PELAYARAN HONGI ABAD 21

(Heriyansah Latief)*

 

Akhirnya kita toh ngomongin soal Ambon. Habis kita ada yang jadi bingung dan bengong melihat situasi disana. Memang tidak gampang menganalisa pertentangan antar suku di Indonesia. Kejadian itu sudah berjalan lama sekali. Dan itu selalu muncul tiap jaman, apa itu jaman kejatuhan kerajaan Majapahit, lalu muncul Islam, kemudian muncul agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda. Yang ternyata sukses berkembang di Indonesia bagian Timur. Itu kenyataannya. Dan sekarang jadi konflik yang tak ada ujungnya. Sepertinya kita tergiring ke kandang pembantaian. Kalau betul begitu, siapa yang menggiring kita?

 

Pertanyaan ini ada yang menjawab Abri biang keladi dari semua konflik pasca Suharto. Bisa jadi. Tapi jangan berhenti hanya sampai disitu saja. Presiden RMS bilang, orang Maluku tidak perlu pendatang. Alasannya, pendatang hanya mengurangi kesempatan penduduk asli untuk menikmati hasil bumi Maluku. Ide ini seperti kopie dari F. de Winter (Vlaamse Blok, Belgia) yang sama jalurnya dengan Haider. Dus nggak cocok sama situasi abad 21 ini, yang mengharamkan rasisme serta mengagungkan hak-hak azasi manusia. Wong orang utan saja dilindungi. Kita sekarang masih bingung siapa sih penggiring kekacauan di Maluku? Beranikan kita bikin kritik terhadap diri sendiri? Misalnya berfikir kritis tentang “perang jihad.” Benarkah korban yang mati karena jihad masuk sorga? Apa ada yang pernah kirim e-mail dari sana? Siapa yang menentukan/mendukung perang jihad ini? Pertanyaan ini sebaiknya diteriakkan di kuping orang model Amin Rais, yang pernah ngomporin masalah ini, dulu. Coba lihat tuh, capek-capek sekolah sampai jadi doktor, eh buntutnya tukang bawa kayu bakar juga.

 

Atau kita coba melihat dari segi separatisme. Tidak ada salahnya orang ingin berdiri sendiri. Itu sudah hukum alam. Namun musti dilihat dalam konteks dunia. Menyamakan kasus Ambon dengan perang kemerdekaan Timor Timur adalah seperti menyamakan pisang dengan jambu klutuk. Dua-duanya jenis buah, tapi bentuk dan rasanya lain. Orang Timtim punya uskup Belo yang ngantongin nomor telepon genggamnya Paus, lalu punya Xanana yang punya sohib namanya Mandela, terus di hutannya ada grilya, kemudian ada Australia yang pasang badan nantang Abri lengkap sudah, tambahan lainnya ada referendum untuk legitimasi keinginan berdiri sendiri yang didukung PBB.

 

Jadi bersikaplah kritis terus terusan. Jangan malu kalau dari tubuh kita sendiri ada yang enggak beres. Kita harus berani melihat kesalahan diri sendiri dulu. Tapi saya sadar, fanatisme seperti jatuh cinta sama anak drakula, bakalan jadi donor buat sang mertua. Dan fanatisme dalam keagamaan adalah yang paling berbahaya (di iming-imingi sorga, diancam dengan neraka). Dan sayangnya kita di Eropa barat ada juga belagak buta, enggak mau lihat kenyataan atau engga berani melihat. Takut dibilang kafir. Memang serem juga dicap begituan, alhasil membebek dibelakang “kudeegeest”, tidak apa, boleh saja. Tapi jangan sebel sama pemikir bebas yang mentertawakan gaya hidup model mbah Suro. Ada kaum embah ada kaum cantrik. Silakan pilih.

 

Begitulah, mungkin soal Ambon dijadikan asbak oleh seglintir orang di Jakarta, Den Haag dan pendatang baru Australia. Yang terakhir ini mau coba coba ilmu mumpung, mumpung lagi rusuh, ikut-ikutan mengail diair keruh. Biasa, mengharap dapat keuntungan materi nantinya. Itu kan negara kapitalis yang didirikan oleh bekas maling, garong, psykhopat dan sipir penjara bangsa Inggris. Kemudian datang berbondong bondong petani yang gagal panen dari Eropa, atau korban airbah dari Belanda tahun 50an. Mereka ikut main sekarang. Dan jangan heran, destabilisasi Indonesia adalah idaman orang barat. Mereka bikin itu untuk membuat ketergantungan obat bius (modal) bangsa kita makin menjadi jadi. Apakah kita rela dianuin oleh mereka?

 

Belum lagi situasi dalam negeri kita, yang saling cakar gigit, nyikut, jilat sana, injak sini untuk kepentingan pribadi yang bermuara pada kekuasaan, komplit sudah. Yang mengakibatkan masalah Ambon makin jadi ruwet kayak rambut Bob Marley. Lagunya raja dang dut Jamaica ini, bilang: get up stand up, get up for your right. Bener juga, tapi dalam prakteknya, mesin birokrasi plus centengnya (Abri misalnya), akan menindas setiap pemikiran seperti itu. Contoh gampang, waktu om Habibie (habis bawaannya bagi-bagi cipokan pipi, juga buat para Jendral) berkuasa, banyak geng ICMI di Barat yang percaya sama rayuan gombal si Rudy Kancil (nama samaran si om di Hamburg  jaman MBB dulu). Malah pasang badan membela raja kapal terbang capung ini. Tujuannya , kalow bukan untuk menjilat, lalu ngarepin jabatan kelak. Contoh klasik, sudah ada sejak jaman Jahilliah.

 

Begitulah soal Ambon bisa bisa jadi biasa. Karena Jakarta menganggap biasa mengirim strafexpeditie kemana mana di pojok pojok Indonesia. Yang untung ya para Jendral di Cilangkap. Nggak ikut perang (ngirim perintah lewat e-mail), tapi banyak rejeki dari biaya perang yang disunat untuk masuk kantong pribadi. Masak kaum terpelajar di Barat mau saja suka rela dikelecein. Kalau tidak mau. Bikin diskusi yang kritis dong, kan katanya orang sekolahan, biasa baca buku, biasa mikir, apalagi yang kurang?

 

Tapi kalau kita mau jadi seperti di Balkan, silakan. Saya tidak mau. Bangsa bangsa yang ada dikepulauan Nusantara, tidak semuanya mau jadi kambing guling dalam pesta kaum kapitalis Barat, yang modalnya ternyata bikin kita bunuh-bunuhan. Tambahan lagi sudah cukup lama nasib kita selalu diadu oleh pemikian devie et impera, yang bikin hidup kita tetap jadi bangsa kuli. Mungkin semboyan Berdikari bisa dipakai untuk melawan modal asing, yang sifatnya ekspansif dan agresif. Lalu jangan lupa dengan Pax Christie yang selalu ngebonceng modal dari Barat. Kadang kadang mereka lupa, ikut bawa kayu bakar juga. Seperti contoh dari CDA (Belanda) yang selalu pedas mengeritik Jakarta dalam soal Ambon, sedangkan kita dengar, mereka juga ikut main. Runyam ya.

 

*Heriyansah Latief, seniman gagal, lahir di Jakarta, tinggal di Belanda sejak 1985 hingga saat ini.

 



Kembali ke APII Aktual