The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SUARA PEMBARUAN DAILY


SUARA PEMBARUAN DAILY, 15 Juli 2007

Inkonsistensi Pemerintah Memerangi Separatisme

Tjipta Lesmana

Salah satu karakteristik pemerintah Yudhoyono adalah inkonsistensi menangani berbagai masalah bangsa dan negara. Dalam memerangi korupsi, misalnya, prinsip "tebang pilih" tetap dijalankan kendali pemerintah mati-matian membantahnya. Terhadap kasus lumpur panas di Sidoarjo, inkonsistensi lebih telanjang lagi. Inkonsistensi juga tampak menghadapi masalah separatisme. Simaklah tiga kasus berikut.

Aparat keamanan kalang-kabut dan panik setelah rombongan liar anak muda bertelanjang dada pada 2 Juli pagi berhasil menyelusup dan menggelar tarian Cakalele ketika Gubernur Maluku sedang berpidato dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional di Ambon. Presiden Yudhoyono yang hadir pun tersentak. Ia minta supaya aksi liar yang sempat memperlihatkan bendera RMS itu diusut dan pelakunya ditindak. "Kita tidak boleh mentolerir aksi separatisme," tandas SBY.

Setelah itu terjadilah men-hunt besar-besaran oleh aparat keamanan dalam upaya menangkap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab. Seluruh "drama politik" ini mendapat pemberitaan luas dari media massa nasional. Sejumlah politisi tiba-tiba tampil sebagai pahlawan kesiangan mengutuk insiden di Ambon seraya mendesak pemerintah supaya tidak berkompromi dengan gerakan separatisme.

Sehari kemudian, Selasa 3 Juli, di Jayapura, ibukota Papua, bendera Bintang Kejora tiba-tiba dipertontonkan secara mencolok oleh beberapa penari yang berlaga dalam rangka upacara pembukaan Konperensi Masyarakat Adat Papua (MAP) ke-2. Hadir di sana, antara lain, Gubernur Barnabas Suaebu, Panglima Kodam Cendrawasih, Kapolda, dan para anggota MAP. Aneh, aksi gelar Bintang Kejora itu dibiarkan berlangsung sekitar 5 menit, sebelum diusir petugas keamanan. Media massa pun tidak meliputnya secara besar-besaran. Dan tidak ada politisi di Jakarta yang mengutuk aksi ini.

Apa perbedaan antara pengibaran bendera RMS dengan bendera Bintang Kejora? Ada yang berpendapat bahwa bendera RMS itu simbol politik, simbol kemerdekaan rakyat Maluku; sedang bendera Bintang Kejora tidak lebih lambang kultural rakyat Papua. Jadi, pengibaran Bintang Kejora tidak boleh dipersepsikan sebagai aksi tuntutan kemerdekaan orang Papua. Wacana seperti ini pernah juga dimunculkan dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ketika itu, bendera GAM dipandang oleh kelompok tertentu sebagai simbol kebudayaan orang Aceh. Maka, pemerintah pusat maupun daerah Aceh diminta tidak usah bereaksi berlebihan. Bahkan ketika para tokoh GAM menggunakan atribut-atribut GAM dalam kampanye pilkada tahun lalu pun, Jakarta diam saja.

Gerakan kemerdekaan di Papua tahun-tahun belakangan ini menunjukkan indikasi meningkat. Di front militer, kekuatan Organisasi Papua Merdeka (OPM) memang semakin tidak signifikan karena disikat oleh TNI. Namun, di front diplomasi, mereka memperoleh kemajuan yang "menggembirakan". OPM misalnya membuka kantor perwakilan di sejumlah negara di kawasan Pasifik Barat seperti Fiji dan Vanuatu. Negara-negara ini sering berkampanye di PBB. Beberapa anasir Kongres Amerika pun kerap menggugat keabsahan Pepera 1963 di Irian Jaya. Di Belanda, gerakan mendorong kemerdekaan Papua lebih kencang lagi. Satu atau dua judul buku yang menguak kembali sejarah Pepera sudah diterbitkan. Pada 2005 sejumlah tokoh RMS dan POM bertemu di Amsterdam.

Rencana kunjungan anggota Kongres AS, Eni Faleomavega, ke Papua awal Juli yang lalu juga menimbulkan tanda-tanya, apalagi dijadwalkan pas dengan penyelenggaraan Konperensi MAP. Di masa lalu, Faleomavega termasuk anggota Kongres yang gigih memperjuangan referendum bagi rakyat Papua. Kini, ia mengaku sudah "bertobat" dalam arti mengakui bahwa kemerdekaan bukanlah jalan satu-satunya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Pada saat-saat terakhir, pemerintah melarang Faleomavega berkunjung ke Papua.

Berkaca dari aksi-aksi kemerdekaan yang riil ini, mestinya para pemimpin kita menyadari betul bahwa aspirasi kemerdekaan pada sebagian elemen di Papua masih kuat. Dan Bintang Kejora merupakan lambang kemerdekaan. Omong kosong pendapat yang mengatakan bendera itu cuma simbol kultural yang tidak terkait dengan urusan politik.

Presiden Yudhoyono seharusnya memerintahkan aparat keamanan untuk menyelidiki dan menindak tegas siapa saja yang terbukti terlibat dalam aksi pengibaran Bintang Kejora pada 3 Juli yang lalu. Ingat, Gubernur adalah wakil pribadi dari Kepala Negara. Menghina Gubernur sama maknanya dengan menghina Kepala Negara.

Pemerintah juga harus melarang berdirinya Partai GAM di Aceh. MOU Helsinki memang tidak secara eksplisit melarang penggunaan atribut-atribut GAM, termasuk nama, bendera, atau simbol-simbol GAM lainnya. Namun, simaklah baik-baik semangat MoU Helsinki. Di situ dengan jelas disebutkan "Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia." Paragraf ke-4 Mukadimah MoU Helsinki selanjutnya mengatakan "Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya."

Aspirasi untuk Merdeka

Ya, confidence building, itu yang harus terus-menerus dilakukan oleh kedua pihak - pemerintah Indonesia dan GAM - sebagai modal utama untuk membangun kembali Aceh. Tapi, bagaimana confidence building bisa terlaksana jika GAM tetap mengibarkan bendera GAM tinggi-tinggi melalui Partai GAM? Pendapat bahwa kita tidak usah risau atau bereaksi berlebihan dengan kehadiran Partai GAM, menurut hemat saya, adalah sangat keliru, bahkan menyesatkan. Mestinya, mereka mempertanyakan untuk apa orang-orang GAM masih tetap menggunakan atribut GAM pasca MoU Helsinki dan pasca Undang-Undang Pemerintahan Aceh? Bukankah nama GAM sendiri secara eksplist mengindikasikan aspirasi GAM untuk merdeka dan membawa Aceh keluar dari NKRI? GAM adalah singkatan Gerakan Aceh Merdeka. Sesuai namanya, Merdeka adalah tujuan akhir GAM. Setelah kedua belah pihak menandatangani MoU di Helsinki, orang-orang GAM mestinya melupakan aspirasi itu untuk selama-lamanya. Apalagi dalam Pilkada Gubernur tahun lalu, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sekaligus "disabet" oleh eksponen-eksponen GAM, dan pemerintah Pusat mengakui keabsahan hasil pilkada itu.

Bukan rahasia lagi, para aktivis GAM sejauh ini masih terus melakukan aksi-aksi mereka secara underground. Banyak laporan tentang penduduk yang diperas, dipalak atau diteror oleh kelompok-kelompok tertentu. Pengusaha-pengusaha pun dibebani pajak-pajak gelap yang dikutip oleh orang-orang misterius. Polisi tahu, tapi tidak punya keberanian untuk memberantasnya. Bahkan Gubernur Irwandi Jusuf sudah memerintahkan penghapusan pajak-pajak gelap itu. Namun, indikasi paling kuat dari sisa-sisa aspirasi kemerdekaan oleh GAM adalah tidak dilantunkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam upacara pelantikan Walikota Sabang sebagaimana dikatakan oleh Prof Muladi, Gubernur Lemhannas. Jika apa yang dilansir oleh Muladi memang benar, tindakan ini sungguh suatu penghinaan pemerintah daerah NAD terhadap pemerintah Republik Indonesia.

Gerakan separatisme di Negara kita jangan sekali-sekali diremehkan. Mereka tetap eksis, bahkan terus melakukan aksi-aksi klandestinnya. Perhatikan rentetan kejadian ini: tanggal 2 Juli insiden bendera RMS di Ambon, 3 Juli insiden bendera Bintang Kejora dan Jayapura, dan 2 hari kemudian, 5 Juli, deklarasi Partai GAM di Aceh. Apakah ini suatu koinsidensi semata? Rasanya, tidak. Bisa jadi antara eksponen-eksponen RMS, OPM dan GAM selama ini aktif melakukan kontak-kontak dan mensinkronkan aktivitas-aktivitas mereka dalam upaya menggoyang pemerintah Pusat.

Sama halnya dengan terorisme, gerakan separatisme tidak boleh diberikan angin.

Penulis adalah Anggota Kelompok Kerja Kewaspadaan Nasional Lemhannas


Last modified: 15/7/07
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/aboroe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044