SUARA PEMBARUAN DAILY, 9 Juli 2007
Mengatasi Separatisme di Indonesia
Oleh Tony Wardoyo
Belum usai kontroversi pengarakan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) dalam
tarian cakalele yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masyarakat
kembali digoncang pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua. Perkembangan ini
mengisyaratkan potensi gejolak separatisme di Indonesia masing sangat besar.
Kondisi ini memperlihatkan persoalan separatisme yang muncul sejak 1950-an belum
juga bisa diatasi sepenuhnya hingga kini. Padahal upaya mengatasi separatisme
telah juga lama dilakukan.
Upaya pengokohan integrasi nasional telah banyak digunakan baik bersifat militer,
persuasi bahkan insentif. Tapi sejauh ini belum sepenuhnya berhasil. Bahkan ada
kecenderungan potensi separatisme menjadi kian meningkat bila melihat frekuensi
konflik dalam negeri. Hasil temuan United Nations Support Facility for Indonesian
Recovery (UNSFIR), lembaga di bawah payung United Nations Development
Programme (UNDP) menunjukkan, angka kematian akibat konflik sosial di Indonesia
tahun 1990 hingga 2003 mencapai 10.758 jiwa, sementara insiden yang terjadi akibat
kekerasan kolektif sebanyak 3.608 kasus.
Pemerintah hampir selalu disibukkan dengan gerakan separatisme, sehingga Samuel
Huntington pernah berkomentar Indonesia bisa bernasib seperti Yugoslavia dan Uni
Soviet (almarhum), menjadi negara yang pecah akibat kegagalan menjaga integrasi
nasional.
Pandangan itu barangkali dilandasi kenyataan Indonesia merupakan negara keempat
terbesar di dunia dan masyarakatnya paling plural ini selalu dihantui oleh gerakan
separatisme. Struktur masyarakat Indonesia yang heterogenitas etnik, secara
horizontal ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Secara vertikal,
struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan
atas dan bawah.
Dengan struktur sosial yang sedemikian kompleks, sangat rasional Indonesia selalu
menghadapi permasalahan konflik antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit
membangun integrasi secara tetap. Hambatan demikian semakin nampak jelas, jika
diferensiasi sosial berdasarkan suku jatuh berhimpitan dengan faktor lain (agama,
kelas, ekonomi, dan bahasa), sehingga sentimen-sentimen yang bersumber dari
faktor sosial yang satu cenderung berkembang saling meningkatkan dengan
sentimen-sentimen yang bersumber dari diferensiasi sosial berdasarkan faktor yang
lain. Faktor struktur sosial yang kompleks tumpang-tindih, menurut Peter Blau,
merupakan kendala terbesar bagi terciptanya integrasi sosial.
Sementara itu, secara sosiologis diferensiasi sosial yang melingkupi struktur sosial
kemajemukan masyarakat Indonesia adalah; pertama adalah diferensiasi yang
disebabkan oleh perbedaan adat istiadat. Hal ini karena perbedaan etnik, budaya,
agama, dan bahasa. Kedua adalah diferensiasi yang disebabkan oleh struktural. Hal
ini disebabkan oleh perbedaaan kemampuan untuk mengakses ekonomi dan politik
sehingga menyebabkan kesenjangan sosial di antara etnik berbeda.
Faktor Penghambat
Dengan demikian, faktor sosiologis kultural dan struktural merupakan penghambat
penting dalam integrasi nasional di masyarakat yang sangat plural seperti Indonesia.
Sebenarnya kondisi itu bukannya tidak dipahami oleh para pemimpin Indonesia.
Mereka sebenarnya telah memberikan perhatian terhadap upaya menjembatani
kesenjangan multidimensi yang terjadi di masyarakat. Di antaranya dengan
mengakomodasi aspirasi masing-masing kelompok yang berbeda ini, terutama di
daerah yang memiliki potensi mengalami disintegrasi seperti Papua dan Aceh,
dengan memberi otonomi khusus.
Sebagian upaya sebenarnya sudah lumayan berhasil. Tetapi kemudian mencuat
menjadi gejolak ke permukaan karena faktor kekuatan asing. Di Papua fakta peran
Amerika Serikat dalam mendorong ketidakstabilan provinsi itu hampir tak bisa
ditutupi, yang secara terbuka melakukan intervensi seperti kunjungan anggota
Kongres AS pertengahan Juli ini yang mengungkit masalah Papua. AS jelas memiliki
kepentingan agar bisa mengeruk kekayaan Papua. Demikian pula dalam kasus
bendera RMS baru-baru ini di Ambon, faktor kekuatan asing atau Belanda banyak
disebut terlibat.
Dengan persoalan seperti itu maka lengkap sudah kompleksitas ancaman
disintegrasi nasional di Indonesia. Ini bukan berarti kemudian tidak bisa dipecahkan
sama sekali. Upaya mengatasinya, menurut Weiner, memerlukan kebijakan yang
lebih sistematis untuk mengintegrasikan masyarakat kepada satu negara nasional.
Integrasi adalah proses sosiologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam
waktu singkat. Hal ini memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik
diantara suku bangsa (etnik) di Indonesia. Kalau kita menggunakan pendekatan
konflik sebagaimana diilustrasikan oleh Lewis C Coser dan George Simell, maka
kerangka masyarakat yang akan kita dapatkan adalah integrasi yang selalu berada
dalam bayang-ba- yang konflik antaretnik berkepanjangan.
Kalau kita mengikuti pandangan penganut fungsional struktural dari Auguste Comte,
melalui Durkheim sampai dengan Parsons, maka yang akan menjadi faktor
mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah sebuah nilai umum tentang
kesepakatan bersama antarmasyarakat.
Nilai-nilai umum tertentu yang disepakati secara bersama itu tidak hanya disepakati
oleh sebagian besar orang (etnik), namun harus dihayati melalui proses sosialisasi,
akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi. Proses ini pernah dibuktikan oleh kesepakatan
bersama dalam Sumpah Pemuda yang menghasilkan nasionalisme dan menyatukan
rakyat Indonesia secara sosial dan politik. Mengikuti pemikiran R William Liddle,
konsensus nasional yang mengintegrasikan masyarakat yang pluralistik pada
hakekatnya mempunyai dua tingkatan sebagai prasyarat bagi tumbuhnya suatu
integrasi nasional yang tangguh.
Pertama, sebagian besar anggota suku bangsa bersepakat tentang batas-batas
teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka sebagai
warganya. Kedua, apabila sebagian besar anggota masyarakatnya bersepakat
mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses politik yang berlaku
bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara yang bersangkutan.
Integrasi Nasional
Dalam konteks Indonesia, maka proses integrasi nasional haruslah berjalan alamiah,
sesuai dengan keanekaragaman budayanya dan harus lepas dari hegemoni dan
dominasi peran politik etnik tertentu. Proses integrasi harus melalui fase-fase sosial
dan politik. Mengikuti alur pemikiran Ogburn dan Nimkof (penganut fungsionalisme
struktural) bahwa integrasi merupakan sebuah proses : akomodasi-kerja sama
-koordinasi-asimilasi.
Kendati aspek persuasif dan konsensus harus tetap dikedepankan menjaga integrasi
nasional, bukan berarti mengabaikan daya koersi negara. Sebab salah satu cara
untuk mengintegrasikan masyarakat agar menyatu dengan negara bangsa adalah
dengan cara tetap menjaga kekuatan koersif untuk mengatasi separatisme, karena
dalam angkatan bersenjata yang kuat membuatnya menjadi lebih berwibawa.
Pendekatan ini bisa mendorong kekuatan asing segan mengacak-ngacak kedaulatan
Indonesia dengan isu separatisme.
Padahal sebagaimana yang telah dipaparkan, faktor kekuatan asing dalam masalah
separatisme di Indonesia cukup besar. Untuk mengatasinya dibutuhkan upaya
diplomasi yang canggih. Setidaknya dalam masalah ini perlu belajar dari kasus Aceh.
Sejak 12 Mei 2000, tatkala Pemerintah Indonesia menerima tawaran dari suatu
organisasi kemanusiaan, Henry Dunant Center di Bavoir, Swiss, yang tujuan
utamanya adalah untuk menciptakan rasa saling percaya ke arah terciptanya suatu
penyelesaian damai konflik di Aceh.
Pemerintah RI berupaya terus dengan menandatangani Persetujuan Penghentian
Permusuhan (COHA) hingga penandatanganan MoU antara GAM dan Pemerintah
Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinski. Kesepakatan itu ternyata bermakna
penting bagi peredaan ketegangan di Aceh yang telah berlangsung 30 tahun.
Kendati begitu bukan berarti mendorong internasionalisasi masalah dalam negeri,
yang bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga bisa membuat
masalahnya menjadi kompleks, dan menimbulkan implikasi yang luas baik dari segi
politik maupun hukum internasional. Oleh karena itu, penggunaan saluran
internasional di sini lebih dimaksudkan membuat faktor internasional yang semula
berpihak ke separatis beralih menentang separatisme di Indonesia.
Dengan pendekatan aspek domestik dan internasional dalam menghadapi isu
separatisme, nampaknya Indonesia ke depan akan semakin kukuh dan kuat.
Penulis adalah alumnus Universitas Johanesburg Mainz Jerman dan anggota Komisi
II DPR-RI dari pemilihan Papua.
Last modified: 9/7/07
|