SUARA PEMBARUAN DAILY, 13 Agustus 2007
RMS, Ide Politik yang Rapuh
Oleh John Pieris
Banyak hal yang terjadi di dunia ini biasanya dimulai dari sebuah mimpi, meditasi,
kontemplasi, dan juga khayalan. Artinya, sesuatu yang ada, sebelumnya tidak ada,
sesuatu yang nyata, tadinya tak tampak. Atau, sesuatu yang konkret, bermula dari
yang abstrak, atau sebuah khayalan dapat saja menjadi kenyataan, dan bisa saja
tetap menjadi khayalan.
Siapa pun bisa bermimpi tentang politik. Tetapi, tidak semua mimpi atau khayalan
akan menjadi sesuatu yang berwujud. Boleh jadi, bermimpi atau berkhayal di dalam
politik tidak dapat terwujud secara nyata (konkret) seperti yang diharapkan. Bisa juga
tidak terwujud sama sekali.
Sungguhpun demikian, bermimpi untuk memperjuangkan sebuah ide atau keinginan
politik boleh-boleh saja.
Dan, satu hal yang dapat dimengerti, bermimpi untuk melahirkan sebuah ide yang
dilanjutkan dengan sebuah gagasan, sebenarnya digerakkan oleh getaran mekanistik
pada jaringan-jaringan saraf dalam otak manusia. Karena itu, sifatnya personal dan
otonom. Dengan demikian, menjadi sebuah fenomena psikologis, bahwa bermimpi
tentang sesuatu yang bersifat politis-ideologis adalah otonomi setiap insan politik.
Seperti dikatakan filsuf Yunani, Plato, seluruh filsafat (berfikir filosofis) haruslah
bertumpu pada ide. Bagi Plato, ide adalah realitas yang sebenarnya dari segala
sesuatu yang ada, yang dapat dikenal dengan pancaindera. Dengan logika itu, dapat
dikatakan, RMS itu sebuah ide (mimpi) juga sebuah realitas.
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah buah (hasil) dari mimpi politik yang dibangun
secara sadar. Betapa tidak, karena pemimpin dan puluhan ribu tentara Koningklijk
Nederlandsch Indische Leger (KNIL) Belanda, ditambah ribuan pegawai yang
mengabdi pada Pemerintah Hindia Belanda, plus keluarganya dan para
simpatisannya merasa, dengan kekuatan itu, mereka dapat membentuk sebuah
negara baru yang merdeka dan berdaulat penuh. Membentuk negara yang sejajar
dengan negara-negara merdeka lainnya, dan pasti mendapat legitimasi, atau diakui
negara-negara lain.
Adalah wajar, dari perspektif hak-hak asasi manusia (HAM), siapa saja dan kelompok
masyarakat mana pun berhak menyatakan pendapat dan sikap politik untuk
memperjuangkan sebuah kemerdekaan. Persoalan utama dalam kasus RMS, tidak
sekadar ada, dan diakuinya hak politik itu, tetapi, apakah hak politik yang dimilikinya
itu sudah cukup dan dapat dianggap sebagai "barang bukti" untuk menuntut
kemerdekaan?
Dipaksakan
Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah sulit. Siapa pun bisa menyatakan atau mungkin
bisa memproklamirkan kemerdekaan. Masalahnya, apakah hak untuk menyatakan
kemerdekaan itu diakui orang-orang lain (masyarakat, rakyat)? Bukankah orang-orang
lain juga mempunyai hak untuk menyatakan ketidaksetujuan (penolakan) terhadap
kemerdekaan yang telah atau akan diperjuangkan orang-orang lain yang berbeda visi,
konsep, ideologi dan strategi?
Harus dipahami, substansi utama pemilikan dan perwujudan hak politik itu harus
berbanding lurus atau berjalan simetris dengan pengakuan terhadap hak politik yang
dimiliki orang lain. Dalam kasus kemerdekaan RMS yang dinyatakan pada 25 April
1950, diketahui sebagian besar orang Maluku menolak kemerdekaan itu, karena
perwujudan kemerdekaan itu dilakukan secara paksa di bawah ancaman sepatu lars
dan bayonet tentara KNIL. Penolakan itu terkait erat dengan hak politik ratusan ribu
orang Maluku yang tidak mengakui kemerdekaan RMS.
Pada waktu itu (1950), ratusan ribu orang Maluku (Tengah dan Tenggara) memilih
tetap menjadi warganegara Indonesia, karena mereka telah mendapatkan
kemerdekaannya pada 1945. Kemerdekaan yang didapatnya itu, sudah barang tentu,
tidak dapat dirampas siapa pun, termasuk RMS sekali pun. Dan, adalah wajar jika
Pemerintah Indonesia, khususnya tentara Republik Indonesia Serikat (RIS)
melindungi warganya dari ancaman laten maupun manifes dari aksis teror, berupa
paksaan serta siksaan dari tentara RMS.
Yang dilakukan pemerintah dan tentara RIS pada waktu itu (1950) adalah melindungi
hak-hak politik dan hak-hak warga negara RIS. Hal yang sama berlanjut pada tahun
1951-1962 oleh Pemerintah RI dan TNI, kurun waktu di mana RMS dapat dikalahkan.
Tindakan yang diambil Pemerintah RIS dan kemudian Pemerintah RI untuk
memerangi RMS, selain dimaksud untuk tidak mengakui keberadaan RMS, sekaligus
juga tindakan itu dilakukan untuk memperkokoh kedaulatan wilayah RIS dan RI.
Tindakan itu sangat cerdas, untuk menyatakan kepada dunia internasional, Indonesia
adalah negara merdeka, bersatu, dan berdaulat. Wajar jika Indonesia tidak mengakui
kemerdekaan dan kedaulatan negara apa pun yang dibentuk oleh siapa pun di dalam
wilayah negaranya.
Pemimpin RMS juga tidak cerdas membaca situasi politik nasional dan global pada
waktu itu. Pemimpin RMS lupa, banyak sekali negara yang dijajah, baru saja
merdeka, termasuk Indonesia, yang baru saja keluar dari krisis yang panjang karena
dicengkeram penjajah selama 350 tahun, tetapi kemudian mampu bangkit, dan
merebut kemerdekaannya pada tahun 1945. Di saat itu, jutaan rakyat Indonesia
menginginkan kemerdekaan yang langgeng dan permanen, dalam arti seluas-luasnya
menyangkut kemerdekaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Mengakui Kemerdekaan
Negara-negara besar telah mengakui kemerdekaan Indonesia. Sangat mustahil
negara-negara tersebut dapat mendukung kemerdekaan RMS. Negara-negara besar
seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, tidak mungkin mengakui kemerdekaan RMS.
Harga yang harus dibayar terlalu mahal jika AS berpihak kepada RMS dan memusuhi
Indonesia.
Sumber daya alam yang melimpah disertai pasar potensial (jumlah penduduk besar)
yang dimiliki Indonesia, lebih dilirik AS yang berambisi menguasai ekonomi dunia.
Menjadi pilihan yang tepat dalam paradigma politik luar negerinya setelah negara
adidaya itu keluar sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II.
Sebagai sekutu AS, Belanda, sebenarnya memiliki pandangan sama. Cuma, negara
itu seolah menjanjikan kemerdekaan kepada RMS yang diawali dengan berusaha
memecahkan wilayah-wilayah jajahannya menjadi negara-negara bagian. Ide politik
Belanda itu tidak berhasil diwujudkan, hingga muncullah ide pembentukan RMS.
RMS memang memiliki ide politik, tetapi ide yang dibangun sangatlah rapuh.
Kemerdekaan RMS dibangun di atas puing-puing kekesalan dan kefrustrasian
pemimpin dan ribuan tentara KNIL yang gagal membaca masa depan umat manusia
yang menginginkan kemerdekaan abadi, damai, santun, dan demokratis. Ide politik
RMS ditolak mayoritas rakyat Maluku Selatan karena ide itu dipaksakan.
Penulis adalah Ketua Program Pascasarjana FH-UKI, Jakarta
Last modified: 13/8/07
|