oleh: Iwan Setiabudi
Demo dihubungkan dengan Seminar, dipaksakan? Tarik-menarik saksi dari kedua pihak. Kekuatan Hukum Indonesia dipertanyakan dalam melawan Dwifungsi Pemerintah. Ada apa dibelakang ini semua ?
Indonesia Emas...rakyat cemas Peringatan HUT R.I ke-50 dengan menggunakan istilah Indonesia Emas benar-benar gemerlapan. Ibukota Jakarta menjadi pusat dari arena kemenangan. 50 tahun yang lalu terbayang di benak kita, bagaimana para pejuang-pejuang kita merebut, memproklamasikan kemerdekaan Republik dengan disambut seluruh rakyat Indonesia yang sudah lama menanti saat-saat yang didambakan...KEBEBASAN...KEMERDEKAAN !!! ...Atas Nama Seluruh Bangsa Indonesia ...Soekarno-Hatta, kalimat terakhir dari secuil teks, akan tetapi memerlukan pengorbanan besar. Seberkas harapan dari berjuta-juta jiwa yang terpendam, dari keinginan-keinginan murni yang tak terbendung lagi HASRAT UNTUK MERDEKA...untuk SELURUH rakyat Indonesia !!! 50 tahun lewat, keadaan Indonesia secara phisik mengalami banyak kemajuan. Hal yang tidak bisa kita pungkiri. Jakarta bersilau, Indonesia bersinar seolah olah cahaya telah dipancarkan keseluruh dunia. Inilah selimut Jakarta, kain penutup berbenang emas dipaparkan keseluruh Indonesia, membuat kita lupa akan kehadiran sinar alam. Kekuatan yang tak termanipulasi oleh apapun. Dunia geger dengan lubang ozon... Kebiasaan...suatu refleksi keadaan setelah timbul korban oleh ulah manusia sendiri. Kacamata luar semakin melihat kebobrokan bumi, inilah kenyataan! Segelintir manusia boleh bangga dengan kemunafikannya.
Partnerland
Awal Bulan Maret, kata ini tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Hampir seluruh dunia tertuju perhatiannya pada acara Pameran Industri International Hannover ( Hannover Messe ) di Jerman. Khususnya buat "seluruh" ( baca : segelintir ) Bangsa Indonesia merupakan suatu kepuasan tersendiri. Dengan berlabel Indonesia Emas telah dipamerkan hasil INDUSTRI putra-putri tanah air di Jerman. Tidak tanggung-tanggung bahkan Soeharto ( Presiden R.I ke-2 ) ingin ikut serta menikmati hasil hasilnya dengan diiringi para ajudan dan konglomerat.
"Partnerland" secara langsung dapat diartikan partner=rekan, sejawat, Land=negara. Istilah ini sangat tepat digunakan dalam bentuk kerjasama yang sifatnya menguntungkan kedua-belah pihak. Tampaknya istilah ini sudah semakin menjamur khususnya dalam hubungan kerjasama antara Jerman-Indonesia. Kita lihat beberapa kota telah bermesra-mesraan, Braunschweig-Bandung, Jakarta-Berlin adalah partnerstädte yang telah terbina sejak beberapa tahun. Hubungan ini tidak semata mata untuk lebih mengintimkan persahabatan tetapi bisa lebih diartikan sebagai lahan untuk membagi keuntungan. Kecenderungan ini tidak lepas dari program yang dikembangkan beberapa negara maju dengan tujuan untuk lebih meningkatkan peran mereka dalam suatu negara dengan melalui perkotaan. Bisa dimaklumi apabila keadaan ini kebanyakan terjadi antara negara maju dan berkembang. Contoh lain bisa dilihat juga hubungan antara Tokyo-Surabaya. Pada kenyataannya masalah UANG adalah faktor utama dalam kerjasama ini, dimana diharapkan sekali akan terjadi pembagian keuntungan dari kedua belah pihak.Faktor utama ini mungkin adalah masalah setiap bangsa. Tetapi persoalannya akan lain karena penyelenggara "Partner" adalah pemerintah yang berkuasa. Disini akan timbul pertanyaan, Apakah pemerintah telah menyelesaikan persoalan bangsa ini?
Apakah mereka benar-benar untuk Seluruh Bangsa Indonesia? Lebih jauh kita lihat, ternyata masalah UANG dapat menimbulkan permasalahan yang lebih luas dan mendalam lagi! Banyak kalangan yang menentang Indonesia sebagai Partnerland, bukan semata-mata tidak senang dengan kemajuan Bangsa Indonesia...TIDAK! Dengan kacamata rakyat kita bisa melihat. Beberapa kalangan oposisi Jerman juga bersuara keras memprotes, tidak luput NGO-NGO nasional maupun international ikut bekerjasama guna melancarkan aksi-aksi. Suatu hal yang aneh bahwa disatu pihak pemerintah Indonesia selalu berteriak untuk rakyat tetapi dilain pihak sebagian besar rakyat selalu mengeluh dengan kondisi tanah air lebih parah lagi kaca mata dunia sudah terarah keseluruh pelosok Indonesia.
Puncak dari acara adalah pertemuan dari 2 kepentingan. Demo terjadi beruntun di beberapa kota di Jerman. Gabungan dari beberapa kelompok yang terkoordinir rapi dengan slogan utama "Indonesia bukan Partner untuk HAM" ( kein Partner für Menschenrecht ) disuarakan dimana-mana yang dengan jelas ditujukan kepada penguasa. Demo besar di Hannover, Bonn, Dusseldorf seiring dengan kunjungan penguasa di beberapa kota. Kota terakhir sebagai penutup di DRESDEN, sebuah kota kesenian yang terletak di bagian timur Jerman. Buntutnya setelah kejadian di Dresden membuat kalangan penguasa morat-marit, hal ini tidak terjadi pada waktu demo-demo dikota lain maupun demo di Berlin yang terjadi pada tahun 1991 saat kunjungan pertama penguasa di Jerman. Beberapa pihak terpaksa bekerja dengan cepat guna membendung lahar yang muntah sehingga bisa dibayangkan dengan semangat ABS (asal bapak senang) semua diambil bahkan isue pun laris sebagai laporan resmi. Perintah-perintah mulai bertebaran, mulai dari yang atas sampai bawah Pesan khusus untuk Mabes supaya menangkap orang-orang Indonesia yang tersangkut dalam aksi Demo di Jerman, terjadi persis setelah kejadian di Dresden. Langkah awal yang menarik, perintah untuk menangkap Goenawan Mohammad ( Eks Pemred Tempo ), Yenni Rosa Damayanti ( Aktifis Mahasiswi dari UNAS, anggota PIJAR ) dan Sri Bintang Pamungkas ( Eks anggota DPR/ MPR ) yang diduga terlibat dalam pengorganisasian Demo di Jerman. Kunjungan Goenawan Mohammad di Eropa pada awal Maret agaknya di artikan lain oleh para pelacak ABS, begitu juga dengan kedatangan Yenni, Sri Bintang atas undangan beberapa Universitas di Jerman membuat peluang ini seolah olah emas.
PPI Cabang Berlin dan seminar
Kabar kunjungan ke Eropa anggota DPR/MPR, Dr. Ir Sri Bintang Pamungkas dan aktifis Mahasiswi dari UNAS, anggota PIJAR ( Pusat Informasi Jaringan Antar Reformasi ) telah beredar di Berlin pada pertengahan Maret 1995. Berita ini diperjelas dengan adanya undangan dari Humboldt Universität, Berlin. Kedatangan Bintang dan Yeni merupakan kesempatan bagi Mahasiswa Indonesia untuk dapat berdialog langsung serta menerima informasi terutama tentang kejadian-kejadian aktual di Tanah Air. PPI Berlin dalam kesempatan ini berinisiatif mengadakan acara Temu Wicara, hal serupa yang rutin diadakan apabila ada tamu dari Indonesia. Kepastian kesanggupan Bintang dan Yeni untuk hadir didepan mahasiswa kami terima setelah adanya jawaban atas surat undangan PPI. Selanjutnya Temu Wicara, yang terbagi dalam Ceramah dan tanya jawab diadakan pada tanggal 9 April 1995. Secara kualitas acara ini sangat menarik dan mendapat perhatian yang besar dari kalangan peserta dimana semua adalah masyarakat Indonesia. Antusias terlihat dengan munculnya berbagai pertanyaan yang tidak hanya dalam bidang ekonomi melainkan juga pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut ketatanegaraan sesuai dengan kedudukan Bintang sebagai anggota DPR/MPR dan Yeni mewakili aktifis. Sebagai analisa bersifat ilmiah dirasa sangat sesuai dengan garis-garis politik PPI. PPI dalam perkembangannya tidak semulus seperti yang dicita-citakan oleh AD/ART. Beberapa aktifis PPI bahkan cukup menerima penekanan-penekanan dari pihak penguasa.
Kegiatan Diskusi merupakan sarana yang sering dijadikan manuver politik penguasa dalam rangka meredam pemikiran-pemikiran para mahasiswa. Bukti -bukti tersebut bisa berupa ancaman terhadap perpanjangan paspor, pencekalan atau yang sangat radikal sekalipun yaitu pencabutan kewarganegaraan Indonesia. Banyak mahasiswa dari berbagai kalangan yang hidup berpuluh-puluh tahun di Luar Negeri karena tidak bisa kembali ke tanah air. Keaktifan mereka di PPI tidak lepas dari tujuan bangsa ini sendiri. Berdirinya PPI bukan semata-mata hanya untuk mengenal bangsa dan negara tetapi ikut bertanggung jawab serta kewajiban dalam membina bangsa dan negara. Para pendiri PPI sangat menyadari akan hal ini yang kemudian dicantumkan dalam AD/ART PPI. Bunyi pasal 3 AD "PPI Jerman Barat adalah Organisasi Pelajar yang bersifat politis non partais yang meliputi seluruh wilayah Jerman Barat termasuk Berlin barat dan terdiri dari pusat, Regional-regional serta cabang-cabang." Dalam Politik PPI batas otonomi cabang jelas diputuskan, " karena PPI merupakan organisasi pelajar yang bebas ( bukan merupakan organisasi Pemerintah ) ia tidak boleh melaksanakan persoalan-persoalan yang menjadi urusan pemerintah ( contoh: pelaksanaan skreening tahun 1967 ). Dilain pihak sikap PPI itu harus terarah kepada negara dan tidak tergantung dari bentuk pemerintah yang sedang berkuasa. Jadi tugas PPI dengan tegas adalah menjalankan sosial kontrol ". Agaknya tujuan Khairul Saleh serta para pendiri PPI lainnnya, pada 4 Mei 1956 harus berhadapan dengan pihak-pihak penguasa DIKTAKTOR yang menggunakan topeng pembaharuan.
Jaman edan
" Sak bedjo-bedjone wong edan isih luwih bedjo wong iling lan waspada " kalimat yang sempat mengakar dimasyarakat merupakan perkataan yang diucapkan oleh seorang "Presiden" Republik Indonesia dalam wawancaranya di pesawat kepresidenan DC-10 Garuda setelah kunjungan di Jerman, Kazakstan, Uzbekistan dan Turkmenistan. .
Sangat disayangkan bahwa kalimat ini muncul dari seorang presiden. Beberapa rekan dari Medan mengadakan Demo yang intinya menyesalkan ucapan tersebut, kejadiannya malah 12 Orang dari para demonstran tsb ditangkap!!! dengan tuduhan mereka terlibat dalam Demo di Dresden!!!, meskipun mereka sendiri tidak pernah di Jerman sekalipun.
Dampak lain adalah tuduhan yang bertubi-tubi terhadap Sri Bintang. Sejak kedatangannya di Indonesia diperlakukan seolah-olah Bintang adalah tertuduh yang harus ditangkap. Ganjalan pertama datang, saat Bintang ingin hadir dalam acara wisuda anak tertuanya di A.S. Kasus pencekalan dirinya sudah dilakukan meskipun belum ada pernyataan resmi sebagai tertuduh. Kesan terlalu dipaksakan jelas sekali kelihatan dalam proses penangkapan terhadap Sri Bintang.
Go publik
Berbicara masalah go publik merupakan hal yang menarik apalagi kalau menyangkut masalah UANG. Pemerintah yang selalu mengatasnamakan seluruh Bangsa Indonesia telah berubah makna menjadi penguasa yang mengatasnamakan pengusaha. "Kesenjangan sosial masih merupakan problem utama , kita harus mengentas rakyat dari kemiskinan " menjadi slogan yang laris dikalangan elite sebagai kain tumbal penutup permainan kolusi dan korupsi. Cara berpikir mengentas kemisiknan dengan jalan memberi sedekah jelas bukan cara yang benar, rakyat tidak perlu dikasihani, kita perlu hak-hak kita dihargai!!! Toh yang katanya sumbangan untuk rakyat, seperti yang diusulkan penguasa beberapa tahun lalu melalui TAPOS ( Himbauan Soeharto agar penguasa menjual sahamnya sebanyak 10% pada koperasi ), hanya setali tiga uang. Usaha baru melalui Deklarasi Bali hanya merupakan acara nostalgia para penguasa dengan pengusaha pada masa mudanya, hasilnya...cuma menelorkan dana 400 Miliar dari paling sedikit 280 TRILIUN dana yang dimiliki para peserta HANNOVERMESSE,...ini juga masih rencana. Agaknya pengusaha sendiri sudah banyak yang mengeluh dengan ulah si Penguasa yang dianggap tidak becus mengurusi urusan UANG dalam negri. Satu sisi Bank Dunia tidak lagi memberikan bantuan sebesar dulu karena Indonesia dalam hal ini sudah tidak masuk negara berkembang...tapi bukan juga negara maju ( patokan GNP ) sisi lain menunjukan angka kemiskinan sangat besar. Ganjalan ini menjadi buah simalakama bagi pemerintah. Dana politik yang dulu bisa ditutup dengan hasil emas hitam nampaknya sekarang harus ditutup dengan pajak gelap atau pemerasan.
Suntikan dana dari luar menjadi primadona, berbagai cara ditempuh meskipun dengan jalan menjual Bangsa!!!Guna mengatasi hal ini beberapa pengusaha harus mengeruk isi kantong simpanan mereka. Dengan jalan go publik international bisa sangat dimengerti berapa banyak dana masyarakat yang berhasil mereka tanam di bank-bank luar negri selama ini. Bagaimana dengan nasib Dana Revolusi, mungkinkah sudah tercairkan dalam pabrik Lamborgini-nya Setiawan Djodi atau perusahaan IPTN-nya Habibie? Suatu pertanyaan besar bagi kita semua, apakah ini suatu langkah awal bangsa kita untuk mensejahterakan rakyat dunia!!!!????...wow ...bagaimana dengan nasib 120 juta rakyat Indonesia yang hanya hidup dengan uang Rp 2000/hari!!! Tampaknya Dwifungsi Pemerintah dalam hal ini sangat berhasil sehingga sangat sulit untuk membedakan mana yang pengusaha dan penguasa, yang jelas ke-2 nya sangat berperan dalam sistem politik di Indonesia. Akan kita pertanyakan lagi, seberapa jauh hukum sudah ditegakan untuk membatasi arah gerak Dwifungsi ini?
Hukum untuk siapa?
Seperti kita tahu bahwa kejadian Demo di Jerman telah bergulir ke Indonesia. Posisi Sri Bintang Pamungkas dalam beberapa waktu telah berubah dari saksi menjadi tersangka tanpa Hukum yang jelas. Hal ini terjadi karena protes keras dari pihak Bintang yang menyatakan kesaksian tidak relevan karena belum ada tersangka yang jelas, karuan dalam waktu singkat jabatan Bintang dinaikan menjadi tersangka setelah para penyidik ABS membuka kamus aji mumpungnya, dengan tuduhan awal penggerak Demo di Jerman!!!Tidak lepas juga tuduhan yang sama kepada Aktifis Mahasiswi Yenni Rosa Damayanti.
Tidak bisa dimengerti bahwa penguasa dengan seenaknya memberikan tuduhan secara ngawur, karuan hal ini membuat beberapa kalangan, terutama yang ikut langsung dalam pengkoordinasian Demo di Jerman, terkaget-kaget. Beberapa kalangan mis. dari Amnesti International, Watsch Indonesia dan beberapa LSM di luar negrei mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintah Indonesia, baik secara lesan maupun tertulis yang ditujukan langsung kepada penguasa. Berlanjut kemudian pada sidang IPU ( International Parlement Union) di Swiss kasus ini menjadi agenda yang serius dibicarakan. Pembahasan utama mengenai proses perecallan bintang dari anggota MPR/DPR yang dirasa oleh IPU tidak masuk akal. Indonesia sebagai negara anggota seharusnya mentaati peraturan-peraturan yang telah ditandatangani bersama itu. Tarik menarikpun terjadi antara pihak penguasa dengan pihak-pihak yang mendukung Bintang dan Yeni. Tampaknya usaha penyidik ABS tidak mengenal putus asa, hal ini mungkin karena sang "Bapak" belum senang. Tuduhan Demo pada kenyataanya justru memberatkan bapak-bapak di kedutaan dan konsulat di Jerman. Pernyataan Habibie tentang para demonstran yang dibayar dan penunjukan jari tengah Ali Alatas akan membuat persoalan-persoalan baru yang sebelumnya tidak diperkirakan. Bahkan tidak kalah serunya ucapan ex wapres Soedharmono yang dengan keras mengatakan bahwa orang-orang di kedutaan, konsulat kerjanya tidak becus!!
Ungkapan ini memecut larinya para ABS semakin kenceng. Berbagai usaha dilakukan termasuk tawar-menawar antara mereka sendiri. Banting setir 180 , usaha yang sudah laris di dunia International ternyata makin membuat rugi perusahaan. Konsep barupun digelar dengan tema Nasionalisasi!!! alias go publik nasional...dalam bidang hukum!!!???
Tuduhan baru
Diawali dengan langkah mula yang jitu dari para bintang di konsulat Berlin yang tampaknya harus kerja lembur untuk membayar hutang-hutang luarnegerinya. Laporan resmi mengenai kegiatan Bintang dibuat dalam waktu dan tempo secepat-cepatnya, hal-hal mengenai pemindahan pelaksanaan diserahkan sepenuhnya kepada Bapak..
Seminar-seminar Bintang, Yeni di berbagai universitas di Jerman menjadi sasaran berikutnya dalam usaha menjaring Bintang. Dalam 5kali seminar di berbagai kota, hanya satu seminar yang dipermasalahkan dan menjadi primadona, hal ini tentunya tidak lepas dari tema Nasionalisasi. Sebut, Seminar 30 Maret 1995 di Universitas Hannover atau 10 April 1995 di Humboldt Universität Berlin nampaknya kurang memenuhi persyaratan yang ada. Seminar 9 April 1995 di T.U Berlin nampaknya dinilai sangat strategis. Adapun dengan pertimbangan bahwa 100% persen yang hadir adalah masyarakat Indonesia, dengan penyelenggara mahasiswa yang tergabung didalam PPI Berlin ( Perhimpunan Pelajar Indonesia ). Ke-2 hal ini nampaknya sangat diharapkan sekali dapat melepaskan konsumen luar negeri yang haus akan barang dagangan penguasa.
Berkat usaha keras dan disertai PD (percaya diri) yang tinggi, laporan seminar Bintang, Yeni selesai dibuat lebih cepat dari jadwal yang ditentukan. Tanpa sepengetahuan satupun dari penyelenggara, tampaknya pembuatan laporan sampai pada pengirimannya ke Bapak sangat terorganisir rapi.( Forum Keadilan No 4, tahun 4, 8 Juni 1995, kesaksian dari Jerman ), bahkan saking rapinya sampai- sampai sang pembuat laporan tidak bisa tidur karena laporan yang telah sampai jakarta, dikirim tanpa sepengetahuannya, hal ini diungkapkan pada waktu beberapa pengurus PPI Berlin menemuinya di KJRI Berlin.
Dari Demo ke seminar, selanjutnya Bintang dituduh sebagai penggerak makar atau menyuarakan REVOLUSI, didalam suatu seminar!!! Pengiriman penyidik ke Jerman dilakukan guna mengumpulkan informasi dan barang bukti. Pemerintah Jerman ternyata menolak dengan tegas dan tidak memberikan ijin masuk kepada para penyidik. Toh hambatan ini akhirnya teratasi dengan dikirimnya para saksi yang memberatkan Bintang, dimana terdiri dari 4 orang, 3 mahasiswa Berlin dan 1 bukan mahasiswa. Selanjutnya kesaksian mereka didengar di Mabes POLRI.
Rapat Anggota PPI Berlin diadakan untuk mempermasalahkan tindakan-tindakan konsulat selama ini, yang dirasa menjadikan mahasiswa sebagai umpan empuk, terutama beberapa rekan yang aktif dalam kepengurusan PPI Berlin 94-95. Beberapa contoh bahwa pengurus tidak pernah dimintai keterangan dalam penyelesaian laporan, ke-2 bahwa pihak konsulat jelas memberikan informasi yang salah sehingga beberapa rekan mahasiswa menandatangani surat pernyataan. Adapun sebagai pembuka salah seorang konsul muda mengatakan bahwa surat pernyataan ini ditujukan untuk menangkal pernyataan Bintang, yang dalam pemeriksaan di Jakarta mengatakan tidak pernah berceramah di TU Berlin. Agaknya segala jalan ditempuh, yang pada dasarnya hanya ingin mencari saksi memberatkan. Lebih berat lagi ternyata para saksi tersebut tidak ada yang menjadi anggota PPI serta tak satupun yang menghadiri acara tsb hingga selesai.
Pihak Bintang ternyata juga tidak tinggal diam. Kemungkinan pertama adalah pengajuan untuk menghadirkan saksi-saksi yang meringankan dalam pemeriksaan maupun pengadilan. Beberapa kali pengajuan baik lesan maupun tertulis tidak mendapatkan jawaban yang jelas dari Mabes POLRI. Kedatangan Hendardi ( Direktur komunikasi dan program khusus YLBHI ) di Eropa banyak memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai perkembangan kasus Bintang terakhir, bahkan dalam pertemuan dengan para mahasiswa, yang diadakan oleh API Indonesia, Hendardi dengan gamblang menjelaskan kemungkinan akan dikirim saksi-saksi yang meringankan Bintang.
A de Charge
"Mabes Polri tolak permintaan saksi 'a de Charge" ( kompas 24.7.95), judul berita yang cukup mengagetkan, secara tak sengaja saya baca di pesawat. Sepintas dalam pikiran ada rasa cemas, bingung. Apa yang saya bayangkan hanya satu yaitu ketibaan saya di Jakarta akan sia-sia atau bahkan pihak kepolisian akan menjemput di bandara untuk mengantar lagi ke pemberangkatan. Saya masih ingat pesan dari YLBHI untuk segera, secepatnya berangkat meskipun Hendardi sendiri pada waktu itu belum tiba di Indonesia, sehingga keberangkatan kami sangat mendadak dan diluar rencana.
Belakangan diketahui, bahwa pihak Mabes Polri tidak menyerahkan kepada Kejaksaan Tinggi, seperti yang diberitakan pers atau ucapan Direktur Reserse Polri Brigjen Pol Drs Roesdihardjo, melainkan di Kejaksaan Agung ( berdasarkan regristrasi ). Penelusuran selanjutnya membuktikan bahwa BAP telah diterima Kejaksaan Agung pada tanggal 11 Juli 1995. Anehnya tidak ada pernyataan dari kepolisian, bahkan surat-surat yang dilayangkan sejak tanggal 20 Juni 1995 guna menanyakan kemungkinan pengajuan saksi meringankan, tidak pernah ada jawaban!!! Pihak Bintang dengan tegas mengatakan " jelas...mereka (Polisi) harus menerima saksi yang diajukan terdakwa ". Tak kalah tegas pula Brigjen Roesdihardjo menanggapi " bukan mereka yang menentukan tapi KAMI yang menentukan". Ribut mengenai persoalan Hukum tentunya tidak bisa lepas dari KUHP, seperti dijelaskan para pengacara Bintang sebagai dasar dari pengajuannya. Sebut Pasal 116 ayat 3 dan 4 KUHP " Dalam pemeriksaaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara " berikut ayat 4 disebut " dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut ".
Metode kucing-kucingan yang diterapkan pihak polisi sungguh sangat disayangkan, meskipun akhirnya pada tanggal 20 Juli 1995 berita itu bocor sampai ke pedalaman Berlin. Yang namanya Hukum bak main lempar dadu sungguh dapat dialami di Indonesia, terutama bagi masyarakat yang dibutakan oleh penguasa. Aneh tapi nyata !!! Pihak Bintang boleh sedikit lega dengan adanya kepastian, dimana BAP mendarat...eh tunggu dulu...pengecekan tanggal 25 Juli 1995 di Kejaksaan Agung menunjukan hasil yang sangat mengejutkan yaitu, menurut regritasi di Kejagung, BAP telah dikembalikan kepada Mabes Polri pada tanggal 17 Juli 1995 dan diterima pihak Mabes Polri pada tanggal 19 Juli 1995, dengan alasan BAP Bintang tidak memenuhi syarat untuk diajukan ke Pengadilan.
Angin segar buat pihak Bintang, karena dengan demikian polisi harus melengkapi berkas yang ada dan kesempatan untuk mendesak mereka supaya menerima saksi yang diajukan pihak tersangka. Jumat,28 Juli 1995 kami bersama tersangka, disertai pengacara dari YLBHI al Buyung Nasution, Luhut Pangaribuan, Dwiyanto Prihartono bertemu dengan Brigjen Roesdihardjo untuk memperjelas bahwa saksi telah hadir dan siap untuk diperiksa. Roesdihardjo langsung menanyakan mana saksi yang dari Berlin serta menyayangkan bahwa tidak diberitahu nama-nama saksi jauh-jauh sebelumnya. Pembicaraan berlanjut setelah Bintang dengan tegas menjelaskan bahwa sejak 20 Juni 1995, pada pemeriksaan terakhir, tercantum di dalam BAP nomor 78, butir C2, saksi-saksi tersebut adalah penyelenggara dan peserta Diskusi, yaitu ketua PPI, moderator dan peserta, dan sejak itu pula polisi tidak pernah menjawab permintaan dari LBH! " Mengenai data lengkap memang tidak disebut, untuk alasan keselamatan " ujar selanjutnya.
Dengan alasan akan dipertimbangkan dulu maka Roesdihardjo berjanji pada hari Senin,31 Juli 1995 akan memberikan kepastian. Pada waktu yang ditentukan, belum ada juga jawaban yang jelas, kali ini dengan alasan surat belum selesai diketik. Sorenya pukul 17.00 datang utusan dari Mabes untuk membawakan surat pemanggilan saksi meringankan untuk dimintai keterangannya, tetapi hanya untuk Iryanto dan Iwan. Pada saat itu juga kita menandatangani untuk bersedia hadir pada esok harinya.
Selasa, 1 Agustus 1995, pukul 10.00. Bersama Bintang, Luhut P, Dwiyanto tiba di Mabes Polri. Tim penyidik yang terdiri dari beberapa polisi, diantaranya Kapten Tugino dan Kapten Moegiharto siap memeriksa kesaksian. Iryanto ( Moderator ) mengawali kesaksian tepat pukul 11.00, adapun dengan jumlah penyidik yang hanya 2 orang maka pemeriksaan dilakukan bergantian. Kedua saksi lainnya akan diperiksa pada hari berikutnya, sedangkan Kris sampai saat itu belum menerima surat panggilan. Pukul 19.00 kesaksian Iryanto selesai. Di LBH langsung diadakan pertemuan dengan wartawan yang sudah seharian menunggu. 21 satu pertanyaan diajukan.
Rabu, 2 Agustus 1995, pukul 10.00. Kris menerima surat panggilan dan menyatakan siap memberikan kesaksian pada hari itu juga. Dari pihak polisi menyatakan setuju. Kami berdua diperiksa mulai pukul 11.00. Saya dengan Kapten Tugiono, Kris dengan Kapten Moegiharto. Kesaksian berlangsung sampai pukul 21.00. Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kami bisa dibilang sama, hal ini mungkin karena pihak penyidik mempunyai daftar pertanyaan yang sama. Meskipun demikian jumlah pertanyaan yang diajukan tidak sama. Saya mendapat 31 pertanyaan, kris dengan 26 pertanyaan. Dari persamaan yang, agaknya pemeriksaan dititik beratkan pada materi dari ceramah Bintang, 9 April 1995, TU Berlin. Ditegaskan bahwa inti dari ceramah adalah perkembangan Ekonomi di Indonesia kalau kemudian meluas tidak lain adalah karena pertanyaan dari para hadirin yang ingin tahu perkembanga politik atau masalah ketatanegaraan Indonesia. Juga dalam hal ini, Bintang sebagai anggota MPR/DPR dirasa informasinya sangat relevan dan ilmiah. Pertanyaan selanjutnya banyak diarahkan mengenai teknis pelaksaaan serta jalannya acara tsb. Acara yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu Ceramah dan tanya jawab. Hal serupa juga dialami rekan yang lain. Kris mendapat penekanan psikologi yang cukup sering. Kadang-kadang ada suara bentakan dari penyidik, ini bisa saya dengar karena ruangan kami bersebelahan.
21.30 kami meninggalkan Mabes Polri dengan salah satu pengacara dari LBH, Wisnu. Kedatangan kami di LBH sudah ditunggu dengan para rekan wartawan yang menunggu untuk meliput hasil pemeriksaan. Karena kondisi yang capai akhirnya diputuskan untuk pertemuan pers pada keesokan harinya. Begitulah akhir dari kesaksian kami. Perjalanan yang cukup panjang, penuh dengan kejanggalan-kejanggalan yang membuat kami lebih banyak tahu tentang kekuatan praktek hukum di Indonesia. Kasus Bintang masih berlanjut terus dengan ketidakjelasannya. Beberapa saat yang lalu ada kesan seolah-olah kasus ini akan di petieskan, toh kenyataanya kasus ini lebih dipersiapkan untuk di peradilan. Sementara ini pihak penguasa telah menyiapkan tuduhan al. penghinaan terhadap martabat Presiden R.I. Adapun alasan yang dipakai adalah sbb. bahwa kalimat atau kata-kata yang diucapkan terdakwa tersebut menyerang kehormatan nama baik dan martabat presiden Republik Indonesia, yaitu Soeharto yang pada saat itu tidak berada diruangan tersebut. ( Surat dari jaksa penuntut umum, Drs P. Sitindjak S.H, tanggal 6.10.95). Perjalanan kami menjadi menjadi saksi telah menjadi niatan yang mendalam. Seminar Bintang dan Yeni yang dengan sadar dilakukan untuk mengemban tugas sebagai mahasiswa Indonesia di Jerman, yang masih sadar akan beban yang dipikul rakyat Indonesia ternyata telah dijadikan ajang permainan politik para penguasa. Pemuda/ mahasiswa yang merupakan tulang punggung negara telah berubah fungsi menjadi sasaran empuk untuk menjadi kambing hitam. Di Indonesia kita lihat bagaimana perlakuan yang sewenang-wenang terhadap para mahasiswa. Tiga orang Mahasiswa dari Universitas di Palu, Sulawesi Tengah terkena hukuman skors 2 semester, hanya gara gara mengundang Bintang dalam salah satu acara Diskusi di Kampus. Atau beberapa mahasiswa ITSsurabaya juga dikenakan sangsi setelah mengundang Bintang dalam sebuah acara diskusi.
Tidak lepas dari rasa tanggung jawab sebagai penyelenggara Seminar, kami merasakan adanya kewajiban untuk menyelesaikan masalah ini. Sangat disayangkan bahwa justru ada rekan-rekan mahasiswa lain yang bisa dengan mudah menjadi timbal bagi penguasa. Kesediaan menjadi saksi yang memberatkan dalam hal ini merupakan keblingeran mereka serta tak lepas dari keserakahan para ABS. Kondisi demikian lebih memacu kami untuk lebih menggalakan kemandirian pemuda, mahasiswa baik dikampus maupun dimasyarakat. Perjuangan yang panjang untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki bagi seluruh Bangsa Indonesia.
S E K I A N.