SUARA PEMBARUAN DAILY, 11 Juli 2007
Pemerintah Tidak Represif Tangani Separatis
[JAKARTA] Pemerintah tidak akan represif menindak gerakan separatis yang
belakangan kembali muncul di Maluku, Papua, dan Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD).
"Untuk menindak kasus-kasus beberapa waktu lalu di Ambon, Papua dan Aceh perlu
dilakukan tindakan tegas dan terukur, namun tetap merefleksikan pendekatan rule of
law, bukan tindakan represif," kata Menko Polhukam Widodo AS usai rapat terbatas
dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara Jakarta, Selasa (10/7)
malam.
Hadir dalam jumpa pers itu, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, Kepala BIN
Syamsir Siregar, Kasad Jenderal Djoko Santoso, Kasal Laksamana Slamet
Subiyanto, dan Kasau Marsekal TNI Herman Prayitno.
Rapat terbatas ini digelar secara mendadak dan tidak terjadwalkan sebelumnya
dalam agenda Presiden pada Selasa. Rapat dilakukan segera setelah Presiden tiba di
Jakarta setelah kunjungan kerja ke Pontianak sejak Senin (9/7).
Dijelaskan Widodo, untuk mengatasi gerakan separatis di daerah-daerah tersebut
diharapkan aparat terkait di daerah bisa mengatasinya dengan mengedepankan
pendekatan hukum. Pendekatan ini, lanjutnya, dibutuhkan untuk menjaga kondisi
nasional tetap aman, tertib, dan stabil, sehingga mendukung pembangunan ekonomi.
Terkait rencana pendi-rian partai lokal di Aceh yang menggunakan atribut Gerakan
Aceh Merdeka (GAM), Widodo mengatakan, hal itu tidak sesuai dengan kesepakatan
damai di Helsinki dan melanggar UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh yang menyebutkan pemerintahan yang sah harus memelihara kondisi
perdamaian di NAD. Widodo juga menambahkan, penerapan UU tersebut harus
diterjemahkan dalam pemberian perizinan pendirian partai beratribut GAM tersebut.
Sementara itu, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi di
Jakarta, Selasa, mengatakan, gerakan separatisme di Papua sangat
mengkhawatirkan karena mereka memiliki sumber daya manusia yang handal,
jaringan internasional yang kuat, dan organisasi yang rapi. Bahkan gerakan
separatisme di Papua jauh lebih berbahaya dari Aceh. Karena itu harus diperhatikan
dengan sungguh-sungguh.
Elite Bertanggung Jawab
Sebenarnya, kata Muladi, otonomi khusus bagi Papua adalah salah satu upaya
mengerem gerakan separatis di sana terutama dengan dana otsus yang jumlahnya
begitu besar. Masalahnya, dana itu tidak dinikmati oleh semua rakyat Papua. Para
elite Papua harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana otsus itu.
Dikatakan, jaringan internasional kelompok separatis Papua sangat kuat, terutama
karena ada sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) Australia yang terus
mengkampanyekan Papua merdeka. Bagi Muladi, Papua jauh lebih berbahaya
daripada RMS yang sekarang tinggal nostalgia belaka. Bahkan tokoh-tokoh RMS di
Belanda tidak merayakan lagi hari peringatan RMS.
Di tempat terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim
Muzadi di Jakarta, Selasa, mengatakan, pemerintah harus lebih intensif lagi dalam
mencegah gerakan separatisme. Pasalnya, sebagai wakil eksekutif negara,
pemerintah harus bertanggung jawab atas kedaulatan negara.
Dikatakan Hasyim, yang harus dicegah adalah setiap gerakan yang menjurus kepada
separatisme, baik dalam bentuk simbol maupun tindakan. Apabila sampai ke tingkat
pemberontakan atau pemisahan diri, kata dia, maka negara berhak bahkan
berkewajiban memaklumkan perang terhadap gerakan tersebut.
Mengenai Aceh, Hasyim mengatakan, semenjak perjanjian Helsinki, banyak yang
mengingatkan bah- wa perjanjian itu mengandung kelemahan, tetapi pemerintah sulit
diberitahu. "Sekarang disalahgunakan oleh GAM," katanya. [Ant/E-5/A-21]
Last modified: 11/7/07
|