SUARA PEMBARUAN DAILY, 13 Juli 2007
Waspadai Separatisme di Masyarakat
[JAKARTA] Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) Letjen M
Yasin mengatakan, masyarakat Indonesia harus mewaspadai munculnya gerakan
separatisme di lingkungan sekitarnya.
Menurut Yasin, isu-isu strategis yang membahayakan ketahanan nasional, seperti
separatisme, gerakan ekstrem, fanatisme, terorisme, dan federalisme, harus
diberantas.
"Ini menjadi sesuatu yang harus diperhatikan bersama. Separatisme, federalisme,
dan lainnya ini muncul di mana-mana. Harus kita waspadai jangan sampai terseret,"
kata Yasin di Jakarta, Kamis (12/7), seperti dikutip Antara.
Ia mengatakan, sebagian masyarakat Indonesia masih kurang waspada terhadap
gerakan separatisme. Terbukti dari masih adanya gerakan separatisme yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat.
Kasus pengibaran bendera RMS saat peringatan Hari Keluarga Nasional pada 29 Juni
di Ambon, merupakan contoh nyata masih adanyagerakan separatisme di Indonesia.
Ia mengatakan, masyarakat Indonesia harus memegang teguh Pancasila sebagai
dasar negara, UUD 1945, serta semangat persatuan dan kesatuan untuk menangkal
separatisme. "Kalau masyarakat kita berpegang sepenuhnya pada Pancasila, UUD
1945, Bhinneka Tunggal Ika, maka tidak ada ruang untuk mereka (separatisme),"
kata Yasin.
Sebelumnya, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasioonal (Lemhannas) Muladi
mengatakan, gerakan-gerakan separatisme seperti yang terjadi di Aceh, Papua,
maupun Ambon harus ditumpas secara tegas karena sangat berbahaya bagi
keutuhan NKRI. Separatisme dapat ditumpas secara yuridis melalui penegakan
hukum dan pendekatan budaya.
Lebih lanjut Yasin mengingatkan, sebagai negara kepulauan, Indonesia rawan
ancaman perpecahan. Pluralitas dan heterogenitas di Indonesia dapat menyebabkan
perpecahan. Selain itu, Indonesia sebagai negara kepulauan juga memiliki kelemahan
dalam pengamanan, sehingga dituntut memiliki kekuatan patroli dan pengawasan
yang cukup besar.
Disesalkan
Sementara itu, sikap pemerintah yang tidak menganggap serius kajian Lemhannas
mengenai masih adanya keinginan GAM untuk melepaskan Aceh dari NKRI melalui
gerakan politik, sangat disesalkan.
"Lemhannas kan, orang-orang pintar isinya. Jangan disepelekan kajian-kajian itu.
Semestinya dipakai sebagai masukan dalam membuat contingency plan," kata
Sidharto Danusubroto, Wakil Ketua Komisi I DPR dari FPDI-P.
Ia mengingatkan, jangan sampai situasi menjadi tidak terkontrol, lantaran terlambat
mengatasi persoalan.
"Jika dibiarkan, kita akan mendapat pendadakan, yaitu sesuatu yang tiba-tiba hadir di
hadapan kita, tanpa ada persiapan untuk menghadapinya," katanya.
Sejak MoU Helsinki ditandatangani, pemerintah membiarkan penggunaan lambang
dan atribut GAM di Aceh. Hal itu menciptakan kesan GAM bukan sebagai mantan
pelaku pemberontakan, melainkan pahlawan.
"Pemerintah telah menerapkan standar ganda dalam menyikapi GAM di Aceh,
dibanding bagaimana penyikapan pemerintah terhadap OPM di Papua, atau RMS di
Maluku," ujar Sidharto.
Menurutnya, menyelesaikan masalah dalam koridor nasionalisme (NKRI), tidak terkait
dengan rezim Orde Baru apalagi untuk kembali pada model pemerintahan tersebut.
"Bukan kita mau Indonesia kembali ke masa lalu, jika bicara nasionalisme, NKRI.
Kita sudah tidak bisa lagi kem-bali ke masa lalu," tegasnya. [B-14]
Last modified: 13/7/07
|