The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SUARA PEMBARUAN DAILY


SUARA PEMBARUAN DAILY, 13 Agustus 2007

Separatisme atau Ketidakadilan?

Pengantar

Sebentar lagi Indonesia memasuki usia kemerdekaannya yang ke-62. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini rupanya masih menyimpan sejumlah pekerjaan rumah untuk menjawab tujuan berdirinya bangsa ini. Di tengah upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat dan perdamaian yang masih jauh dicapai, Indonesia juga dihadapkan pada persoalan separatisme. Benarkah itu ancaman ataukah ungkapan ketidakpuasan karena ketidakadilan? Bagaimana ketidakaadilan tersebut dapat diatasi, wartawan SP, Alex Madji mengulasnya dalam sorotan berikut.

[PHOTO: Antara/str-Jimmy Ayal.Personel Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease membentangkan bendera gerakan separatis RMS yang disita bertepatan perayaan HUT ke-55 gerakan separatis itu. i hukum.]

Isu separatisme kembali menyeruak sejak awal Juli. Bermula dari peristiwa pengibaran bendara Republik Maluku Selatan (RMS) di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh sekelompok simpatisan RMS pada peringatan hari keluarga nasional di Lapangan Merdeka, Ambon, Jumat (29/6) lalu.

Sejak itu isu separatisme menjadi topik hangat. Meskipun, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi bahwa gerakan RMS tinggal nostalgia belaka dan tidak membahayakan. RMS hanya digunakan kelompok tertentu untuk meraih kepentingan pribadi.

Namun isu itu meluas lagi ketika para mantan geriliawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh mendeklarasikan partai lokal bernama GAM yang menggunakan warna, lambang dan simbol-simbol GAM serta dipimpin oleh mantan panglima perang GAM, Muzakir Manaf. Langkah para mantan anggota GAM membuat pejabat pemerintah di Jakarta marah.

Jakarta menilai mereka melanggar nota kesepahaman Helsinki antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla, misalnya menilai, langkah GAM itu tidak mendukung semangat perdamaian, semangat kebersamaan dalam membangun Aceh seperti tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tersebut.

Bahkan menjadi semakin panas ketika Gubernur Lemhanas Muladi mengemukakan hasil penelitian lembaganya bahwa GAM masih menginginkan Aceh merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanda-tandanya jelas. GAM sudah menguasai pemerintahan Aceh lewat pilkada 2006 lalu yang dimenangkan pentolan GAM, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Bila partai lokal GAM nati lolos dan memenangkan pemilu 2009 serta menguasai parlemen Aceh, maka kemerdekaan sudah di depan mata. Menurut Muladi, begitu GAM menguasai parlemen, mereka melakukan referendum apakah rakyat Aceh masih menghendaki bergabung atau memisahkan diri dari NKRI. Karena itu dia meminta GAM ditumpas secara yuridis.

Untunglah Wapres Jusuf Kalla tidak terlalu yakin dengan kesimpulan Lemhanas tersebut. Menurut Wapres Jusuf Kalla, orang-orang GAM tidak mungkin melepaskan diri dari NKRI. Sebab NKRI adalah sebuah pilihan final antara Pemerintah Indonesa dan GAM yang tertuang dalam MoU Helsinki. Sejumlah pihak lain juga berpendapat seperti itu.

Penilaian bahwa GAM ingin lepas dari NKRI dinilai terlalu berlebihan karena GAM sudah "diikat" oleh NKRI dalam MoU Helsinki.

Tidak hanya Aceh. Muladi mengungkapkan bahwa gerakan separatisme di Papua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM)-nya jauh lebih berbahaya. Kelompok ini dinilai memiliki jarangan internasional yang kuat, sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, dan organisasi yang rapi. Untuk daerah ini, dia mengusulkan supaya mengirim pasukan dalam jumlah besar dan di tempatkan di wilayah-wilayah pegunungan Papua. Dia juga mengusulkan supaya setiap orang asing yang mau ke Papua, termasuk utusan khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sekalipun harus diseleksi dan diuji sungguh-sungguh. Jangan sampai kehadiran mereka mengobarkan semangat pemisahan diri Papua dari NKRI.

Apa Masalahnya?

Masalah pokok gerakan separatisme di Indonesia sesungguhnya bukan idiologi, tetapi ketidakadilan. Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola dan Kastorius Sinaga mengemukakan pendapat itu secara terpisah.

Mereka mellihat, gerakan separatisme hanyalah panji atau jendela dalam istilah Kastorius Sinaga untuk memperjuangkan keadilan. Karena itu sepanjang pemerintah tidak bisa menciptakan keadilan di Aceh, Maluku, Papua dan daerah-daerah lainnya maka gerakan separatisme akan tetap hidup.

Tetapi Kastorius Sinaga melihat, dari segi sejarah dan konteks sosial politik, separatisme adalah suatu kenyataan politik yang hidup di masyarakat Papua, Maluku, dan dulu Aceh. Meskipun isu itu kadang-kadang dimainkan pihak lain seperti TNI. Tingkat atau kadar gerakan separatisme itu berbeda-beda antara satu daerah dengan yang lain. Di Maluku, misalnya sebagai kekuatan politik RMS tidak signifikan lagi, kata Kastorius.

Sedangkan di Papua gerakan separatisme itu diperkuat banyak faktor, seperti pengerukan sumber kekayaan alam oleh PT Freeport untuk dibawa ke Jakarta, dikorupsi, dan bahkan ke Amerika. Faktor pemicu lainnya adalah tidak konsistennya pemerintah pusat menjalankan Kebijakan untuk Papua.

Misalnya dalam pemekaran wilayah Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak dilibatkan. Jakarta cenderung memaksakan kehendaknya kepada rakyat Papua. Akibatnya, upaya Jakarta mendirikan daerah otonom baru di Papua oleh rakyat Papua dilihat sebagai politik devide et impera Jakarta. Padahal pemekaran wilayah di Papua tidak jadi masalah bila usulan itu sungguh-sungguh berasal dari rakyat dan melalui prosedur sesuai UU Otsus. Ketidakkonsistenan Jakarta terhadap Papua membuat rakyat Papua selalu curiga terhadap Jakarta.

Karena itu menurut Thamril dan Kastorius, separatisme baik di Papua maupun di Maluku selalu dipakai sebagai jendela politik untuk mengoreksi pendekatan yang dilakukan Jakarta terhadap daerah.

Solusinya

Cara mengatasinya, menurut Thamrin, sederhana yaitu dengan menciptakan keadilan dalam berbagai bidang. Dia mencontohkan, kekayaan alam dari daerah seperti Aceh dan Papua harus lebih besar digunakan untuk kemakmuran daerah itu daripada untuk Pusat dan untuk dikorupsi para elite.

Untunglah pembagian kekayaan alam di Aceh dan Papua sudah diatur dalam UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No 31/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Tetapi yang terakhir ini pelaksanaannya belum optimal dan Jakarta memperlihatkan ketidakseriusannya menjalankan UU tersebut.

Cara lain untuk mencegah gerakan separatisme adalah rekrtumen pegawai dan distribusi posisi jabatan pada tingkat pemerintahan local harus dilakukan secara adil dan proporsional dengan mengakomodasi semua unsur dan kelompok masyarakat baik suku maupun agama.

Komposisi kepegawaian dan jabatan di pemerintahan local jangan sampai dikuasi oleh kelompok masyarakat, suku, atau agama tertentu. Sedapat mungkin itu didistribusi secara merata. Begitu komposisinya tidak adil maka kecemburuan akan tercipta dengan sendirinya.

Begitu juga dalam hal memperoleh pendidikan. "Kesempatan dalam pendidikan misalnya, apakah orang Dayak mempunyai kesempatan lebih kecil untuk menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi," tanyanya serius.

Bagi Thamrin, kekuatan kelompok separatis selalu berbanding terbalik dengan ketidakadilan. Semakin mereka diperlakukan tidak adil maka semakin kuat kelompok separatis itu. Sebaliknya, semakin mereka merasakan keadilan maka kekuatan kelompoknya melemah. Karena itu tidak ada cara lain mengatasi separatisme di Indonesia selain dengan menciptakan keadilan, bukan dengan operasi militer.

Sementara Kastorius Sinaga melihat, ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah mengatasi separatisme. Pertama, di tingkat nasional harus gerakan tingkat elite untuk menunjukkan bahwa seluruh identitas daerah khususnya daerah "hot spot" terwakili dalam konstelasi politik nasional seperti di kabinet dan pusat-pusat pengambil kebijakan.

Mereka harus terwakili secara simbolik dan substantif. Kedua, pemerintah pusat harus sungguh dan tulus memperhatikan daerah ini lebih pada pendekatan ekonominya. Sebab daerah-daerah konflik di Indonesia seperti Aceh dan Papua rata-rata kaya.

"Jangan sampai daerah-daerah itu hanya sebagai sapi perahan untuk kepentingan nasional sementara mereka sendiri tidak mendapat apa-apa," ujarnya. Ketiga, harus meredefinisi bagaimana kebangsaan Indonesia diletakan pada regionaliasi politik. Artinya nasionalisme harus ditafsir ulang agar sejalan dengan globalisasi dan regionalisasi politik, seperti otonomi daerah.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan paradigma TNI dalam menangani separatisme. Sudah bukan zamannya lagi TNI menggunakan pendekatan militer dalam memerangi separatisme. Sebab semakin kelompok separatis itu digempur dengan senjata, mereka bukannya melemah tetapi justru semakin kuat. Karena itu konsep nasionalisme tidak bisa hanya dibangun secara militeristik, tetapi lebih pada keutuhan idiologi negara secara keseluruhan.

Jadi, Jakarta tidak boleh lagi memaksakan kehendak terhadap daerah-daerah "hot spot", apalagi dengan menggunakan kekuatan militer. Sudah ada preseden bahwa Timor Timur yang sekarang menjadi negara merdeka Timor Leste tidak pernah takluk pada operasi militer TNI. Aceh juga demikian. Seharusnya kegagalan-kegagalan itu menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mengubah pola pendekatan dalam menangani gerakan separatisme.

Satu-satunya cara yaitu dengan menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah itu, juga daerah lain. Sekali masalah pokok itu tetap diabaikan, maka pemerintah tidak akan pernah berhasil mengatasi separatisme. *


Last modified: 12/8/07
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/aboroe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044