Tribun Batam, Senin 23 Juli 2007
Polri Dituding Main Proyek Teroris
Jakarta, Tribun -S ikap Mabes Polri yang dalam waktu singkat mengklarifikasi atas
tertangkapnya pimpinan Jemaah Islamiah Abu Dujana, membuat kecurigaan kalangan
DPR. Mabes Polri dianggap, sedang main proyek dari pihak ketiga atas penangkapan
ini.
Sehari sebelumnya, Selasa (12/6) Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sisno
Adiwinoto membantah bila Yusron alias Mahfud adalah Abu Dujana. Namun Rabu
(13/6) kemarin, Sisno membenarkan bahwa Yusron tak lain adalah Abu Dujana yang
disebut-sebut jabatannya lebih tinggi dari Noordin Moh Top yang hingga kini masih
buron.
Abu Dujana punya banyak nama samaran. Nama aslinya adalah Aenul Bahri. Sejak
dinyatakan menghilang oleh keluarganya, dalam pencarian oleh pihak kepolisian, Abu
Dujana memiliki nama samaran. Antara lain Sobirin alis Sorem serta Dedi. Abu
Dujana menurut bersi Polri adalah kepala sayap militer Jamaah Islamiyah. Dia terlibat
dalam kepemilikan amunisi dan bahan peledak di Sleman, Sukoharjo, Poso dan
penyembunyian pelaku bom Hotel JW Marriott.
Kepastian Polri bahwa Yusron adalah Abu Dujana berdasarkan pemeriksaan DNA,
sidik jari, konfrontir, dan metode crime science processing. Kenapa baru sekarang
membenarkan bahwa yang dimaksud adalah Abu Dujana, Sisno menyatakan sebagai
strategi untuk menangkap para tersangka teroris lainnya.
"Sikap Polri ini jelas hanya akan menggiring penilaian miring terhadap upaya-upaya
penangkapan orang- orang yang dianggap sebagai teroris. Jangan-jangan, ada orang
yang pakai janggut, lalu ada tanda hitam dijidat, sehari-hari selalu dimesjid kemudian
menjadi persyaratan-persyaratan utama untuk mengindikasikan seseorang itu
teroris," ujar salah seorang anggota Komisi I DPR, Ali Mochtar Ngabalin.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan terkait penangkapan terhadap para teroris
ini adalah bagian dari permainan proyek dari pihak tertentu atau pihak ketiga.
"Banyak ahli, kan memberikan penilaian seperti itu. Jadi, kalau masyarakat atau para
ahli memberikan penilaian itu, maka Polri harus cepat memberikan klarifikasi. Polri
harus bisa menjelaskan detail, berapa lama tersangka teroris dipantau, jaringannya
seperti apa dan harus ada bukti-bukti lain. Agar, yang menjadi tersangka tidak
kemudian menjadi teraniaya karena fitnah dan kontra intelejen," tandas Ngabalin.
Anggota Komisi I DPR dari FPIP, Permadi menganggap, sikap Polri saat ini sudah
jelas melakukan tindakan yang tidak profesional. "Kalau sudah tau yang nangkep,
kemudian nggak tahu siapa yang sebetulnya ditangkap, wah cilaka itu. Seharusnya,
dalam operasi teroris yang dilakukan, lebih baik diam saja dulu, silent operation
nggak usah ngomong di koran. Kalau begini kan, polisi yang akhirnya dinilai
macam-macam," tegas Permadi.
"Kalau begini, sama saja Polri tidak profesional namanya. Tidak tertutup ada
permainan dalam hal ini. Tapi, saya tidak mau mengatakan, ini permainan yang
dilakukan oleh Australia. Meski Australia berkepentingan dalam penangkapan para
tersangka teroris,"tegas Permadi.
Permadi kemudian mengingatkan, sebetulnya Noordin M Top pernah tertangkap polisi
tidak lama setelah pengeboman Kedubes Australia secara kebetulan. Namun,
Noordin kemudian dilepas setelah menyogok polisi dengan uang Rp 50.000.
"Jadi, kalau polisi tidak tahu siapa yang ditangkap, ya jelas cilaka namanya.
Penangkapan ini, mungkin prestasi, tapi kalau tidak tahu siapa yang ditangkap,
bukan prestasi namanya," cetus Permadi lagi. (JBP/yat)
|