|
|
Ratusan Mortir Militer Tamatkan Sirisori Kristen Edisi Sabtu, 23 September 2000 Pokok-Pokok Berita:
1. Ratusan Mortir Militer Tamatkan Sirisori Kristen Ambon, Siwalima Kelompok penyerang berasal dari wilayah tetangga Desa Sirisori Islam yang didukung oleh para oknum aparat pembelot, baik TNI AD maupun anggota Brimob yang tengah bertugas di Masohi, juga orang-orang sipil dari luar Pulau Saparua dengan seragam putih-putih dan lengkap bersenjata organik (mortir, granat, amunisi). Para saksi mata dari medan pernyerangan melaporkan, kelompok penyerang jumlahnya mencapai ratusan orang. Titik awal serangan dimulai dari atas pegunungan seputar kawasan Sirisori Kristen hanya dalam radius tembakan kurang dari 1000 meter. Sebelum gempuran terjadi, sejak Kamis pagi warga Sirisori Kristen sudah diliputi suasana tegang karena adanya sebaran isu serangan oleh kubu penyerang. Namun antisipasi aparat brimob yang bertugas di wilayah itu tak kuasa meredusir suasana yang terus mencekam warga. Akhirnya pada sore hari pukul 15..00 WIT isu tersebut benar terbukti didahului dengan tembakan mortir langsung ke tengah-ketengah pemukiman penduduk. Tembakan mendadak itu membuat warga Sirsori Kristen sedikit pun tak berkutik. Tanpa melakukan perlawanan apa pun mereka langsung lari terbirit-birit menyelamatkan diri ke hutan-hutan dan sembunyi di kali-kali yang ada di sekitarnya, kata seorang saksi mata, yang sempat dihubungi Siwalima secara istimewa, kemarin. Sementara aparat brimob yang ditempat di perbatasan Sirisori Kristen dan Sirisori Islam, pada Senin (18/9), tak berdaya menghalau penyerang karena jumlahnya hanya 15 orang. Kekuatan mereka kalah telak dibanding kekuatan penyerang dengan jumlah personil diperkirakan mencapai ribuan orang dengan peralatan perang yang serba canggih. Diyakini perlatan perang yang dimiliki sudah menyamai layaknya sebuah pasukan militer dalam sebuah medan tempur. Pantauan Siwalima di Desa Sirisori Kristen bersama rombongan Kapolda Maluku, Brigjen Pol Drs Firman Gani, Jumat kemarin, kondisi desa itu sangat memprihatinkan. Tidak satupun rumah penduduk yang tersisah, semua rata dengan tanah, asap hitam masih mengepul dari puing-puing reruntuhan rumah penduduk. Ketika kaki jenderal polisi itu menapaki reruntuhan, sejumlah warga lelaki dan ibu-ibu yang tengah menyaksikan kampung leluhur yang sudah luluh-lantak itu, seketika lari menghampirinya dengan isak tangis tak tertahankan. Di hadapan Brigjen Firman Gani, isak tangis menjadi-jadi tanpa berkata-kata, seraya menunjukan onggokan reruntu-han rumah-rumah mereka dengan tangan.. Informasi tentang korban yang didapat Siwalima dari Desa Sirisori Kristen, menyebutkan, pada serangan hari Kamis itu 2 warga setempat tewas dan 3 orang menderita luka-luka. Sementara anak-anak dan perempuan untuk sementara, masih mengamankan diri di beberapa bangunan yang rusak sebagian akibat dihantam mortir, dan sebagian lagi berkeliaran di hutan-hutan bersama keluarga mereka. Temui Tokoh Agama Sebelumnya, Firman Gani melakukan dialog dengan para raja dan tokoh agama di Desa Iha, Noloth, dan Ihamahu, Kecamatan Saparua yang dipandang rawan konflik. Di wilayah ketiga desa ini sempat terjadi letupan-letupan kecil (senjata organik) tapi hanya sebentar. Para tokoh masyarakat itu, menyatakan, pada dasarnya mereka tidak menginginkan peperangan sebagai ekses kerusuhan dari Siri-sori Islam-Ullath dan Sirisori Kristen. Untuk keamanan wilayah desa setempat, Polda telah mengirim 2 kompi brimob. Letupan-letupan kecil itu, me-nurut Sekretaris Desa Iha, Gafur T, muncul setelah kehadiran laskar jihad dari luar Pulau Saparua. Mereka masuk ke wilayah itu mempengaruhi warga Islam pribumi untuk memerangi orang-orang Kristen, ujarnya kepada Brigjen Firman Gani, "Kehadiran pasukan dari luar, semata-mata untuk melindungi warga Iha bukan sebaliknya memerangi warga Kristen. Untuk itu, warga Iha minta Kapolda untuk tambah pasukan," pinta Gafur. Sementara informasi dari Desa Ihamahu, menyebutkan, saat ini sejumlah laskar jihad dengan memakai 7 buah speed boat sudah mendarat di pantai Iha, membawa serta seluruh peralatan perang berupa senjata organik sehingga menimbulkan kepanikan luar biasa bagi warga di ketiga wilayah desa tersebut. Menjawab keluhan para warga di daerah itu, Firman Gani ber-janji akan menambah pasukan Brimob dan berupaya memulangkan orang luar dari Saparua. "Asalkan jangan ada pertikaian. Saya bapak-bapak raja dan tokoh agama disini, termasuk aparat keamanan, untuk selalu memberikan pengertian kepada warganya masing-masing supaya tidak bertikai. Dan apa yang menjadi keinginan masing-masing desa hendaknya dikomunikasikan kepada para raja, tokoh agama maupun aparat yang bertugas untuk selanjutnya dikoordinasikan dengan baik," kata Gani. (eda) 2. Denzipur-8 Ditolak Warga Sirisori Kristen Ambon, Siwalima Sejumlah pemuda Kristen bersenjata rakitan dan berjaga-jaga disekitar puing-puing reruntuhan pemukimannya, secara tegas menolak pengiriman pasukan Zipur itu ke Sirisori Islam. Karena menurut mereka, pengiriman pasukan itu selain tidak sesuai fungsi utamanya sebagai pasukan untuk pembangunan, kehadiran mereka tidak akan bisa meredam eskalasi pertikaian tapi malahan justru memperparah keadaan. "Kami tidak percaya mereka akan bertindak netral, kami khwatir mereka akan menyulut warga Islam Sirisori untuk menyerang orang Kristen," kata mereka. Lantaran emosi dan rasa trauma akibat aksi bumi hangus pada hari Kamis itu, sejumlah pemuda Kristen melepaskan rentet tembakan senjata rakitan ke atas udara sebagai wujud ketidaksenangan mereka terhadap netralitas aparat TNI AD. Aksi ini sempat membuat situasi sekitarnya tegang. "Untuk apa datangkan aparat lagi ke sini. Apa ingin terus menghancurkan kami. Lihat rumah kami sudah hancur, itu aparat yang tembak. Sekarang kami tidak percaya lagi aparat datang ke sini. Untuk apa datang ke sini, semuanya sudah habis. Kalian pulang saja, biar kami terus begini dan kami (sudah) rela untuk mati," ketus beberapa pemuda dengan sangat marah. "Kami benar-benar marah, khusus yang namanya berpakaian loreng sangat tidak adil, harus angkat kaki dari bumi Saparua, kalian semua adalah pembunuh rakyat," teriak pemuda lain. Aksi para pemuda Kristen membuat situasi pemukiman penduduk Sirisori Kristen menjadi benar-benar tegang, nyaris melahirkan baku tembak antara mereka dengan rombongan Kapolda dan 153 personil Zipur-8. Saat itu, Firman Gani langsung mengajak rombongan dan pasukan Zipur kembali ke Saparua, dan batal melanjutkan perjalanan masuki wilayah Sirisori Islam yang bersebelahan dengan Siri-sori Kristen. Kendati dalam situasi cukup tegang itu, Firman Gani masih sempat berbincang dengan sebagian warga dan memintanya bersabar. Kepada mereka ia berjanji akan segera melaporkan peristiwa serangan di wilayah Sirisori Kristen kepada Gubernur Saleh Latuconsina selaku Sub Penguasa Darurat Sipil di Maluku.. (eda) 3. Pembakaran Seriholo Buyarkan Syukuran Satu Tahun Diserang Ambon, Siwalima Bupati Maluku Tengah, Rudolf Rukka membenarkan aksi pembumihangusan tersebut. Tanpa berkomentar banyak, Rukka yang ditemui awal pekan ini menyebutkan, pembumihangusan terjadi 8 September lalu. Sejumlah warga Seriholo menyebutkan, aksi pembumihangusan itu dilakukan warga tetangga Desa Seriholo, utamanya Desa Hualoi dan sekutu-sekutunya. Disebutkan, tindakan penyerangan dan pembakaran diawali dengan pencurian seng bekas dari rumah-rumah penduduk yang terbakar pada serangan terdahulu.. Namun, selang beberapa saat kemudian para pencuri berubah beringas menyerang warga dan membakar tenda-tenda darurat yang dibangun susah payah sekadar untuk berlindung dari terik matahari dan dingin malam hari. Ya, "Peristiwa serangan itu berawal dari rencana pencurian seng-seng bekas," imbuh seorang warga yang mengaku bernama Yunus. Dia membenarkan, bahwa peristiwanya terjadi awal pekan kedua bulan ini. Persisnya, sesaat sebelum warga Seriholo mengadakan syukuran satu tahun tragedi yang menghancurleburkan seluruh rumah penduduk, gereja, sekolah dan seisi kampung halaman mereka. Untungnya, peristiwa itu terjadi ketika warga belum memasuki gereja darurat untuk beribadah. "Bung, katong pung nasib masih bai. Kalo katong su masu dalam gereja, mungkin katong samua bisa mati, " ujar Yunus dengan mata yang berkaca-kaca. Katanya, penyerangan melibatkan ribuan penyerang bersenjatakan senjata organik, bom-bom rakitan, parang , tombak dan sejumlah peralatan perang lainnya. Dengan menggunakan pakaian puti-putih berikat kepala putih dan hijau, para perusuh itu merangsek maju mendekati perkampungan Seriholo lalu melepaskan tembakan beruntun. Untungnya lagi, warga Seriholo cepat melarikan diri ke hutan-hutan untuk menghindari terjadinya korban jiwa. Menurut dia, tenda-tenda darurat yang selama ini mereka pasang di pinggiran desa sebagai pengganti rumah mereka yang telah habis, semuanya musnah dibakar. Gereja bekas terbakar yang direhab secara darurat bersama aparat keamanan untuk beribadah selama ini, juga rata dengan tanah. Namun menurut dia, bagi warga Seriholo, kejadian itu tidak bisa mengecilkan nyali mereka untuk keluar meningalkan petuanan mereka. "Biar kami tinggal di hutan-hutan tapi kami tidak akan lari meninggalkan negeri dan petuanan kami. Desa kami adalagh desa adat," tutur Yunus Optimis. Seperti diketahui, desa Seriholo pertama kali diratakan dengan tanah 8 September 1999 lalu. Setelah direhab oleh masyarakat dan aparat TNI, perusuh kembali membakar dan merusaknya. Apalagi, tanggal 8 September 2000 lalu sisa sebagian rumah hasil rehab masyatakat Seriholo dan aparat TNI itu dibakar lagi bersama tenda-tenda darurat hingga rata dengan tanah. (ate) 4. Noloth-Iha Bergolak, 6 Tewas, Hatuhaha Kirim Personil Ambon, Siwalima Informasi yang diperoleh Siwalima menyebutkan, bukan hanya Desa Noloth digempur oleh massa Islam. Desa Ihamahu pun turut dilibas massa dari Desa Iha. Maklum, ketiga desa-nya bertetangga dekat. Penggempuran itu dilakukan sekitar pukul 13.00 WIT, beberapa saat setelah Kapolda Maluku Brigjen Polisi Firman Gani meninggalkan Kecamatan Saparua dan kembali ke Kota Ambon. Namun menurut Staf Ahli Penerangan Darurat Sipil, Drs Jhon Tomasoa, konflik di Desa Noloth dan Noloth terjadi sekitar pukul 16.00 WIT. Diawali dengan pembakaran rumah yang terletak antara perbatasan Desa Iha dan Noloth. "Ini berdasarkan laporan resmi dari Camat Saparua, Drs Felix Leunura, ke posko darurat sipil," ujarnya menjawab Siwalima, saat dikonfirmasi tadi malam. Ia menuturkan, Desa Noloth diserang dengan mortir, granat, bom dan tembakan-tembakan jitu yang dilepas dari senjata organik. Warga Noloth bernama Petrus Sopacua (19) tewas seketika, dan empat orang lainnya mengalami luka-luka serius terkena serpihan mortir dan granat. Mereka adalah Zeth Supusepa (27), Jeni Hiti-peuw (30), Leny Mayaut (28) dan Hengky Sahetapy (25). Tomasoa juga membenarkan bahwa Desa Noloth digempur beberapa saat setelah Kapolda Brigjen Polisi Firman Gani menuntaskan kunjungan kerjanya ke Kecamatan Saparua dan langsung pulang ke Ambon. Sebelumnya, ada sejumlah speedboat masuk ke kawasan Desa Iha. Diduga kuat, speedboat itu berisikan bala bantuan penyerang dari wilayah lain. Tentunya, cara ini sangat disesalkan. Karena patroli kapal TNI-AL maupun aparat keamanan yang bertugas di kawasan pantai. Sepertinya, aparat patroli laut sengaja meloloskan kedatangan massa penyerang. Sekretaris Desa Iha, Gaffur T, membenarkan adanya distribusi bantuan personil dari luar Desa Iha. "Iya. Memang ada penam-bahan bantuan personil dari Islam Hatuhaha. Mereka berpakaian putih-putih ala jihad. Tapi, kedatangan mereka ke Iha untuk melindungi warga, bukan untuk menyerang desa lain. Sebab pemuda di Iha hanya sekitar 100 orang, sedangkan isu bahwa Desa Iha akan diserang semakin gencar," ungkap Gaffur kepada Kapolda Brigjen Polisi Firman Gani, saat kunjungannya di Desa Iha. Toh begitu, kronologis penyerangan Desa Noloth maupun Iha, hingga pukul 02..00 dinihari tadi, belum bisa diperoleh dari posko darurat sipil. Sebab Camat Saparua belum melaporkannya. Sementara menurut Ketua Posko MUI Maluku, Malik Selang SH, korban tewas di Desa Iha sebanyak 5 orang dan 9 warga lainnya luka-luka. Sayangnya, ia tidak menjelaskan secara rinci hasil identifikasi para korban jiwa termasuk korban material lainnya.(eda/enu) 5. Membangun Visi Baru Wilayah Saparua yang berdekatan dengan Pulau Ambon kembali ditikam rusuh, bunyi dentuman granat, mortir dan senjata api sahut menyahut kembali menggelegar. Wajah-wajah anak negeri kembali tertunduk lesu, memikirkan perjalanan panjang hidup mereka di ini negeri tanpa punya harapan masa depan yang jelas. Jika demikian, muncul pertanyaan yang paling mendasar, kapankah konflik ini akan berakhir? Siapapun dia, yang pasti tak seorangpun berani mengatakan secara pasti bahwa besok, minggu depan, bulan depan ataupun tahun depan, konflik ini akan berakhir. Hal ini dapat dipahami mengingat konflik yang terjadi di Ambon saat ini telah berada diambang batas yang sangat memprihatinkan. Semua kelembagaan yang mempunyai keterikatan langsung dengan penyelesaian konflik, apakah itu instansi sipil, militer (TNI-Polri) instansi non pemerintah seolah tidak berdaya mengatasi persoalan ini. Berbagai upaya damai yang telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun para tokoh agama seolah-olah tidak mempunyai arti sama sekali. Disisi lain masyarakat seolah telah mengalami frustrasi dan keputusasaan yang begitu mendalam untuk mengharapkan suatu kondisi damai seperti sedia kala. Yaaaaah, itulah fenomena yang berkembang dalam masyarakat kita dewasa ini. Walaupun disadari sungguh bahwa menyelesaikan konflik ini bukan sesuatu yang mudah, namun itu bukan berarti bahwa konflik ini sama sekali tidak dapat diselesaikan. Untuk menyelesaikannya marilah kita dengan sikap arif dan bijaksana mencoba menentukan variabel-variabel yang berpengaruh kuat terhadap langgengnya konflik. Tanpa mengesampingkan ber-bagai variabel yang lain maka baiklah kita dengan berani mengatakan bahwa saat ini ada 3 (tiga) variabel penting yang sangat berpengaruh terhadap berlanjutnya konflik di wilayah ini, yakni : Pertama, kuatnya sentimen agama Terhadap ketiga variabel ini yang harus dilihat kuatnya sentimen agama maka
dengan mudah kita dapat mengatakan bahwa memang benar, sentimen agama telah
menjadi salah satu variabel konflik yang sangat rumit dan berat untuk dipecahkan.
Sentimen agama telah digunakan sebagai alat identifikasi diri dan pembenaran
masing-masing kelompok untuk saling menyerang dan melakukan tindak kekerasan.
Kondisi factual di lapangan telah memberikan indikasi kuat bahwa sentimen agama
telah menjadi wacana publik yang perlu mendapat perhatian. Bahkan sebagian
pendapat yang justru akhir-akhir ini telah mengemuka bahwa sebenarnya yang
terjadi di Ambon, adalah sebuah konflik peradaban yang melahirkan sebuah perang
suci antara kelompok islam dan kristen. Kalaupun ini merupakan sebuah pemikiran
yang sangat tendensius, namun telah berkembang menjadi wacana publik yang
perlu mendapat perhatian serius. Lepas dari soal faksionalisasi yang terjadi serta kepentingan-kepentingan politik dari kelompok-kelompok tertentu di dalam pertikaian ini, yang jelas bahwa dendam yang ditimbulkan sebagai akibat semakin banyaknya orang yang menjadi korban langsung dari konflik ini, semakin dalam dan sulit diatasi.. Faktor pembalasan sendiri telah menjadi salah satu penyebab utama berlanjutnya konflik ini. Namun, jika hal ini tidak segera dicarikan jalan pemecahannya yang terbaik maka tentunya konflik tidak akan pernah berakhir. Sementara semua kita menghendaki adanya suatu kehidupan yang tenang dan tatapan ke masa depan yang jauh lebih baik dari hari ini. Di titik inilah variabel kedua, dendam dan personalisasi konflik bisa kita uji. Belajar dari rentetan perjalanan konflik Ambon, Maluku yang telah berlangsung kurang lebih 21 bulan maka dengan tidak mengurangi fungsi dan peran aparat keamanan yang selama ini telah dilaksanakan, dapatlah dikatakan bahwa variabel ketiga, Sikap dan peran aparat keamanan (TNI-Polri) juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Image ketidak tegasan bertindak dan ketidak netralan sikap yang diperlihatkan oleh aparat keamanan (TNI-Polri) dalam menjalankan tugasnya, juga menjadi salah satu penyebab berlanjutnya konflik. Sampai di sini, dengan serta-merta kita tidak dapat mengatakan secara gamblang bahwa sebenarnya telah terjadi erosi pemahaman seorang prajurit terhadap sapta marga dan sumpah prajurit yang merupakan doktrin TNI-Polri. Namun, yang perlu dilakukan adalah pengkajian yang mendalam terhadap faktor-faktor yang berpengaruh kuat terhadap perilaku seorang prajurit. Dan proses pengkajian ini mesti dilakukan oleh lembaga riset dan pengembangan sumber daya TNI-Polri. Kalau nantinya dalam proses studi yang dilakukan ditemui salah satu kesimpulan bahwa ternyata telah terjadi erosi pemahaman terhadap doktrin tersebut, maka pihak penentu kebijakan ditingkat TNI-Polri perlu melakukan langkah-langkah penataan yang mendasar terhadap sikap dan peran setiap prajurit yang akan ditugaskan di suatu wilayah konflik. Masyarakat menghendaki setiap prajurit bertindak diatas semua kepentingan kelompok dan golongan bukan sesuatu yang aneh dan sulit untuk dicapai. Tuntutan ini tentunya didasari oleh konsep dasar sikap dan peran aparat keamanan (TNI-Polri) yang senantiasa berada di atas semua kepentingan kelompok ataupun golongan yang ada di republik ini. Kiranya apa yang diutarakan di atas menjadi bahan kajian bagi kita semua untuk didiskusikan secara intens pada masing-masing kelompok agama guna menemukan formula-formula penyusunan visi baru guna mempersatukan kembali visi dan persepsi yang berbeda-beda diantara kedua kelompok yang bertikai saat ini. Tanah ini, seolah tidak tahan lagi menampung bangkai-bangkai yang berserahkan akibat suatu pertikaian berdarah yang dilakukan oleh anak negerinya sendiri. Biarlah konflik di tanah ini melahirkan suatu teori baru penyelesaian konflik. Karena memang sesungguhnya konflik ini unik dan belum pernah ada di belahan bumi ini. Semoga! (*) From : Izaac tulalessy - Wartawan Harian Umum Siwalima Ambon
Received via e-mail from : Peter by way of PJS
|