|
|
Kisah di Balik Peristiwa Penyerangan Sirisori Amalatu Pada tanggal 8 Oktober 2000, negeri Sirisori Amalatu kembali diserang dari arah Sirisori Salam. Melalui Maluku Report yang dirilis Masariku Network, telah terbaca hal-hal yang terjadi berkaitan dengan penyerangan tersebut. Penyerangan itu hanya meninggalkan sekitar 15 rumah warga Sirisori Amalatu yang sebagiannya mengalami kerusakan, sedang isi dalam rumah-rumah yang tersisa itu telah ludes dijarah. Bukan cuma itu, tempayan besar di Baileo (rumah - pusat -- adat) Sirisori Amalatu-pun hilang entah kemana. Tempayan yang menurut informasi biasa diisi air yang digunakan dalam acara-acara adat di Baileo itu tentu memiliki arti penting secara adat bagi warga desa Siri-sori Amalatu. Informasi yang bisa dipercaya dari petinggi desa menyatakan bahwa sebetulnya sudah lama, sejumlah orang asal Sirisori Salam menginginkan tempayan itu karena mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Mereka menganggap, seiring dengan perubahan jaman, signifikansi nilai adat tempayan itu perlahan-lahan melemah sehingga barangkali warga desa Sirisori Amalatu perlahan-lahan lebih mempertimbangkan nilai ekonomis tempayan itu ketimbang nilai adatnya. Yang terjadi kini adalah tempayan itu hilang tanpa jejak. Pasti dibawa penyerang, entah Laskar Jihad, entah warga Sirisori Salam. Tindakan Amoral Militer Sesudah penyerangan itu para penyerang memastikan bahwa segenap warga Sirisori Amalatu telah mundur ke arah hutan. Mereka masuk menempati wilayah Sirisori Amalatu dan membuat Pos di gedung Sekolah yang tidak terbakar. Aparat keamanan dari kesatuan Kostrad 403 (asal Kodam Diponegoro, Jawa Tengah) memang tetap berada di desa itu tapi sama seperti peristiwa yang terjadi setelah penyerangan desa Waai yang terakhir, aparat keamanan tidak sedikitpun berusaha agar desa yang telah porak-poranda itu ditinggalkan penyerang. Padahal, jika tugas mereka menghentikan pertikaian, seharusnya para komandan militer itu tahu bahwa aksi pendudukan wilayah yang diperoleh dengan cara kekerasan/penyerangan, akan selalu - cepat atau lambat -- berujung pada penyerangan balasan warga yang terusir untuk mendapatkan kembali wilayah miliknya yang hilang. Militer dari Kostrad 403 yang bertugas di Sirsori Salam dan Sirisori Amalatu ini agaknya berkekuatan satu Satuan Setingkat Peleton. Peleton itu dipecah dua. Lebih dari setengah jumlah Peleton ditempatkan di Sirisori Salam sedang sisanya berkedudukan di Sirisori Amalatu. Dari data yang ada, dalam regu yang bertugas di Sirisori Aamalatu itu terdapat seorang berpangkat Letnan Satu. Pangkat ini merupakan pangkat tertinggi di sebuah Peleton. Diduga kuat bahwa sang Letnan Satu ini (namanya telah disebut dalam Maluku Report tentang penyerangan Sirisori Amalatu yang dirilis oleh Masariku Network) adalah Komandan Peleton. Jika dia berada di Sirisori Amalatu maka sebetulnya Komandan Peleton yang bertugas di kedua Sirisori itu berada di wilayah yang diserang dan jelas sekali bahwa komando pengamanan oleh Peleton itu datang dari sana. Ketika Sirisori Amalatu berhasil diluluh-lantakan - dan ini diketahui dengan jelas oleh Komandan Peleton yang mengamankan wilayah itu - tidak ada kesimpulan lain yang bisa menggambarkan apa yang terjadi selain bahwa militer dari kesatuan 403 melakukan tindakan pembiaran terhadap serangan itu. Informasi yang kami peroleh dari Sirisori Amalatu tentang penyerangan itu menggambarkan bahwa aparat keamanan dari Kostrad 403 itu meminta masyarakat meninggalkan wilayah mereka yang diserang dan mempercayakan pengamanannya kepada Peleton tersebut yang akan menghadapi para penyerang. Bukankah ini aneh. Sebab jika para penyerang berhasil membuka serangan maka pasti peleton Kostrad 403 yang bertugas memgamankan desa Sirisori Salam (basis para penyerang) telah gagal melakukan tugasnya. Lalu, kemana mereka ? Tewas ? Lari ke arah lain ? Tetap bertahan dan mundur ke arah desa yang diserang ? Atau membiarkan penyerangan itu terjadi ? Jelas bahwa tidak ada korban jiwa militer dalam penyerangan di hari Minggu itu. Mereka juga tidak menyelamatkan diri ke arah lain. Sebab itu pikiran di balik dua pertanyaan terakhir tadi adalah hal yang mungkin terjadi. Tetapi kemudian setelah penyerang berhasil menjangkau gedung gereja Sirisori Amalatu, beberapa orang warga Sirisori Amalatu yang mundur sambil bersembunyi melihat dengan jelas bahwa masa penyerang bersalaman dengan anggota-anggota militer yang berada di situ. Ini menunjukan bahwa yang lebih mungkin terjadi adalah tindakan pembiaran pihak militer terhadap penyerangan itu. Tindakan ini pertama-tama menggambarkan adanya demoralisasi dalam tubuh peleton tersebut. Pembiaran atas suatu penyerangan terhadap daerah yang dilindungi adalah tindakan pengingkaran terhadap tugas-tugas dan sumpah para prajurit yang bekerja mengacu pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit itu. Ini jelas situasi demoralisasi. Karena itu, hal kedua ialah, bahwa peleton 403 yang bertugas itu seharusnya tidak lagi memenuhi harapan yang dilimpahkan rakyat kepada militer untuk melakukan tugas pengamanan wilayah dan penghentian kekerasan. Mereka sudah harus segera ditarik dari wilayah itu. Kemudian, setelah serangan balasan warga Sirisori Salam terjadi, mereka yang menduduki negeri Sirisori Amalatu sebelumnya berhasil diusir dan mengundurkan diri dari wilayah yang mereka duduki. 3 orang anggota militer diberitakan tewas dalam insiden serangan balik itu. Mulanya saya berpikir bahwa tewasnya ketiga anggota Yon 403 itu karena aparat keamanan menghadapi aksi penyerangan secara benar. Saya juga berpikir bahwa mereka berusaha menahan gerakan penyerangan, dan usaha mereka itu mengakibatkan tiga rekan mereka tertembak. Seterusnya saya berpikir bahwa gambaran ini menunjukan adanya perbedaan sikap dan cara yang ditempuh pihak keamanan dari Peleton Kostrad 403. Mereka bisa membiarkan penyerangan umat Islam ke desa Kristen tetapi pada saat lain mereka melawan serangan balik warga desa Kristen Sirisori Amalatu untuk merebut kembali desanya yang sempat diduduki para pengacau. Memang dalam catatan kami (Crisis Center PGI), ini adalah salah satu cara dari pola baku pengamanan militer. Ini bukan saja petunjuk tentang sikap berpihak militer karena terbawa emosi keagamaan seperti yang pernah dikemukakan oleh Kapuspen TNI Laksamana Graito, tetapi ini merupakan persekongkolan militer dengan pihak pengacau beragama Islam yang diprakarsai oleh Gerombolan "Laskar Jihad" Pengacau Keamanan Maluku/Maluku Utara. Persekongkolan ini bersifat conspiracy atau persekongkolan jahat. Sekali lagi ini menunjukan hebatnya demoralisasi di tubuh militer yang bertugas di Maluku khususnya dalam kasus penyerangan negeri Sirisori Amalatu. Sangat kuat alasan bahwa kesatuan itu harus ditarik dari wilayah tugas mereka jika kita atau Penguasa Darurat Sipil di Maluku sungguh-sungguh menghendaki kekerasan diredam atau dihentikan di p. Saparua. Tapi kemudian pikiran-pikiran saya tentang tertembaknya ketiga prajurit Yon 403 itu dikoreksi oleh info dari Sirisori Amalatu. Ketiga prajurit itu terjebak arus serangan balik. Mereka saat itu sedang berada di dalam gedung gereja yang rusak dibombardir penyerang Sirisori Salam. Pada saat massa Sirisori Amalatu memasuki gedung gereja mereka, ketiga prajurit itu nampaknya - sekali lagi nampaknya baru selesai "transaksi" (membagi-bagi uang). Jika ini dihubungkan dengan ditemukannya catatan dalam sejenis notebook di kantong salah seorang prajurit, diduga kuat mereka sedang membagi "setoran" yang mereka terima karena membiarkan massa Sirisori Salam berhasil menyerbu dan merusak Sirisori Amalatu. Identitas ketiga anggota militer itu sudah diketahui. Setelah diperiksa, ternyata catatan-catatan yang ditemukan di kantong seragam militer mereka berisi nama tertentu dan jumlah uang yang - rupanya harus diterima - oleh nama-nama tersebut. Yang perlu dicatat sekarang ialah pasukan gabungan lalu diterjunkan ke wilayah tersebut. Jelas bahwa pasukan tersebut adalah gabungan unsur-unsur TNI/AD, AL, AU dan Kepolisian/Brimob. Pasukan gabungan itu bertugas menangani situasi krisis seandainya keadaan dinilai tidak bisa ditangani secara menyeluruh oleh pasukan yang ditugaskan sebelumnya Setelah Pasukan Gabungan itu berada di lokasi konflik Sirisori Amalatu, di Saparua tiba juga sepasukan Brimob yang ditugaskan untuk mengamankan Saparua. Tidak perlu diragukan, bahwa pasukan gabungan ini sengaja diterjunkan untuk mencari jenazah anggota Kostrad 403 yang tewas itu. Rupanya itulah yang dimaksud dengan keadaan "yang tidak bisa ditangani pasukan yang bertugas di situ". Jadi kehancuran Sirisori Amalatu bukanlah hal yang luar biasa tetapi gugurnya ketiga prajurit 403 dalam tugas dianggap luar biasa. Lalu, bagaimana dengan ribuan warga sipil yang gugur karena konflik ? Pasukan Gabungan lalu melakukan pencarian di desa Sirisori Amalatu dan sekitarnya termasuk di kawasan hutan tempat warga Sirisori Amalatu mengungsi. Dilaporkan juga dari Saparua bahwa pasukan gabungan ini melakukan semacam sweeping. Mereka bergerak ke segala arah sambil melepas tembakan demi tembakan yang terkesan membabi buta sehingga sempat menjatuhkan satu korban jiwa warga dalam pengungsian. Satu pertanyaan menarik dalam hal ini adalah: Moral macam apakah yang hendak ditunjukan aparat keamanan (TNI/AD) yang menembaki pengungsi di pengungsian itu? Belum cukupkah melakukan pembiaran penyerangan untuk kepentingan yang bertentangan dengan Sapta marga dan Sumpah Prajurit ? Informasi selanjutnya dari Klasis GPM Lease di Saparua menyatakan bahwa Komandan Batalyon 403 di Ambon, melalui Perwira Bintal-nya telah berulang kali berusaha mempersuasi pimpinan klasis untuk membantu agar jenazah anggota kesatuannya ditemukan. Saya teringat info (pernah disampaikan "Musa Sipanarya" <sagoo2001@yahoo.com> di milis ini ) bahwa Komandan Arhanudri (base : Malang) di Ambon juga pernah berupaya keras menemukan seorang anggotanya, Serda La Sambo, yang tertembak mati ketika melakukan penyerangan bersama Laskar Jihad ke wilayah Passo. La Sambo tertembak mati di wilayah Passo sementara wilayah tugasnya adalah Durian Patah yang berjarak sekitar 4 km dari lokasi tempat ia terbunuh. Dari saku La Sambo juga ditemukan uang pecahan Rp. 100,000.- sebanyak 10 lembar (lembar uang masih baru) dan sejumlah pil perangsang. Dia tertembak mati dengan mengenggam tasbih di tangan (gambarnya diarsipkan di Masariku). Komandannya kemudian melakukan berbagai macam cara untuk menemukan jenasahnya hingga harus menggali kuburannya untuk mengangkat jenazah La Sambo yang malang itu. Artinya yang dlakukan oleh pasukan gabungan di Sirisori Amalatu itu adalah upaya menghilangkan bukti-bukti persekongkolan kesatuan TNI/AD, Kostrad 403 dalam kasus penyerangan Sirisori Amalatu. kembali kita melihat betapa rapuhnya moral kesatuan yang bertugas di Ambon itu. Berita terakhir di balik penyerangan Sirisori Amalatu adalah ketika beberapa orang warga Sirisori Amalatu memasuki negerinya kembali, dan memeriksa gedung gereja yang telah dihancurkan perusuh, mereka menemukan sejumlah bukti terjadinya hubungan seksual dalam gedung gereja yang hancur itu. Mereka menemukan beberapa lembar pakaian-dalam perempuan dan laki-laki yang nampaknya ditinggal di situ setelah selesai melakukan hubungan intim. Selain itu juga ditemukan sejumlah tanda dari pasukan tentera yang rupanya menggunakan gedung gereja yang hancur itu untuk sejumlah keperluannya. Dari hasil penyelidikan warga Sirisori Amalatu, kesatuan 403 yang bertugas itu memperoleh suplai makanan dari warga Sirisori Salam. Ketika penyerang menduduki Sirisori Amalatu, peleton 403 dikonsolidasikan kembali di desa itu. Mereka menggunakan antara lain gedung gereja sebagai tempat istirahatnya. Makanan yang dibawa dari Sirisori Salam kepada peleton 403 itu, di antar ke gedung gereja oleh para wanita asal Sirisori Salam. Kontak yang sangat sering antara pengantar makanan dan para prajurityang kemudian meningkat ke hubungan seksual. Dan hubungan seksual itu rupanya dilakukan di gedung gereja yang hancur itu. Sukar diperoleh kepastian apakah hubungan seksual itu dipaksakan atau tidak. Tapi dengan ini lengkaplah berita di balik penyerangan Sirisori Amalatu itu, yang terutama mengungkapkan demoralisasi di kalangan militer. Karena itu yang perlu dilakukan Penguasa Darurat Sipil Maluku adalah mengusut perilaku militer dalam menjalankan tugasnya di wilayah konflik, khususnya wilayah Sirisori Amalatu. Sekaligus, pasukan gabungan itu disidik sehubungan dengan aksi penembakan membabi-buta yang dilakukan sehingga jatuh korban jiwa pengungsi di lokasi pengungsian. atas adalah mengusut pasukan. Kita bisa memastikan sekarang bahwa mungkin harapan kepada Penguasa Darurat Sipil itu tidak bakal digubris mereka. Tapi ini semakin menguatkan kesimpulan mengenai konspirasi pasukan-pasukan TNI/AD yang bertindak atau diperintah melakukan konspirasi dengan Laskar Jihad (kaum Muslim) dalam kerusuhan Maluku. Satu hal yang sama dimiliki militer dalam hal ini adalah degradasi moral anggota pasukan yang harus kita catat untuk kepentingan langkah-langkah kita ke depan. Bagaimanapun juga pasukan dari kesatuan Kostrad 403 itu harus dicabut dari wilayah konflik di Saparua, jika tidak, merekalah (TNI/AD) yang menjadi sumber malapetaka dan pelanggaran HAM yang sebenarnya. Dicky M. Mailoa
Received via e-mail from : Peter by way of PJS
|