kostum penari karena bukan warna hitam tapi agak belel,
dan satu di antaranya menggunakan celana putih," jelas Kapolda.
Dari penyelidikan diketahui, para penari liar yang adalah pendukung RMS tersebut
telah merencanakan jauh hari sebelumnya. Para pelaku menggelar empat kali
pertemuan, dimulai 10 Juni lalu yang diikuti 24 orang. Keputusannya, mereka siap
menari cakalele saat Harganas, sembari membawa bendera "Benang Raja". Selain
itu, para penari juga diperintahkan menyimpan bendera di celana dalam.
"Selanjutnya pertemuan dilakukan pada tanggal 14, 19, dan 24 Juni. Tanggal 24 Juni,
para pelaku berangkat dari Desa Aboru, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten
Maluku Tengah (Malteng) menggunakan speed boat," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sisno Adiwinoto
mengungkapkan, Polri kini memburu tokoh RMS, Alex Manuputy yang kabur ke
Amerika Serikat. Alex diduga sebagai dalang insiden pembentangan bendera RMS
saat peringatan Harganas di Ambon. [ROB/VL/G-5]
Last modified: 4/7/07
|