SUARA PEMBARUAN DAILY, 10 Juli 2007
Separatisme dalam NKRI
Heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata masih saja mendapat cobaan.
Keanekaragaman suku, agama, kekayaan alam, serta latar belakang sejarah yang
seharusnya menjadi modal berharga membangun bangsa, tetapi ternyata oleh
sekelompok orang dijadikan alasan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Selama dua pekan terakhir terjadi tiga peristiwa yang menghebohkan. Peristiwa
pertama, keberhasilan sekelompok penari cakalele mempertontonkan bendera
Benang Raja di hadapan Presiden Yudhoyono saat memperingati Hari Keluarga
Nasional di Ambon, Maluku. Kejadian itu merupakan tamparan bagi pemerintah,
terutama aparat keamanan, karena tidak sanggup mencegah tindakan para
simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS) menghina Presiden Republik Indonesia.
Kasus itu sedang ditangani Polri dan sejumlah orang telah ditetapkan sebagai
tersangka karena dinilai berbuat makar.
Peristiwa kedua adalah pembentangan bendera Bintang Kejora, yang menjadi simbol
perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) saat berlangsung Konferensi Besar
Masyarakat Adat Papua, pekan lalu. Kasus ini pun sedang ditangani aparat
keamanan.
Kemudian, peristiwa ketiga adalah deklarasi partai lokal di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Partai itu diberi nama Partai GAM. Menurut para pendiri partai itu,
GAM hanyalah sebuah nama, bukan kependekan dari Gerakan Aceh Merdeka.
Namun, lambang partai tersebut sama persis dengan bendera kelompok separatis
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Salah satu figur yang menonjol dari partai itu adalah
mantan Panglima GAM, Muzakkir Manaf.
Meskipun partai lokal itu belum dianggap sah karena sampai saat ini Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Provinsi NAD belum melakukan verifikasi sesuai
peraturan perundangan, penggunaan simbol-simbol kelompok separatis tetap saja
meresahkan. Trauma atas lepasnya Provinsi Timor-Timur dari Indonesia masih tetap
ada dan semangat menjaga keutuhan NKRI kembali bergelora.
Kita berharap bibit-bibit separatisme yang ditebar sekelompok orang, seperti di
Maluku, Papua, Aceh, dan mungkin di wilayah lainnya, harus segera dibasmi.
Toleransi yang diberikan pemerintah dan aparat keamanan terhadap mereka, justru
bisa menjadi bumerang di kemudian hari. Sejarah panjang perjuangan sebuah wilayah
untuk merdeka, seperti halnya Aceh, tentu tidak akan hilang begitu saja. Romantisme
masa lalu selalu coba dibangkitkan dan hal itulah yang harus diwaspadai.
Bagi kita, NKRI bersifat final. Dengan demikian, segala daya-upaya yang dilakukan
sekelompok orang untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia merupakan
tindakan makar dan otomatis harus diberantas. Tak ada toleransi bagi pelaku makar!
Reaksi Presiden yang disampaikan melalui Menteri Sekretaris Negara, Wakil
Presiden, sejumlah anggota DPR, dan juga Gubernur Lemhannas, yang pada intinya
menolak pembentukan Partai GAM, merupakan bukti bahwa kita tidak ingin Aceh
lepas dari Indonesia. Demikian juga dengan Maluku dan Papua.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi NAD
menyatakan Partai GAM tidak sah dan apabila aktivis partai tersebut tetap nekat
menggelar berbagai ke- giatan, maka polisi tidak perlu ragu-ragu menangkap mereka,
seperti yang dilakukan terhadap pendukung RMS dan OPM.
Sekali lagi, NKRI bersifat final dan setiap bibit separatisme harus segera
dimusnahkan, walau sekecil apa pun! Tindakan tegas aparat pemerintah dan aparat
keamanan sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan negeri ini. Kita tidak ingin
sejengkal tanah pun lepas, seperti yang pernah terjadi pada Timor-Timur.
Last modified: 10/7/07
|