TEMPO, Edisi. 20/XXXIIIIII/09 - 15 Juli 2007
Setelah Tari itu Dimainkan...
Insiden itu terjadi juga meski ribuan tentara dan polisi dikerahkan untuk menjaga
Presiden Yudhoyono: 28 penari cakalele liar mendekati Presiden dan hampir saja
membentangkan bendera Republik Maluku Selatan. Aparat keamanan saling tuding.
Di Los Angeles, Amerika Serikat, Presiden RMS Alexander H. Manuputty mengklaim
aksi anggotanya itu telah lama direncanakan. Katanya, "Itu hak politik rakyat
Maluku."
DARI Los Angeles, Amerika Serikat, sesumbar itu dikumandangkan. "Sudah saatnya
Indonesia mengembalikan negara kami," kata Alexander H. Manuputty, Presiden
Republik Maluku Selatan. Empat tahun sudah ia bermukim di Amerika, setelah
melarikan diri karena dituding aparat mengibarkan bendera disintegrasi.
Alex, kini 60 tahun, meminta pemerintah Indonesia membebaskan mereka yang
ditahan akibat insiden cakalele. Ia pun meminta mereka yang luka diobati. Yang lain,
"Tidak perlu mereka dikejar-kejar."
Katanya, tarian cakalele telah lama disiapkan RMS—organisasi yang diklaim Alex
beranggota 1,5 juta orang. Tujuannya, "Mengumumkan kepada dunia internasional
tentang keadaan Maluku yang sebenarnya." Alex pun mengajak pemerintah Indonesia
berunding.
Insiden cakalele yang disebut Alex adalah penari liar yang berhasil mendekati
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat dua pekan lalu. Ketika itu Presiden
hadir di Ambon untuk menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional.
Hujan mengguyur Ambon ketika 28 penari cakalele itu datang membawa parang dan
tombak kayu. "Mau apa?" kata Kepala Satuan Brigadir Mobil Kepolisian Daerah
Maluku, Komisaris Besar Rahmat Hudail, yang sedang berpatroli, kepada salah
seorang dari mereka. "Mau menari, Pak," kata mereka. Polisi itu berlalu.
Presiden tiba pukul 09.30 waktu setempat. Ambon dijaga sangat ketat sejak pagi.
Lebih dari 2.500 polisi dan tentara diturunkan, 355 orang di antaranya berjaga di
sekitar Kepala Negara. Mereka yang keluar-masuk mesti menunjukkan identitas
khusus, yang ditandatangani pejabat provinsi dan Komando Daerah Militer Maluku.
Rombongan "pria penari" itu terus bergerak. Karena dianggap mengganggu lalu lintas,
mereka hendak dibubarkan seorang tamtama polisi. Mereka lalu dibawa ke area
parkir Lapangan Merdeka. Tapi mereka terus mencari peluang masuk ke lapangan.
Lalu kesempatan itu datang: para penari katreji, tarian penyambut Presiden, selesai
beraksi. Mereka hilir-mudik di pintu lapangan. Penari tak diundang itu memanfaatkan
kesempatan tersebut. "Mereka mengikuti penari katreji melalui pintu di dekat kantor
gubernur," kata Kepala Polda Maluku, Brigadir Jenderal Guntur Gatot Setiawan.
Maka, terjadilah insiden itu. Dua puluh delapan pria melepas baju di kantor Sinode
untuk menarikan cakalele di depan Presiden. Mereka melompat-lompat dan
mengacungkan senjata kayu. Baru 10 menit kemudian, Presiden, para menteri,
undangan, dan aparat keamanan menyadari ada yang tak beres. Tarian itu ternyata
tak masuk daftar acara. Apalagi para penari mencoba membentangkan bendera
Republik Maluku Selatan (RMS)—kain biru, putih, hijau, merah yang kerap disebut
Benang Raja.
Guntur Gatot dan anak buahnya plus Pasukan Pengamanan Presiden menggiring
mereka ke luar lapangan. Detasemen Khusus 88 Antiteror kemudian menangkap para
penari itu di luar lapangan. Polisi menyita bendera RMS dan selebaran berisi tuntutan
penarikan TNI dan Polri dari Maluku.
l l l
TARIAN cakalele di Ambon itu membuat pejabat keamanan di Jakarta saling tuding.
Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menurunkan tim
investigasi ke Ambon, Senin pekan lalu. Mereka terdiri dari sekretaris kementerian
Letnan Jenderal Agustadi Sasongko; Asisten Operasional Kepala Staf Umum TNI
Mayor Jenderal Bambang Darmono, dan Deputi Kementerian Bidang Pertahanan
Negara Brigjen R. Simbolon.
Tim investigasi, menurut Agustadi, menyimpulkan adanya koordinasi yang buruk
antara bagian acara dan bagian pengamanan. Pasalnya, "Tarian cakalele tidak ada
dalam daftar acara tapi bisa masuk," kata mantan Panglima Kodam Jaya itu. Menurut
dia, aparat terkecoh karena pemimpin penari itu mengenakan tanda pengenal resmi
dari panitia.
Namun kurangnya koordinasi itu agak aneh. Kunjungan Presiden ke suatu
daerah—apalagi di wilayah yang dianggap rawan seperti Ambon—pasti disiapkan
jauh-jauh hari. Sebelum Presiden tiba, paling tidak ada dua tim pendahulu yang
dikirim untuk menyiapkan berbagai hal, terutama masalah pengamanan.
Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara, menuturkan
tim pendahulu pertama biasanya terdiri atas sekretaris militer, kepala protokoler
istana, dan komandan pasukan pengamanan presiden. "Sekretaris militer menjadi
koordinatornya," katanya.
Tim pendahulu itu membawa skenario yang telah disusun di Jakarta. Skenario itu lalu
diperbaiki berdasarkan hasil peninjauan pertama. Tim pendahulu kedua tiba beberapa
hari sebelum kedatangan Presiden. Selain tim pendahulu itu, menurut Hendropriyono,
petugas dari Badan Intelijen Negara juga dikirim secara terpisah.
Seorang perwira yang pernah berpengalaman mengamankan presiden menuturkan,
menjelang kedatangan kepala negara, panitia menggelar gladi kotor dan gladi bersih.
Dua gladi itu melibatkan semua pengisi acara dan petugas keamanan.
Di situlah mereka mengetahui detail acara demi acara, rute yang akan dilalui
presiden, tempat para pengisi acara berganti pakaian, juga petugas di setiap pos
penjagaan. "Pada hari H, para petugas itu harus berada di tempat sesuai dengan saat
gladi bersih," katanya. "Tidak boleh ada yang berpindah."
Pada hari H, penjagaan lebih diketatkan. Semua barang yang hendak dibawa masuk
lokasi acara harus diperiksa. Untuk mencegah kemungkinan buruk, anggota
Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad) atau polisi wanita (polwan) bahkan ditugasi
menjaga tempat perempuan berganti pakaian.
Sebagian dari tentara menanggalkan baju seragamnya. Mereka bersalin rupa menjadi
warga biasa. Ada yang disiapkan untuk ikut mengelu-elukan presiden.
"Kadang-kadang, petugas ikut merekayasa agar lalu lintas menuju lokasi acara
presiden menjadi macet. Tujuannya agar gerak rombongan demonstran terhambat
sehingga tidak bisa mendekati presiden," katanya.
Persiapan semacam itu bukannya tak dilakukan saat Presiden Yudhoyono
berkunjung ke Ambon. Menurut Panglima Kodam XVI/Pattimura, Mayor Jenderal
Sudaimady Subandi, persiapan sudah dilakukan sejak awal Mei lalu. Bersama Kepala
Polda, ia pun berkoordinasi dengan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di
Jakarta, sepekan sebelum kunjungan Presiden (lihat Parang Kayu dari Pintu yang
Lain).
Dalam rapat itu, menurut Janzi Sofyan, staf khusus Kepala Badan Intelijen Negara,
lembaganya memberi sinyal adanya tiga hal yang harus diwaspadai selama
kunjungan Yudhoyono. "Yaitu aksi pengibaran bendera RMS, demonstrasi pengungsi
korban konflik, dan aksi aktivis lingkungan hidup," katanya.
Presiden pun mengakui adanya peringatan dari para pembantunya beberapa hari
sebelum berkunjung ke Ambon. "Atas informasi itu, saya meminta acara ini
dipersiapkan baik-baik agar jangan ada yang mengganggu," katanya, beberapa saat
setelah para penari cakalele digiring ke luar lapangan.
Dengan persiapan yang gegap-gempita itu, kemungkinan buruknya koordinasi
sebenarnya bisa dikecilkan. Usman Hamid, Koordinator Komite untuk Orang Hilang
dan Tindak Kekerasan (Kontras), mengungkapkan kemungkinan lain: potensi
kekacauan itu sudah diketahui sebelumnya tapi dibiarkan dengan maksud tertentu.
Ada kabar, seorang perwira dari korps polisi militer sengaja membiarkan para penari
masuk. Tapi informasi itu dibantah Letjen Agustadi. "Jangan berburuk sangka,"
katanya.
l l l
MASA jaya RMS terjadi pada pertengahan 1970-an. Di Belanda, mereka melakukan
beberapa aksi. Di antaranya pada 4 Desember, ketika sejumlah anggota kelompok itu
menyerbu kedutaan Indonesia di Den Haag. Seorang pegawai konsulat tewas dalam
insiden itu (lihat Naik-Turun Benang Raja).
Sejak penyerangan itu, pemerintah Belanda mengizinkan kantor diplomatik Indonesia
dijaga prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Padahal, lazimnya aparat
lokallah yang bertanggung jawab atas keamanan misi diplomatik negara asing. "Dulu
anggota Kopassus di sini sampai 15 orang, tapi kini tinggal empat," kata Mulya
Wirana, konsuler masalah politik kedutaan RI di Belanda.
Kini aktivitas RMS di Belanda tak lagi terdengar meski di sana bermukim sekitar 45
ribu orang Maluku. Baru setelah aksi penari cakalele, mereka muncul lagi. Pada Rabu
pekan lalu, sebagian dari mereka mendatangi kedutaan RI di Tobias Asserlaan,
wilayah perkantoran diplomatik di Den Haag.
Para aktivis RMS itu membentangkan poster di luar pagar kantor kedutaan yang
rimbun. Di antaranya bertulisan tuduhan bahwa pemerintah Indonesia telah
melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Spanduk lain berbunyi: "Kemerdekaan
adalah hak asasi manusia yang paling fundamental".
Di luar itu, simpatisan RMS di Belanda tak banyak lagi: jumlahnya bisa dihitung
dengan jari, beberapa di antaranya bahkan sudah lanjut usia. Budi Setyarso, Faisal
Asegaaf, Mochtar Touwe (Ambon), Kusmayani Rini (Brussel)
copyright TEMPO 2003
|