I Gusti Nyoman Aryana
Gus Dur: “Saat ini Indonesia sedang dalam
proses mencari Identitas Nasional.
Namun harus diakui pemerintah menghadapi
banyak sekali hambatan
dan masalah untuk mewujudkan hal tersebut,
seperti ancaman
separatisme, militerisme dan konflik
keagamaan. Bahkan, juga ada
sekelompok kaum militan yang merasa terancam”[1].
Apa sebenarnya yang dimaksud Gus Dur dengan identitas nasional? Sebelum bicara lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa arti dan makna kata tersebut. Identitas, kalau mau lebih spesifik lagi, identitas kolektif, dapat dibagi menjadi lima kategorie: Identitas gender (feminisme), identitas kedaerahan, identitas kelas-sosial, identitas etnis dan yang terakhir identitas religius.[2]
Identitas kolektif. Feminisme sebagai identitas kolektif, memang pernah nge-trend, terutama di negara negara (industri) maju; Eropa, Amerika Serikat dll. Kolektivitas jenis ini, kendati populer, namun kurang mengikat, karena dibatasi oleh benua, negara, etnis dan agama. Demikian pula, identitas kolektif yang bersifat kedaerahan (lokalisme/ regionalisme). Keunikan sebuah daerah, (keunikan saja!) tak bisa dijadikan alat untuk memobilisasi massa. Rupanya ini lebih banyak urusan ideologi dibanding ekologi (natur). Kemudian masalah kelas sosial[3] (borjuis vs. kelas buruh) sebagai identitas kolektif, bukan saja kurang atraktif, akan tetapi keberadaannyapun sangat meragukan. Identitas kelas (buruh sedunia?) sebagai identitas kolektif tak pernah – benar-benar – eksis. Karena terbukti, kurang lem perekat emosional, disamping itu juga, karena, tidak memiliki akar budaya yang kuat. Kalau dibanding identitas lain – seperti identitas religius atau etnis, misalnya. Perlu diketahui, kelompok interes, dengan basis ekonomi, bukanlah termasuk bentuk identitas kolektif yang stabil.
Identitas religius dan identitas etnis sering kali, mengikat dan merekayasa (basis) lebih dari satu kelas-sosial. Identitas religius berbeda dengan kelas sosial, masing-masing berangkat dari segi kebutuhan dan aktivitas manusia yang berbeda. Identitas kelas berangkat dari pola produksi dan tukar menukar barang dan jasa. Sedangkan identitas religius tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari hasil komunikasi dan proses sosialisasi di masyarakat. Yang bersumber dari elemen-elemen budaya seperti nilai-nilai, simbol, mitos, tradisi – yang sering dikodifikasi menjadi adat-istiadat dan ritual, demikian menurut sosiolog Inggris Anthony D. Smith.
Komunitas religius seringkali bersimbiose dengan identitas etnis. Tatkala agama-‘agama dunia’ bersaing ketat, mencoba, berusaha mengaburkan atau bahkan menghapuskan batas-batas ke-etnisan, yang terjadi malah sebaliknya. Kebanyakan komunitas religius menyatu dengan kelompok-kelompok etnis. Hubungan ini malah bisa lebih erat lagi. Ceritanya seperti ini: Komunitas religius yang semula kecil dan sederhana, dalam kurun waktu tertentu, bisa saja berubah bentuk menjadi sebuah komunitas etnis yang eksklusif. Sampai saat ini masih banyak minoritas etnis yang memiliki ikatan religius.[4]
Definsi etnis dan nasion (bangsa) berubah-ubah dan selalu bermuatan politis dan penuh rekayasa. Misalnya, identitas kolektif, bisa berarti identitas etnis dan bisa juga berarti identitas nasional. Kenapa demikian?
Begini. Dari perbedaan kultural, etnisitas membentuk batas-batas kultural. Dari batas-batas kultural, sebuah bangsa membentuk batas wilayah negara. Kedua batas ini bukan terbentuk secara alami, melainkan resultat dari berbagai macam strategi serta struktur organisasi sosial/politik dll. baik batas yang merupakan produk kesewenang wenangan kolonialisme abad 19, ataupun rekayasa kolonialisme internal (penguasa bangsa sendiri) akhir abad 20. Singkat, kini etnisitas berarti: pertama sebagai pengganti status minoritas (hampir disegala bidang) dan kedua, munculnya situasi dikotomis: penguasa versus kelompok tertindas. Perlu diingat hanya gerakan etnis yang memiliki karakter kelas sosial, bisa menjadi politis. Dan kalau politik mandeg gerakan etnislah yang mengisi ruang politik itu.
Etnisitas bisa juga dilihat sebagai ekspresi seseorang (baca kelompok) yang mengacu pada etnis tertentu. Perbedaan (etnis) muncul, sebagai akibat dari bentuk kultur yang berlainan. Namun yang terpenting, bukan substansi perbedaan-perbedaan tersebut yang harus ditonjolkan, melainkan; bagaimana sebuah kelompok menamakan diri mereka sendiri dan bagaimana mereka dinamakan oleh kelompok lain (Barth, 1969). Hasil pemotretan pihak lain mestinya bisa dipakai sebagai pengakuan terhadap eksistensi identitas diri sendiri. Jika cara ini tidak klop, maka sudah pasti identitas yang dimiliki, tidak akan pernah stabil. (Elwert 1989:23). Sebagai contoh mungkin sekarang orang Papua tak mau lagi kalau disebut sebagai orang Irian. Dalam kondisi “normal” (tanpa krisis) soal identitas bukanlah masalah pokok. Namun dalam suasana krisis multi dimensional, banyak orang bingung, yang kemudian lantas mencari tempat untuk berlindung – rumah ibadah penuh. Acara-acara yang bernuansa religius dan kedaerahan tambah marak. Wacana budaya lokal pun muncul. Masalah ini bisa dilihat sebagai akibat dari kapitalisme yang makin meng-global, yang menyebabkan, fungsi negara-nasional, disatu pihak kurang optimal (lemah) dan dipihak lain munculnya sentimen budaya lokal, separatisme atau nasionalisme etnis. Kenapa kita harus heran tatkala melihat bangkitnya nasionalisme etnis dimana-mana?
Nasionalisme etnis dan nasionalisme
teritorial. Dalam hal ini Smith (1981:14-20) membedakan antara nasionalisme etnis, yakni gerakan yang
berusaha keras memperjuangkan kemandirian tradisi, kultur atau adat istiadat
lokal. Sedangkan nasionalisme teritorial,
pertama tama bertujuan membentuk sebuah negara teritorial. Pembagian Smith terasa
kurang pas. Karena itu, perlu direvisi. Berbeda dengan Smith–dan yang lebih
relevan – Jäggi, membedakan antara periphere
nasionalisme dan nasionalisme sentral.
Alasannya seperti ini; gerakan nasionalisme pinggiran,
yang tercerabut dari akar kulturalnya, memiliki dinamika yang berbeda dengan
nasionalisme dominan. ‘Nasionalisme pinggiran’ bertujuan merubah struktur
kekuasaan, sedangkan ‘nasionalisme di pusat’ memperkuatnya (Jäggi 1993:23).
Dengan kata lain, setiap usaha pencarian identitas (nasional), selamanya akan
memicu munculnya identitas-identitas “nasional” tandingan. Karena (kalau menurut
Fredrik Barth 1969): Identity makes
counter- identity. Dan identitas kolektif tak pernah nyelonong begitu saja
jatuh dari langit. Identitas memiliki asal usul yang ‘jelas’ dan selamanya
merupakan produk sejarah – penuh rekayasa politik dan sarat muatan ideologi dan
manipulasi. Akhirnya identitas etnis, misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang
(pernah dan terus) eksis – walau ratusan tahun sekalipun.
Aceh. Misalnya, peringatan 360 tahun wafatnya Sultan Iskandar Muda dirayakan secara
militer, 27 Desember tahun lalu, merupakan momentum bagi bangsa Aceh untuk meningkatkan persatuan, katanya. Menurut Hasan Di
Tiro, Aceh sedang berada di ambang kemerdekaan – kembali ke masa pimpinan
Sultan Iskandar Muda abad 16, yang terkenal ke seluruh dunia. Kehidupan
rakyatnya sangat makmur. Disebabkan pimpinan selalu bertindak adil, bijaksana,
dan selalu bersikap jujur sehingga terkenal di kawasan Asia, Eropa, dan tanah
Arab. Menurut dia, keadaan itulah yang hendak dikembalikan ketika Aceh Sumatera
mencapai kemerdekaannya nanti (lihat : Waspada
28 Desember 1999). Singkat, kasus Aceh boleh dibilang sebagai kombinasi antara
represi politik (DOM) dan penghisapan sumber daya alam, yang kemudian menyebabkan
identitas etnis yang sudah kuat menjadi makin kental.
Maluku. Sedangkan konflik (“Kristen/Islam”) Maluku, lain lagi. Penyelesaian persoalan, tidak mudah, kata Presiden Adurrahman Wahid, baru baru ini, karena ini berakar sejak zaman Belanda, di mana golongan Kristen ketika itu mendapat perlakuan istimewa dari Belanda, misalnya untuk menjadi anggota militer. Ketika Soeharto (dan kemudian Habibie) berkuasa, keadaan terbalik, di mana kaum Muslimin menduduki berbagai posisi penting, namun ketika Kristen protes, mereka dihadapi dengan kekerasan. Karena itu, kekerasan yang terjadi sekarang ini tidaklah mungkin dihadapi dengan kekerasan pula, ujar Abdurrahman Wahid (Kompas 04/05/00).
Kasus bangsa Papua
lebih “spesifik” lagi. Kongres Rakyat Papua, (4/6), menyatakan, menolak
penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses
penyatuan Papua yang dilakukan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia,
selanjutnya dikukuhkan PBB, dinilai cacat hukum. Sebab itu, kongres meminta
dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua. Demikian resolusi KRP yang
dibacakan oleh Thaha Al-Hamid di hadapan ribuan warga Papua. Menurut resolusi
yang dihasilkan oleh kongres itu, bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961 (Kompas 05/05/00).
Kasus Riau
sederhana saja. Proklamator Riau Merdeka, Prof. Dr. Tabrani Rab menilai kedatangan Gus Dur ke Pekanbaru Riau
(29/4) , kecuali menghabiskan dana rakyat, juga tak ada gunanya serta tak
menyelesaikan akar persoalan. Tabrani menilai Gus Dur tak mampu menyelesaikan persoalan Riau. Sebab, hingga saat ini,
Gus Dur dianggapnya belum memahami akar persoalan masyarakat Riau. "Ini
jelas terlihat. Jangankan soal penyerahan wewenang pengelolaan pendapatan
daerah. Soal UU No 22 dan 25 saja, tak jelas pelaksanaannya. Semua hanya omong
kosong. Menurut Tabrani akar persoalan Riau sederhana saja: perbaikan taraf hidup. Keinginan itulah
yang mendorong munculnya Deklarasi Riau Merdeka, 15 Maret 1999 lalu (Tempo
Interaktif 29/04/00).
Tuntutan Lampung
kelihatan masih lebih bersahaja. Sekitar enam ribu warga Bandar Lampung, (21/3)
yang umumnya petani dari delapan
kabupaten di Lampung itu, berkumpul untuk menuntut "kemerdekaan dari segala
macam penindasan" terhadap rakyat dengan menggunakan momentum peringatan
hari jadi provinsi Lampung yang ke-36. (Waspada
22/03/00)
·
Perjuangan nationalisme-etnis, biasanya melalui
empat tahap: fase keterpinggiran (marginalisasi) yang cukup lama, fase
penindasan yang brutal, fase perlawanan yang menelan korban sangat banyak dan
yang terakhir (kalau mujur) fase kemenangan. Korban jiwa ataupun materi
biasanya lebih banyak dihabiskan bukan untuk membidani lahirnya, anak haram
yang bernama separatisme melainkan usaha untuk membunuhnya.
·
Logika nasionalisme. Sebenarnya tak ada istilah perjuangan nasional
ataupun pembebasan nasional. Yang ada yalah perang yang gunanya memperkuat
nasionalisme. Menindas bangsa lain atau ditindas oleh bangsa lain – memiliki
fungsi yang kira kira sama. Nasionalisme pinggiran
bakal mengatakan bahwa apa yang ‘mereka’ lakukan adalah perang sebuah bangsa melawan negara sentral. Negara sentral akan mengaku, bahwa mereka sedang
memerangi teroris (GPK).
·
Nasionalisme dan integrasi nasional. Integrasi bukan hanya tergantung
dari seberapa besar kontrol pemerintah pusat terhadap daerah dan (sebaliknya)
bagaimana respon daerah terhadap pusat. Integrasi berarti saling ketergantungen
antar daerah serta partisipasi regional – dalam urusan atau masalah nasional. Pembedaan
ini dapat dibandingkan dengan perbedaan atara integrasi nasional dan nasionalisme.
Nasionalisme berkaitan erat dengan patriotisme, emosi nasionalis (perasaan
senasib seperjuangan sebagai satu bangsa). Kehadiran perasaan nasionalis ini
diperlukan untuk mengatasi jiwa kerdil (regionalisme, tribalisme, partikularisme
atau sekterianisme) sembari memperkuat hubungan vertikal – pusat daerah. Sebaliknya
integrasi nasional adalah sebuah konsep yang jauh lebih luas, yang tidak hanya membahas
kasus-kasus atau masalah-masalah daerah (pinggiran) akan tetapi juga menyoroti hubungan
antara pusat dan daerah. Misalnya seperti ini: faktor interaksi masyarakat, faktor
saling ketergantungan antara pusat dan daerah, antara daerah yang satu dengan
yang lain, bukan tergantung dari emosi nasional. Melainkan lebih banyak tergantung
dari arah (dari mana dan kemana) mengalirnya kapital, apakah uang mengalir lebih
banyak dari pusat kedaerah atau sebaliknya – dari daerah ke pusat?
·
Separatisme. Kasus yang terjadi di berbagai negara (multi
etnik) di dunia bukanlah separatisme, melainkan masalah yang lebih ‘ringan’
yakni emansipasi warga masyarakat atau karsa bersama menuju masyarakat madani (civil society), menciptakan kemakmuran
bersama (keadilan ekonomis) dan atau mengatasi masalah kerusakan lingkungan dsb.nya.
Lahirnya separatisme boleh dianggap sebagai sebuah hukuman terhadap negara karena
pemerintahnya terlalu banyak (atau malah sebelumnya terlalu sedikit?) memberikan
ruang gerak bagi sentimen lokal. Separatisme bukan merupakan masalah besar di
dunia, yang menjadi masalah ialah karena mereka semua mengaku (dan minta diakui)
sebagai bangsa.
·
Identitas
nasional dan teritorium (wilayah). Nasion (bangsa) adalah sebuah kesatuan yang terikat dengan teritorium
dan mesti memiliki wilayah (tanah tumpah daerah mereka sendiri), kesamaan
sejarah, sistim hukum/perundang undangan, hak dan kewajiban serta pembagian
kerja berdasarkan profesi.
·
Tak ada satu pun bangsa
di dunia ini yang tidak memanipulasi
sejarahnya sendiri!
[1] Hal ini diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam
pertemuan dengan sejumlah investor Inggris di Hotel Kempinski, Jakarta, 29 Mei
2000. (Tempo interaktif 29/5)
[2] Mengenai identitas kolektif Anda bisa lihat: „National Identity“. A. D. Smith 1991:
terutama h. 4-8
[3] Diskusi lebih luas
mengenai masalah kelas sosial baca Marx dan Weber.
[4] Katholik/Protestan, Irlandia Utara.