KASUS BINTANG

ANTARA DRESDEN DAN JAKARTA (via Berlin)

Bag. II

oleh : Kristianto Suherman.

Persidangan Sri Bintang Pamungkas berjalan hampir genap 1 tahun. Isi tanya-jawab dalam ceramah PPI Berlin 9 April 1995 menjadi thema utama. Kata ´diktator´ diperdebatkan dalam persidangan. Opini lantas bertanya, apakah kata ´diktator´ tidak lebih baik dihapuskan saja dari perbendaharaan kata bahasa Indonesia, jika mengucapkannya saja tidak diperbolehkan?

Ringkasan Bag. I (Suara Demokrasi edisi Oktober 1995)

Pemindahan tuduhan terhadap Sri Bintang sebagai penggerak Demo di Dresden dan Hannover menjadi penghinaan terhadap martabat Presiden Soeharto dalam acara ceramah PPI Berlin 9 April 1995, tidak lain adalah dalam rangka meng-Indonesia-kan kasus ini, dengan mencoret campur tangan Jerman secara halus, tanpa harus merusak hubungan mutualismeantara kedua belah pihak. Keberhasilan ini disusul dengan cepat dan ngawurnya laporan-laporan yang simpang siur, malah ada yang sempat bocor dan sampai ke media massa (Forum Keadilan No. 4, tahun 4, 8 Juni 1995, "Kesaksian dari Jerman"), sebuah laporan resmi KJRI Berlin. Saksi-saksi memberatkan juga dipersiapkan. Entah apakah dengan iming-iming, tersebutlah beberapa nama, yang adalah bukan anggota PPI dan bahkan tidak satupun dari mereka yang menghadiri acara tersebut sampai akhir. Untuk menghadapi kesaksian mereka, pihak Bintang mengajukan saksi-saksi fakta yang lain, yang terdiri dari moderator, notulis (merangkap ketua PPI Berlin saat itu) dan notulis pengganti (merangkap sekretaris II PPI Berlin saat itu). Walaupun permohonan ini ditolak oleh Mabes Polri, pihak Bintang akhirnya berhasil menggolkan mereka untuk dimasukan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Tanggal 1 Agustus 1995 saksi Iryanto disidik oleh Kapten Tugino dan Kapten Moechgiyarto. Keesokannya Iwan dan Kris diperiksa secara paralel. Dalam penyidikan, pertanyaan-pertanyaan berkisar pada materi ceramah, tanya jawab dan persiapan serta pelaksanaan acara tersebut. Kasus Bintang masih berlanjut terus dengan ketidakjelasannya dan masih akan berlanjut di depan meja hijau.

Awal persidangan

Di penghujung 1995 tepatnya tanggal 8 November 1995, mimbar sidang akbar dibuka oleh ketua Majelis Hakim Syoffinan Sumantri. Dalam sidang tersebut berhadapan, yang merasa dihina, yang diwakili Jaksa penuntut umum P. Sitindjak dan yang dituduh menghina, Sri Bintang Pamungkas didampingi tim penasehat hukum dari LBH dipimpin Adnan Buyung Nasution. Walaupun isi persidangan belum pada materi gugatan, memasuki minggu ketiga dan keempat terdapat unjuk rasa ´anti Bintang´ dari sekelompok pemuda-pemudi berotot yang mau mengadili SBP dengan caranya sendiri. Ini tidak bisa kita lepaskan dari campur tangan sang penguasa. Pengrusakan mobil Sri Bintang seperti juga aksi terdahulunya pelemparan batu di rumahnya menunjukkan betapa mesranya hubungan sang penguasa dan preman-preman jalanan. Nb: baca Kabar dari Pijar edisi 02/95 ´Teroris Bayaran warnai Sidang Sri Bintang'.

Di lain pihak pendukung-pendukung Bintang, yang dapat disatukan dalam kategori ´menggunakan akal daripada otot´ dan ´moral daripada ABS´ , seperti para santri, mahasiswa-mahasiswi, aktifis-aktifis dari pelbagai kota selalu memenuhi gedung persidangan. Juga kritik-kritik dari luar negeri datang bertubi-tubi ditujukan kepada Presiden Soeharto yang sayangnya hanya menjadi koleksi pribadi.

Kedatangan saksi-saksi fakta

Pemanggilan para saksi fakta terwujud dalam sebuah surat tertanggal 1 Desember 1995 dari Kejaksaan Negeri Jakarta-Pusat, yang ditujukan kepada Departemen Luar Negeri untuk memanggil 7 saksi yang berada di Jerman. Saksi akan didengar tanggal 19 Desember 1995. Pada tanggal 13 Desember 1995, Iwan dan Iryanto menanyakan realisasi pemberangkatan ke KJRI Berlin. Konon perwakilan belum tahu tentang surat pemanggilan tersebut. Disarankan untuk men-telex langsung Kejaksaan Negeri. Wah kebetulan! KJRI pasti punya Telex. Oh, tunggu dulu ! "telex di kantor pos aja, de"sembari menawarkan 100 DM cuma-cuma sebagai nilai tukarnya.

"Wah kurang, Pak!! yang kita butuh 3x 1200 DM buat beli tiket", komentar Iwan sembari menolak tawarannya.

Hari itu juga Iwan dan Iryanto menelpon saksi-saksi fakta yang lain, untuk menanyakan hal yang sama dan jika mungkin mengurus keberangkatan ke Jakarta bersama-sama. Ndilalah, mereka belum juga menerima surat panggilan. Belakangan terdengar khabar, saksi-saksi fakta yang memberatkan sudah tiba di Jakarta.

Ketidakjelasan ini dibawa ke pengadilan oleh tim pembela dengan mencantumkan pasal yang mewajibkan pihak kejaksaan menanggung biaya kedatangan saksi-saksi. Jaksa menolak dengan alasan tak ada budget untuk itu. Hakim lalu memutuskan supaya Jaksa memanggil ulang saksi-saksi yang belum hadir dan supaya biaya perjalanan tersebut `diatur' oleh pihak Kejaksaan. Jaksa akhirnya menyetujui dengan syarat setelah saksi-saksi tersebut memberikan kesaksiannya di pengadilan. Dalam surat panggilan kedua yang tertanggal 4 Januari 1996, tercantum 3 saksi yang belum hadir. Sifat surat tersebut `biasa', tidak seperti surat panggilan yang pertama yang bersifat `segera'. Tentang jaminan penggantian biaya tiket pesawat juga tak dijelaskan. Saksi-saksi meringankan diterbangkan dulu ke Jakarta dengan uang pinjaman, dengan harapan kata `diatur' bisa disinonimkan dengan `diganti' dan lagi kalau Jaksa tidak mungkir. Iwan dan Kris terbang dari Berlin pada tanggal 8 Januari dan Iryanto tanggal 15 Januari 1996.

Aksi seorang Jaksa

Keinginan dari pihak pembela Bintang untuk mengadakan cross checkantara saksi memberatkan dan meringankan, ditanggapi positif oleh Jaksa Sitindjak, yang malah bersedia mendatangkan kembali saksi-saksi memberatkan yang pada saat itu sudah kembali ke Jerman. Tak jelas pula, apakah Jaksa Sitindjak memang sengaja mau menunjukkan posisinya sebagai wakil si empunya negara, sehingga untuk saksi yang memberatkan `selalu' ada budget, atau..... memang segitu saja kwalitasnya.

Disamping ketujuh saksi yang didatangkan dari Jerman, ada juga 9 saksi yang diajukan oleh Jaksa Sitindjak, terdiri dari 4 anggota DPR dan 5 wartawan yang ikut bersama rombongan Presiden ke Jerman. Dalam kesaksiannya mereka menyatakan melihat terdakwa di pameran Hannover, Jerman. Pemanggilan 9 saksi tersebut dalam perkara ini sudah sangat tidak relevan, karena perkara ini sudah berpindah alamat ke ceramah PPI Berlin seperti tercantum dalam Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 24 Oktober 1995. Tetapi.. sekali lagi Jaksa Sitindjak bersikeras untuk memperdengarkan kesaksian mereka untuk membuktikan bahwa terdakwa berada di Jerman pada saat itu, padahal sejak awal terdakwa tak pernah menyangkal keberadaannya di Jerman. Kecuali kalau itu yang diisyukan oleh aparat-aparat penguasa. Sebut saja pertemuan 30 April 1995 di KJRI Berlin, dimana 9 mahasiswa yang hadir dalam ceramah SBP terkecoh oleh isu tersebut dan menandatangani sebuah pernyataan. 3 dari 4 saksi yang memberatkan berasal dari "kelompok 9" ini. Rupanya Jaksa termakan oleh isyu `orang sendiri'.

Surat Dakwaan Jaksa

Dengan Surat Dakwaan Nr. : Reg. Perkara : P.I-37/JKTPS/10/95 tanggal 24 Oktober 1995, dimana SBP sebagai terdakwa, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat memperadilkan terdakwa yang dianggap telah melakukan penghinaan dengan sengaja yaitu menyerang kehormatan dan nama baik Presiden Republik Indonesia Bapak Soeharto. Tercantum juga, bahwa perbuatan terdakwa adalah kejahatan yang diancam dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 134 KUHP jo pasal 136 bis KUHP. Surat Dakwaan ini ditandatangani oleh Jaksa P. Sitindjak. (Red: Demo di Dresden dikemanakan?)

Dalam surat tersebut juga menyebutkan, bahwa pada saat memberikan ceramahdihadapan orang banyak, terdakwa mengucapkan kalimat-kalimat penghinaan, antara lain :

"Jadi tentang Soekarno-Soeharto sama saja, mereka sebetulnya menyeleweng, apapun dalihnya, itukan PKI dan lain sebagainya, itukan cuma sarananya saja, CIA dan sebagainya itu sarananya saja"

"Tetapi intinya mereka menyeleweng dari UUD, ya kalau orang menyeleweng ya kaya gitu itu jadinya dia akan jatuh atau dijatuhkan"

"Jadi kalau tadi disebut-sebut tentang Soekarno dan Soeharto itu sama-sama diktator"

"Bahkan kalau Pak Harto dari sejak awal sudah kelihatan sekali anti demokrasi"

Kata-kata `memberikan ceramah' menimbulkan kesan, bahwa terdakwa dalam ceramahnya mengucapkan 4 kalimat diatas, yang sebenarnya diucapkan dalam acara tanya jawab (diskusi), yang mana secara hukum mempunyai nilai fatal yang bertolak belakang. Dari keempat kalimat dakwaan tersebut, hanya 2 kalimat yang menarik perhatian persidangan, yaitu kalimat no.1 dan 3. Adapun keempat kalimat diatas dicuplik dari transkrip kaset ceramah di PPI Berlin, yang `disita' polisi dari 2 saksi yang memberatkan.

Kesaksian di pengadilan

Sesuai dengan surat panggilan kedua, saksi-saksi meringankan akan didengar kesaksiannya pada tanggal 17 Januari 1996 di pengadilan. Sidang dibuka jam 9.00, dimulai dengan mendengarkan saksi ahli bahasa yang diajukan oleh Jaksa Sitindjak, Lukman Hakim, yang seharusnya memberi kesaksian seminggu sebelumnya 10 Januari 1996. Setelah kalimat-kalimat tersebut diperdengarkan (Jaksa butuh waktu 2 jam untuk mencari kalimat tersebut dalam kaset, dan mendapat peringatan dari Majelis Hakim), Lukman Hakim menilai kata `diktator' dalam rangkaian kalimat di atas mempunyai konotasi `menghina'. Adu argumentasi antara Sri Bintang dan tim pembelanya dengan saksi ahli terjadi. Pengertian kata `diktator' dari Ensiklopedi Indonesia dan penggunaan kata tersebut dalam sebuah ceramah ilmiah di Universitas Tehnik Berlin yang dihadiri oleh kebanyakan mahasiswa menjadi dasar argumentasi terdakwa dan tim pembela, yang tidak bisa diabaikan. Point penting lain berkisar pada kalimat :

"Jadi memang benar Sri Basuki bahwa UUD 45 kita itu disebut dengan eksekutif heavy. Jadi kalau tadi disebut-sebut tentang Soekarno dan Soeharto itu sama-sama diktator."

Dipotong oleh suara wanita dan mengatakan :

"Saya tidak menyebutkan itu!"

"Ya..saya, saya, saya betul.",lanjut SBP.

Lukman Hakim menafsirkan `saya betul' sebagai pernyataan terdakwa untuk membetulkan (baca : mempertahankan) pendapat sebelumnya. Dalam arti SBP menyatakan dialah yang benar dengan pendapatnya, bahwa "Soekarno dan Soeharto sama-sama diktator". Penafsiran ini ditolak oleh SBP. Debat berakhir hingga istirahat makan siang pukul 12.00.

Jam 13.00 sidang dilanjutkan dengan mendengarkan kesaksian Iryanto, yang secara singkatnya tercakup dalam beberapa point.

Pertama, saksi Iryanto tidak lagi mengingat kalimat persisnya (kata per kata) sehubungan dengan 4 kalimat dakwaan Jaksa, tetapi ia mengerti konteks dan alur pembicaraan menyangkut kalimat-kalimat yang didakwakan oleh Jaksa.

Kedua, Sri Bintang Pamungkas mengucapkan kalimat-kalimat yang mirip seperti kalimat dakwaan Jaksa itu dalam acara tanya-jawab (diskusi), bukan dalam ceramahnya. Berkaitan dengan ini, dijelaskan sistem yang digunakan pada saat acara diskusi tersebut, adalah sistem session, artinya pertanyaan dikumpulkan dahulu (±5 pertanyaan), baru dijawab satu persatu oleh pembicara. Sebelum menjawab setiap pertanyaan, pembicara selalu mengulang lagi atau menyimpulkan atau mencoba menyimpulkan pertanyaan si penanya. Sehubungan dengan 4 kalimat dakwaan yang diucapkan oleh SBP, yang bertanya adalah Soenarto dan Ny. Sri Basuki, yang dalam kaitan dengan pertanyaannya membuat prolog pendahuluan yang panjang.

Mengenai kalimat dakwaan 1, saksi menekankan pentingnya konteks tanya jawab antara SBP dan Soenarto. Dalam prolognya, Soenarto meragukan perubahan dari `dalam sistem' akan berhasil. Ia melihat SBP yang berada di `dalam sistem' malah direcall. Begitu juga ide partai independen hanya sebuah ilusi, menurutnya. Partai independen tersebut harus siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diduga-duga. Sebagai contoh, Soenarto menjelaskan, bahwa Gerakan 30 September bukan gerakan yang didalangi PKI, melainkan gerakan yang terprovokasi dengan isyu `Dewan Jendral' oleh kekuatan-kekuatan anti Soekarno, sehingga terjadi G30S. Ini dijadikan dalih oleh Soeharto, seakan-akan G30S didalangi PKI, yang akhirnya untuk menggulingkan Soekarno.

Dalam jawabannya yang berkaitan dengan kalimat dakwaan 1, SBP mempunyai persepsi yang lain. SBP menyatakan, bahwa apapun dalihnya : PKI atau CIA, atau yang lain-lainnya tidaklah penting. Mereka itu cuma sarana atau trigernya (Red: pemicu) saja. Intinya adalah Soekarno telah menyeleweng dari UUD 45, sehingga jatuh. Siapapun yang menyeleweng dari UUD 45 akan jatuh atau dijatuhkan. Kemudian ditambahkan oleh SBP, bahwa semuanya itu tidak single out, bahwa sebenarnya UUD kita mempunyai kelemahan yang memberi peluang terjadinya penyelewengan itu.

SBP mengucapkan kalimat dakwaan no.3 sebagai ringkasan atau interpretasi dari prolog Ny. Sri Basuki. Belum dalam taraf menjawab atau menyampaikan opininya. Penanya yang mempertanyakan kelemahan UUD45 (konstitusi yang berlaku dalam 2 masa kepemimpinan yang pernah ada di Indonesia) yang memungkinkan adanya kekuasaan absolut dan menggambarkan sistim tersebut seperti dalam sebuah kerajaan, dimana rakyat akan sejahtera, jika rajanya baik, dan sebaliknya, rakyat akan celaka, jika rajanya lalim. Sementara dalam meringkas prolog dari penanya, SBP menggunakan istilah diktator. Tetapi sebelum SBP menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong terlebih dahulu oleh si penanya dengan kalimat : "Saya tidak menyebutkan itu" (Red: interupsi ini juga menjadi bukti, bahwa SBP sedang meringkas prolog dari penanya), yang kemudian terjadi pembicaraan dua arah yang saling menyusul, yang pada intinya penanya menyatakan, bahwa Soekarno lebih demokrat dari Soeharto.Ditutup dengan kata `Betul!' oleh SBP, untuk menyatakan setuju terhadap ralat si penanya.Bahwa terjadi salah penafsiran adalah mungkin, dengan melihat kondisi saat itu.

Ketiga, kalimat demi kalimat yang tertulis dalam transkrip dari kaset ceramah dengan penempatan tanda titik dan koma dan intonasi seperti itu (dibacakan oleh Jaksa dan juga saksi diberikan kopienya), jelas dapat mengelabui arti sebenarnya. Untuk kalimat dakwaan yang sama seperti di atas, berikut versi sebenarnya :

(Sri Bintang Pamungkas)

(Ny. Sri Basuki)

blabla =tidak jelas dalam kaset

"Jadi memang benar Sri Basuki bahwa UUD 45 kita itu disebut dengan eksekutif heavy. Jadi kalau tadi disebut-sebut tentang Soekarno dan Soeharto itu sama-sama diktator - saya tidak menyebutkan itu, - Ya - blabla..- Saya.. - blabla..- Saya.. - blabla..- Saya.. - blabla.. - Betul!"

dan langsung disambung lagi oleh SBP :

"Saya sepakatbahwa Bung Karno itu lebih demokrat daripada pak Harto,....."

Dalam penjelasan berikutnya, SBP menekankan kembali untuk membedakan Soekarno pada masa sebelum (demokrat) dan sesudah (tidak demokrat lagi) kembali ke UUD45. Menurutnya, Soekarno menjadi demokrat tidak lepas dari pada orang-orang yang pernah dekat dengan beliau (Hatta, Syahrir dll), yang banyak belajar dari eropa tentang konsep demokrasi. Tapi itu bukan berarti demokrasi itu milik barat. Dalam Islampun banyak sekali nilai-nilai demokrasi, begitu penjelasannya.

Sementara menyangkut kalimat dakwaan 1

"Jadi tentang Soekarno-Soeharto sama saja, mereka sebetulnya menyeleweng. -Stop-

Apapun dalihnya, (itukan) PKI dan lain sebagainya, itukan cuma sarananya saja. CIA dan sebagainya itu sarana saja. Tetapi, intinya adalah, mereka telah menyeleweng dari UUD. Nah, kalau orang menyeleweng dari UUD, ya kaya gitu itu jadinya. Dia akan jatuh atau dijatuhkan. Dan saya melihat, bahwa ini tidak single out dari sebetulnya Undang-Undang Dasar kita itu mempunyai kelemahan."

Kesaksian Kris baru dimulai jam 15.00. Karena sudah cukup sore, maka isi sidang langsung pada materi 4 kalimat dakwaan. Seperti halnya Iryanto, Kris juga hanya mengerti hal yang menyangkut 4 kalimat dakwaan itu secara kontekstual, yang intinya 4 kalimat yang mirip dengan kalimat dakwaan, ada dalam kaitannya dengan tanya jawab antara SBP dengan Soenarto dan Ny. Sri Basuki. Saksi juga menjelaskan konteks tanya jawab tersebut, yang secara materi seperti kesaksian Iryanto. Menjelang jam 4 sore, sidang baru selesai.

Minggu berikutnya tanggal 17 Januari, giliran Iwan memberikan kesaksian. Dalam BAP dari Kepolisian (Mabes POLRI), yang menyangkut pertanyaan, apakah pernah mendengar keempat kalimat dakwaan di atas, Iwan menjawab `tidak'. Jaksa dalam kesempatan ini, menghendaki agar saksi Iwan ditangkap pada saat itu juga, karena dianggap memberikan kesaksian palsu. Untuk itu Jaksa ingin memperdengarkan sekali lagi kalimat-kalimat dakwaan dalam kaset sebagai buktinya. Berangkat dari pengalaman minggu lalu, Jaksa kini sudah menyunting kalimat-kalimat tersebut dalam sebuah kaset. Maksudnya untuk mengirit waktu, tetapi apakah menyunting kaset yang dijadikan bahan bukti atau petunjuk (Red: bukan barang bukti) bisa dibenarkan secara hukum ?

Sementara keaslian kaset sitaan tersebut masih diragukan, sudah ditambah lagi dengan ulah seorang Jaksa dengan menyunting kaset itu. Kembali ke masalahnya, seandainya saja Jaksa membaca keseluruhan BAP dari Iwan. Karena pada akhir BAP-nya, Iwan menyatakan sehubungan dengan pertanyaan tersebut, ia hanya diperbolehkan oleh penyidik (Kapt. Tugino) menjawab dengan `ya' atau `tidak', sehingga untuk memberikan keterangan yang menyangkut keempat kalimat tersebut adalah tidak memungkinkan. Materi kesaksian Iwan juga seperti kesaksian-kesaksian sebelumnya ditambah hal-hal mengenai persiapan dan pelaksanaan acara ceramah tersebut.

Pada hari itu pihak pembela Bintang juga mengajukan saksi Saiful, wakil ketua PPI cabang Berlin saat itu. Mengingat Saiful yang menghubungi SBP pertama kalinya di Jerman dan dalam ceramah juga ikut bertanya tentang revolusi. Dan diterima untuk diperdengarkan kesaksiannya. Apa yang disampaikan dalam kesaksiannya cukup polos dan frontal. Antara lain ia menyatakan, bahwa SBP yang sudah dikenal sebagai tokoh vokal, memang harus diorbitkan. Ditambahnya lagi, "kita sudah bosan dengan pembangunan yang digembar-gemborkan oleh tokoh-tokoh pemerintah.", yang disambut gemuruh tepuk tangan pengunjung persidangan.

Saksi saksi ahli:

Berikutnya pada tanggal 31 Januari adalah giliran saksi-saksi ahli yang diajukan oleh SBP dan penasehat hukumnya. Mereka adalah Prof. Dr. Yus Badudu sebagai saksi ahli bahasa dan Prof. Dr. Harun Al Rasyid sebagai saksi ahli tata negara. Keduanya menyatakan bahwa `kalimat diktator' (Red: kalimat dakwaan 3) bukanlah merupakan penghinaan. Yus Badudu menambahkan, bahwa pengertian itu juga tidak merendahkan martabat seseorang. Lain halnya jika ucapan itu ditujukan kepada orang yang ada didepan pembicara sendiri. Ia menilai keempat kalimat tersebut menggunakan bahasa ilmiah yang obyektif, dengan diucapkannya kalimat-kalimat itu dalam sebuah ceramah. Dalam kesempatan lain, Yus Badudu juga menjelaskan bahwa kekeliruan memberikan tanda baca dalam transkrip, bisa memberikan pengertian yang berbeda.

Sementara itu Harun Al Rasyid menyatakan kata `diktator' mempunyai sifat netral. Ia mengungkapkan lagi bahwa belum pernah di dunia ini ada seorang warga negara yang diseret ke meja hijau karena mengucapkan kata `diktator'. Dalam negara demokrasi, menurutnya, setiap orang boleh mengungkapkan pendapat dan dijamin oleh hukum.

Gugatan di Jerman

Sehari sebelumnya, tanggal 30 Januari 1996 di Jerman, telah keluar surat gugatan ke pengadilan terhadap B.J. Habibie mengenai pernyataannya dalam beberapa surat kabar di Indonesia, yang menyangkut demo di Dresden. Diantaranya, Pikiran Rakyat, Terbit dan Surabaya Post 15 April 1995, dan Jakarta Post 17 April 1995. Penggugat adalah organisasi Conni e.V. (Red: salah satu penggerak demo di Dresden) yang berkedudukan di Dresden dan bergerak untuk kepentingan umum. Dalam Surat Gugatan tersebut, Dr. Baharuddin Jusuf Habibie duduk sebagai tergugat, dengan alamat Neuestr. 40 Kakerbeck, 39624 Stade, Jerman. Tercantum juga, kalimat "Tergugat, sebagai warganegara Jerman, tentu saja tunduk kepada undang-undang Jerman. Problem-problem yang menyangkut hukum internasional tidak menjadi halangan gugatan ini." (Red: diterjemahkan dari bahasa Jerman).

Isi gugatannya, bahwa tergugat telah secara sengaja berkata palsu untuk menodai kehormatan para demonstran dan penyelenggara demonstrasi. Secara hukum pidana, tergugat telah melakukan fitnah, yaitu melanggar pasar 186 StGB (Red: KUHP Jerman). Secara perdata melanggar pasal 823 ayat 1 dan 2 BGB. (Red: Hukum perdata)

Isi barang bukti diantaranya : Pikiran Rakyat, Terbit dan Surabaya Post 15 April 1995 : "Tapi tentu mereka didalangi oleh kelompok tertentu dan mereka dibayar untuk itu. Saya dengar mereka mengaku memperoleh bayaran 50 Dollar AS untuk melakukan demonstrasi itu". Jakarta Post 17 April 1995 : "Our consul in Munich was told by the protesters that they were paid more because they did it at night"

Sementara itu Wolfgang Schoeller (`consul in Munich') tidak pernah menyatakan keterangan-keterangan serupa itu tentang para demonstran dan penyelenggara aksi demonstrasi. Dan telah membuat surat pernyataannya, yang diserahkan ke pengacara Dr. Mathias Zieger yang menangani kasus ini, untuk dijadikan barang bukti.

Saksi yang menentukan

Permohonan pembela untuk memanggil saksi-saksi fakta lain, yaitu Soenarto dan Ny. Sri Basuki diluluskan oleh Hakim Ketua Syoffinan Sumantri. Sementara untuk menghadirkan Kapten (Pol) Moechgiyarto yang membuat laporan demo di Dresden dan Presiden Soeharto ditolak, karena dianggap tidak relevan lagi. Jaksa berkewajiban mendatangkan Soenarto dan Ny. Sri Basuki sebagai saksi yang menentukan, guna mencari kebenaran materiil soal ucapan SBP yang dijadikan dasar dakwaan penuntut sebagai penghinaan Presiden.

Setelah mengetahui baik Soenarto maupun Ny. Sri Basuki, keduanya dari mahasiswa/i ikatan dinas ORLA yang oleh pemerintah tidak diizinkan kembali ke Tanah Air, atau mungkin `diperbolehkan' dengan melalui `prosedur yang ada', Jaksa menjadi kebingungan. Dengan alasan ketidakjelasan identitas kewarganegaraan kedua saksi, Jaksa menyatakan kesulitan prosedur pemanggilan. Adnan Buyung Nasution menganggap alasan Jaksa tidak masuk akal, sebab hukum tidak mengenal warganegara. Sementara Moh. Assegaf dan Bintang menambahkan, saksi memiliki alamat yang jelas sehingga surat panggilan bisa dikirim langsung ke Berlin.

Tim pembela SBP memprotes, dijelaskan bahwa saksi bukannya tidak mau datang, tetapi surat panggilan dibebani dengan syarat-syarat (`sepanjang saudara masih WNI') yang tidak memungkinkan saksi datang.

Setelah melalui prosedur yang rumit, juga dalam kaitannya dengan perwakilan, maka 1 jam sebelum pemberangkatan, visa buat Sunarto baru keluar. Pada hari Senin, 4 Maret 1996, Sunarto untuk pertama kalinya setelah 34 tahun, berada dalam perjalanan untuk menjejakkan kakinya di Tanah Air kembali. (baca: Wawancara dengan Sunarto).

Sunarto yang didengar kesaksiannya pada hari Rabu 6 Maret 1996, menjelaskan isi tanya jawab antara dia dan SBP, yang bermula dari ide partai independen. Dalam ceramahnya, SBP memberikan ceramah tentang 10 pokok-pokok permasalahan ekonomi Indonesia. Menghadapi masalah ini, perlu ada perbaikan yang mendasar. Untuk itu SBP melihat pentingnya demokratisasi di Indonesia. Yang dijelmakan dalam ide partai independen, karena partai-partai yang ada sekarang tidak sanggup menyalurkan aspirasi rakyat yang semakin mendesak. Menanggapi ide SBP tersebut, ia mempertanyakan apakah gagasan itu bukan sebuah ilusi saja, sementara SBP sudah direcall sebagai anggota DPR. Namun SBP menyatakan suatu saat akan menjadi kenyataan, karena pembentukannya didukung ahlak, moral dan ilmu pengetahuan. Sunarto mengkonfirmasikan dalam prolognya ada kalimat yang berbunyi, "Kami dari pihak yang mendukung Soekarnopun sudah melihat keadaan Soekarno sudah membahayakan. G-30S yang sudah pecah itu sama sekali bukan gerakan PKI, tapi suatu gerakan yang diprakarsai oleh kekuatan-kekuatan yang anti Soekarno untuk menyiarkan berita Dewan Jenderal sehingga terjadilah suatu Gerakan 30 September yang akhirnya Soeharto mendapatkan dalih untuk menghantarkan G-30S didalangi PKI yang akhirnya bisa menggulingkan pemerintah Soekarno".

Dalam menanggapi hal di atas, SBP menyatakan soal CIA, G-30S/PKI bukan masalah utama. Tapi yang penting adalah telah terjadinya penyimpangan Orde Lama dari UUD45.

Juga dijelaskan, diskusi tersebut berlangsung dengan santai dan tidak ada rasa ketakutan di antara peserta dan tidak ada kesimpulan ceramah.

Ny. Sri Basuki yang juga diminta kesaksiannya, tidak bisa hadir, karena masih dalam suasana berkabung, suaminya yang baru meninggal.

Menjelang vonis

Dalam sidang-sidang yang terakhir, aksi unjuk rasa anti-Bintang kembali digelar, setelah sempat vakuum sekian lama. Informasi terakhir, SBP dituntut 4 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Sitindjak. Sementara Sri Bintang Pamungkas kini tengah mempersiapkan Pledoinya. Diperkirakan awal April ini, keputusan Majelis Hakim akan dibacakan. Menggenapi 1 tahun kasus Sri Bintang Pamungkas yang didakwa sebagai `Organisator Demonstrasi di Dresden' berpindah ke `Organisator Demonstrasi di Hannover' dan akhirnya bergulir menjadi `Penghinaan terhadap martabat dan nama baik Presiden Soeharto'.

Notabene

Beberapa anggota parlemen Jerman pertengahan 1995 menanyakan pihak KBRI di Bonn, mengenai kasus Sri Bintang Pamungkas ini dalam sebuah surat resmi. Pihak KBRI dalam jawabannya, menyatakan bahwa Sri Bintang Pamungkas didakwa karena menghasut mahasiswa-mahasiswa Indonesia dalam kesempatan ceramahnya di TU-Berlin untuk mengadakan revolusi. Dijelaskan pula bahwa Sri Bintang Pamungkas sudah melakukan hal yang sama di Indonesia, tetapi tidak berhasil.

Seperti kasus-kasus sebelumnya yang berjalan paralel, seperti pencekalannya, recallnya, ini menjadi bahan baru yang akan dibawa ke PTUN.

Secara keseluruhan, semua yang terjadi ini merupakan intrik-intrik yang tidak sehat dan tidak mendidik masyarakat untuk sadar hukum. Kasus Bintang ini menjadi salah satu indikator, bahwa demokrasi di Indonesia belum mendapat tempat yang selayaknya.

Proses demokratisasi di Indonesia akan terus berlanjut cepat atau lambat, diizinkan atau tidak diizinkan. Undang-Undang warisan Kolonial Belanda yang dipakai untuk menjaga status quo di Indonesia dahulu, layaknya dipertimbangkan kembali. Ruang gerak politik sudah harus dibuka untuk menghadapi arus globalisasi, karena menjadi syarat utama untuk mengikutsertakan mayoritas rakyat Indonesia, yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan buta tentang hak dan kewajibannya, dalam pembangunan dan akhirnya dalam persaingan bebas ekonomi nanti. Indonesia memang bukan termasuk negara yang terbelakang, tetapi terakhir sangat terlihat stagnasi dalam pembangunan. Dengan pengelolaan sumber daya alam yang lebih profesional, perbaikan sistem birokrasi dan sistem pendidikan, desentralisasi pembangunan serta pengembalian fungsi militer keasalnya, akan mempercepat proses pembangunan manusia Indonesia. Dan targetnya adalah tahun 2020.

Untuk itu, Indonesia memerlukan generasi-generasi muda non karbitan dengan ide-ide barunya. Pertanyaannya, apakah yang tua mau memberikan tongkat estafet ke yang masih muda atau....akan dibawa terus sampai ke liang kubur ?

Berikutnya, pembangunan yang bagaimana, yang akan dicanangkan dalam waktu 24 tahun mendatang ini ?

Salam Demokrasi !!


Kembali ke Daftar Isi