SUARA PEMBARUAN DAILY, 11 Juli 2007
Radikalisme, Ancaman Baru di Poso
Pengantar
Masih segar dalam ingatan kita, kerusuhan Poso beberapa waktu lalu yang
berlangsung cukup lama dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Korban luka
dan hancurnya sejumlah bagunan karena dibakar, masih harus dibenahi. Kondisi
Poso kini sudah jauh lebih baik. Sejumlah tokoh yang berada di balik kerusuhan
tersebut sudah ditangkap dan sebagian lagi masih diburu oleh aparat kepolisian.
Namun, permasalahan Poso belumlah selesai. Apalagi masih ada sebagian warga
yang sampai saat ini memilih berada di tempat pengungsian karena takut kembali ke
rumah mereka. Masih ada persoalan dan tersisa trauma akibat dari kerusuhan yang
berkepanjangan tersebut. Masih dibutuhkan upaya yang komprehensif untuk
menuntaskan masalah tersebut. Untuk mengetahui lebih banyak persoalan Poso kini,
koresponden SP, Jeis Montesori menuliskannya dalam sorotan kali ini.
[PHOTO: SP/Jeis Montesori S. Warga berjualan sayur-mayur di Pasar Sentral Poso.
Suasana damai dan aman membuat aktivitas di pasar yang menjadi pusat
perekonomian warga Poso itu hidup kembali.]
Belum pernah dalam delapan tahun terakhir di mana saat ini orang kembali bisa
dengan bebas keluar-masuk Poso, tanpa dihantui perasaan takut. Juga belum pernah
terjadi warga begitu mudahnya bepergian pada malam hari melewati tanah Poso, dan
tidak perlu lagi minta pengawalan aparat keamanan, seperti dulu.
Situasi ini sudah berlangsung sejak sekitar empat bulan terakhir. Bukan hanya
penduduk lokal, tapi warga dari luar Poso seperti Manado, Gorontalo, Makassar, dan
Jakarta, akhir-akhir ini banyak yang bepergian ke Poso. Mereka tidak takut lagi pada
ancaman ledakan bom atau penembakan misterius yang telah menjadi stigma
bertahun-tahun dalam kehidupan masyarakat.
Warga dari luar daerah itu umumnya ke Desa Meko, Kecamatan Lore Utara (sekitar
75 km dari kota Poso). Di desa terpencil ini, sejak Februari memang dihebohkan
dengan munculnya seorang anak kecil, Sherlin (8) yang mampu menyembuhkan
bermacam-macam penyakit. Mulai dari sakit lumpuh, buta, tuli, stroke hingga
beragam penyakit berat lain, dilaporkan bisa disembuhkan Sherlin hanya dengan doa
dan menyanyi puji-pujian bagi Tuhan.
Ribuan orang dari berbagai penjuru setiap minggu datang ke Meko dengan tujuan
berobat pada Sherlin. Yang menarik, masyarakat yang datang itu berasal dari latar
belakang suku dan agama yang berbeda-beda. Ketika jadwal penyembuhan itu
berlangsung setiap malam Jumat dan puncaknya hari Jumat, tidak peduli apa
agamanya, semua yang ingin mendapatkan kesembuhan, bersatu dan berdoa
bersama di Lapangan Meko, di mana Sherlin yang didampingi ibunya mengadakan
doa dan jamahan penyembuhan.
Seusai berobat warga itu kembali ke daerah asalnya dan harus melewati bekas
basis-basis konflik di Poso. Yang sangat melegakan, tidak lagi ada aksi-aksi
kekerasan atau teror bom seperti yang sering menimpa warga ketika melewati
wilayah itu. Semua kembali dengan selamat. tidak lagi ada pemeriksaan KTP di
pos-pos penjagaan polisi/tentara.. Pemilik/penumpang kendaraan cukup
melambaikan tangan saja ke arah aparat, semua kendaraan sudah boleh lewat
dengan nyaman.
Ini menandakan, situasi Poso sudah berubah. Poso sudah benar-benar pulih, kondusif
dan aman. Siapa pun, sudah boleh ke Poso tanpa pengawalan, tanpa perlu merasa
takut dicurigai/dibuntutin seperti dulu ketika konflik berbau agama itu meletus mulai
Desember 1998 dan berlanjut April-Mei 2000 sampai akhir 2006.
Ditangkap
Harus diakui, situasi Poso yang kondusif seperti itu, terutama tercipta
pascadilakukan penegakan hukum oleh aparat keamanan atau yang dikenal dengan
peristiwa 11 dan 22 Januari 2007.
Dalam dua peristiwa itu, polisi menangkap paksa para aktor kekerasan di Poso.
Mereka ditangkap di basis persembunyiannya di kawasan tanah runtuh, Kelurahan
Gebang Rejo dan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota.
Penangkapan itu juga tidak berlangsung mulus. Para tersangka yang sebelumnya
sudah ditetapkan sebagai buron polisi atau dikenal istilah DPO (daftar pencarian
orang), memberikan perlawanan keras pada polisi.
Akibatnya, kontak senjata tak dapat dihindari. Sedikitnya 15 warga sipil terdiri dari
DPO dan pendukungnya, tewas ditembak aparat. Sedang di pihak polisi terdapat dua
prajurit (anggota Brimob dan Polmas) mati tertembak/dikeroyok massa.
Selama hampir sebulan, polisi melakukan pembersihan di Poso di antaranya
menggerebek wilayah Tanah Runtuh yang diidentifikasi sebagai sarang pelaku
kekerasan. Dari tempat itu berhasil ditemukan berbagai jenis bahan peledak
berbahaya yang diduga dipakai selama ini.
Di antaranya diamankan 30 jenis senjata berat organik maupun rakitan, 10.786 butir
amunisi dalam berbagai kaliber, 235 bom rakitan aktif. Juga ditangkap dan
menyerahkan diri 56 tersangka pelaku kekerasan. Dari penangkapan itu, berhasil
diungkap 21 kasus kekerasan di Poso dan Palu yang diduga dilakukan para
tersangka selama ini.
Sejak penangkapan para DPO, volume kekerasan menurun drastis di daerah itu.
Aksi-aksi kekerasan seperti peledakan bom dan penembakan misterius nyaris tak
terdengar lagi di Poso maupun Palu, ibu kota Sulawesi Tengah (Sulteng). Hal itu juga
diakui J Santo dan Daeng Raja, tokoh Kristen dan Muslim Poso.
"Ya, saya kira terciptanya keamanan di Poso saat ini tidak terlepas dari
tertangkapnya para tersangka pelaku kekerasan tersebut, dan tindakan seperti ini
harus dipertahankan polisi sampai situasi Poso benar-benar aman," kata mantan
Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat
Tentena, Poso ini.
Senada dengan itu, Daeng Raja, deklarator Malino untuk Perdamaian Poso
mengatakan pihaknya merespon positif tindakan polisi namun ia juga meminta polisi
harus obyektif dan tidak diskriminatif dalam menangkap semua pelaku kekerasan di
Poso.
Akar Masalah
Kapolda Sulteng, Brigjen Pol Badrodin Haiti dalam percakapan dengan SP
mengatakan, penegakan hukum 11 dan 22 Januari barulah menyentuh bagian
permukaannya saja. Seperti teori gunung es, polisi baru menangani pucuknya saja
yakni menangkap para tersangka dan buronan. Tapi akar masalah masih banyak dan
belum terselesaikan.
Dalam seminar nasional membahas tentang "Evaluasi Kebijakan Penanganan Konflik
di Poso" yang dilaksanakan Universitas Tadulako (Untad) di Palu baru-baru ini,
terungkap sejumlah potensi konflik di Poso yang belum bisa terselesaikan.
Di antaranya soal semakin mengakarnya ajaran radikalisme yang menjalar sampai ke
desa-desa, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, trauma akibat konflik,
masih ada krisis kepercayaan dan dendam di antara para korban konflik, masalah
kependudukan, pengungsi dan pengembalian hak-hak keperdataan masyarakat yang
belum tuntas serta bantuan-bantuan dana pemerintah untuk pemulihan ekonomi,
sosial budaya masyarakat pasca konflik yang tidak transparan bahkan diduga sarat
korupsi.
Kapolda mengakui paham radikal sudah cukup tertanam luas di sebagian masyarakat
Poso dan menjadi ancaman serius bagi keutuhan bangsa.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Poso, Yahya Mangun mengatakan, upaya
deradikalisasi itu dapat dicegah dengan cara peningkatan dakwah (bagi umat Islam)
atau evangelisasi (bagi umat Nasrani). Ini menjadi salah satu solusi menuntun
kembali warga yang sudah telanjur terdoktrin dengan paham-paham yang menggiring
pada aksi-aksi kekerasan. "Program cinta Tuhan, ini yang harus kita buat di Poso.
Kalau orang sudah cinta Tuhan, ia tidak akan berbuat kekerasan," katanya.
Persoalan kemiskinan dan tingginya angka pengangguran juga menjadi masalah
serius di Poso. Karena perut lapar, begitu mudahnya warga terpancing melakukan
aksi-aksi kekerasan. Hasil penyelidikan Polda Sulteng menyebutkan para pelaku
kekerasan di Poso maupun Palu mendapat imbalan uang yang cukup setiap kali
melaksanakan tugas meledakkan bom atau membunuh orang-orang tertentu yang
sudah ditargetkan.
Menurut Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi jumlah orang miskin di Poso
mencapai sekitar 50.000 jiwa dari 194.241 jiwa total penduduk Poso saat ini. Jumlah
rumah tangga miskin (RTM) mencapai sekitar 20.000 RTM, dan angka pengangguran
terbesar adalah para tamatan SLTA sekitar 2.000 orang. Tingginya akan kemiskinan
ini menjadi sangat ironi bila dibandingkan dengan Kabupaten Poso yang kaya sumber
daya alam (SDA) sehingga tidak mesti rakyatnya hidup sengsara dan miskin.
Contoh paling nyata saat ini, seperti dikemukakan Direktur Lembaga Penguatan
Masyarakat Sipil (LPMS) Poso, Iskandar Lamuka, pembangunan sistem pembangkit
listrik tenaga air (PLTA) Poso I, II dan III yang akan menghasilkan kekuatan energi
hingga 690 megawatt (MW). Ternyata out put dari energi raksasa ini tidak dinikmati
warga Poso.
PLTA yang memanfaatkan potensi air terjun raksasa Sulewana di Kecamatan Lore
Utara, Kabupaten Poso itu, mulai dibangun tahun 2005 (saat masih hangat-hangatnya
konflik di Poso) oleh PT Poso Energi. *
Last modified: 11/7/07
|