Sistim Dewan Mata Uang (CBS)
.
Presiden RI vs. IMF, di tengah2 Krisis Ekonomi Indonesia
.
Sejak dicetuskannya ide mengenai akan diterapkannya Currency Board System atau Sistim Dewan Mata uang, banyak fihak didalam maupun luar negri terpaksa harus bereaksi dan mengambil sikap. Tidak saja para pakar ekonomi dalam dan luar negri tapi juga para pimpinan negara2 industri termasuk pimpinan negara2 G7 yang baru selesai dengan pertemuan tahunannya di London akhir Pebr yang lalu. Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan latar belakang diperkenalkannya CBS di indonesia, polemik yang berkisar ttg CBS serta implikasi politik dari pertarungan antara Presiden RI vs. IMF dimana CBS merupakan modusnya.
I. Pengantar.
"Badai Pasti Berlalu!" demikian janji Presiden Suharto dalam pidato pengajuan RAPBN 1998/1999 didepan anggota DPR pada tanggal 6 Januari 1998 ketika keadaan ekonomi semakin memburuk, banyak terjadi PHK, banyak aksi2 protes dan huru hara diberbagai tempat. RAPBN tersebut ternyata sangat tidak realistis karena berdasar pada asumsi2 sbb: harga dolar AS Rp 5000,-(ketika itu kurs dolar AS sudah mencapai Rp 9000,-), pertumbuhan ekonomi sebesar 4 persen (padahal semakin hari semakin banyak perusahaan yang terlilit hutang dan bahkan semakin banyak perusahaan yang gulung tikar), pemasukan pajak yang meningkat (padahal dalam keadaan resesi dimana sudah banyak perusahaan yang bangkrut dan banyak terjadi PHK, maka dengan sendirinya pemasukan pajak untuk kas negara pasti menurun), harga ekspor minyak dunia dolar AS 17,- (padahal ada perkiraan bahwa harga minyak bumi dipasaran dunia akan turun, mengingat keputusan OPEC akhir 1997 yang lalu untuk menaikan volume eksport mereka), yang lebih penting lagi adalah bahwa nilai RAPBN itu "seimbang" pada jumlah Rp 133,- triliun,- padahal IMF menginginkan RAPBN dengan surplus 1% dari GNP. Perkembangan ini ternyata menyulut badai, dimana kurs dolar AS naik menembus angka Rp 11.000,- sehingga malah memperdalam krisis ekonomi Indonesia yang hampir separuh proses produksinya tergantung dari import barang, jasa dan modal asing. Memburuknya resesi ekonomi di Indonesia ternyata memperlambat tumbuhnya ekonomi negara2 industri termasuk negara adikuasa AS. IMF merupakan badan moneter internasional yang membawa kepentingan negara adikuasa merasa terprovokasi dan menjadi berang dengan RAPBN tsb. Beberapa hari kemudian para pemimpin negara industri membujuk Presiden RI untuk tunduk pada ketentuan IMF. 15 Januari 1998 Presiden RI menandatangani 50 butir ketentuan IMF dan berjanji untuk merevisi RAPBN (padahal hanya DPR yang berhak menerima, menolak atau merevisi RAPBN untuk menjadi APBN yang akan resmi berlaku mulai 1 April 1998). Tidak sampai seminggu kemudian yaitu pada 21 Januari 1998 kembali pasar devisa terprovokasi dengan berita bahwa B.J. Habibie (yang dikenal sebagai penghisap devisa negara dengan proyek2 besarnya) akan menjadi Wapres; akibatnya kurs dolar AS mencapai rekord tertinggi Rp 16.000,-. IMF (baca:negara2 industri) kembali berang dan kawatir terhadap komitmen Presiden RI untuk melaksanakan reform ekonomi. Sementara itu ekonomi terus memburuk dan huru hara anti golongan minoritas yang sampai memakan banyak korban jiwa. Pertengahan Pebruari yang lalu terpetik berita bahwa pemerintah RI berniat untuk menerapkan Sistim Dewan Matauang atau CBS (Currency Board System) yaitu pembentukan institusi moneter baru yang mengambil alih fungsi BI dalam menentukan stabilitas nilai intrinsik Rp (mengontrol inflasi) dan nilai ekstrinsiknya (kurs tetap Rp thdp dolar AS). Penerapan CBS jelas2 melanggar ketentuan no.20 s/d 22 letter of Intent IMF 15 Januari 1998 (pemberian otonomi terhadap BI yang akan dibantu IMF dalam menentukan kebijaksanaan moneter). IMF kembali terprovokasi dan mengancam untuk mencabut bantuan keuangan yang rencananya akan dicairkan pada 15 Maret 1998.
II. Pro & Kontra penerapan CBS.
1. Pro CBS
Menurut Prof. Steve Hanke (pakar ekonomi dari John Hopkin University, pendisain CBS utk Indonesia), krisis di Indonesia disebabkan oleh tingginya harga dolar AS; oleh karena itu kurs dolar AS harus turun dan tidak boleh ada fluktuasi kurs lagi. Argentina, Bulgaria dan Estonia dapat memulihkan krisis ekonomi setelah CBS diterapkan. Menurutnya, CBS akan membelenggu BI yang selama ini tidak mampu secara optimal mengelola sistim perbankan sehingga pemberian kredit tidak terkendalikan.
Pada hakekatnya CBS akan mematok kurs Rupiah thdp dolar AS pada nilai kurs tertentu sehingga tidak ada lagi fluktuasi nilai kurs. Jumlah uang beredar M2 (jumlah uang kertas, uang logam, rekening koran dan deposito jangka pendek) saat ini sebesar Rp. 340 triliun,-. Berdasarkan statistik moneter, menurut mereka yang pro CBS, berpendapat bahwa maksimal hanya sekitar 30% M2 akan ditukarkan ke dolar AS jika kurs dolar turun sampai Rp. 5000,-. Andai kata 30% dari M2 ditukar kedalam dolar AS saat CBS dilansir, maka dolar AS yang dibutuhkan paling tidak $AS 20,4 milyard,-. Menurut pengakuan pemerintah, saat ini BI menyimpan cadangan sebesar 21 milyard dolar AS; jadi penerapan CBS sangat relistis. Jika CBS dapat bertahan sampai sedikitnya 6 bulan, maka kepercayaan thdp Rupiah akan lambat laun kembali pulih, investor luar negri maupun dalam negri akan kembali menjalankan produksinya sehingga lapangan pekerjaan akan terbuka kembali. Pendukung CBS a.l: Peter Gontha (CEO Bimantara Group), Dr. Marie Pangestu (pakar ekonomi CSIS), Dr. Rizal Ramli (CEO Econit) dan Dr. Kwik Kian Gie (penulis tetap bidang ekonomi di harian Kompas). Dengan demikian Presiden RI benar bahwa "badai pasti berlalu!" Jika benar demikian maka pemerintahan orde baru akan kembali memperoleh banyak dukungan politik baik oleh pihak luar maupun dalam negri sehingga reform politik akan semakin sulit dilakukan.
2. Kontra CBS
Konsep CBS mendapat serangan keras terutama dari IMF, WB, para mentri keuangan G7, menkeu negara industri partner dagang Indonesia dan pakar ekonomi Indonesia a.l yaitu Prof. Emil Salim, Dr. Sri Mulyani (direktur LPEM-FEUI), Faisal Basri MA (staf pengajar pada pasca sarjana FEUI) dan Frans Seda (mantan mentri keuangan kabinet pembangunan). Menurut para ahli, ekonomi Indonesia masih sangat tergantung pada import sehingga current account selalu dalam keadaan defisit yang semakin membesar (menurut pidato Presiden dalam SU MPR tanggal 1 Maret 1998 defisit current account mencapai 8,1 milyard dolar AS!), dan lagi hutang LN sudah jauh melampaui $AS 100 milyard. Oleh sebab itu cadangan devisa akan selalu terkuras (yang menyebabkan kecenderungan naiknya karga dolar AS di pasaran devisa Indonesia) sehingga mendorong para spekulan untuk memborong dolar AS. Dalam resesi seperti sekarang, arus modal asing dalam bentuk dolar AS menurun drastis sehingga banyak yang meragukan apakah cadangan dolar AS pemerintah RI (notabene BI) cukup tersedia untuk keperluan2 impor, pembayaran hutang LN baik swasta maupun negara, tujuan2 spekulasi dan pelarian modal. Kalaupun ada, patut dipertanyakan tingkat likwiditas cadangan tsb (apakah semuanya dalam bentuk $AS? Bagaimana dengan cadangan mata uang kuat lainnya seperti Poundsterling, DM atauYen?). Selain itu apakah bentuk cadangan itu berupa kredit (stand by loan) dari fihak LN atau kredit tunai yang sudah dicairkan (disbursed loan). Kekhawatiran lain (jika ada kepastian bahwa CBS akan dijalankan) adalah diborongnya rupiah pada kurs dolar Rp 8000,- atau Rp 9000,- oleh para spekulan yang saat ini memegang dolar AS untuk nanti ditukarkan ke dolar AS pada kurs CBS $AS 1,- = Rp 5000,-. Sementara itu rupiah akan terkuras dari sistim perbankan nasional yang mengakibatkan meroketnya suku bunga. Tingginya suku bunga akan menahan kegiatan investasi sehingga resesi ekonomi semakin memburuk. Memburuknya ekonomi karena rendahnya investasi akan mempersulit ekspor (apalagi struktur ekspor non migas Indonesia yang tergantung pada impor barang modal, bahan baku penolong dan kapital asing) sehingga dengan sendirinya pemasukan devisa akan berkurang (saat ini harga minyak dunia sedang turun drastis, apalagi nanti jika Irak diizinkan menaikan quota ekspor minyaknya). Dengan direbutnya fungsi BI oleh CBS maka bagaimana penyaluran kredit berskala mini untuk pengusaha kecil, petani kecil dan nelayan kecil yang selama ini ditangani BI? Pendek kata, dilihat dari kwalitas cadangan devisa dan struktur ekonomi Indonesia, maka eksistensi CBS sangat diragukan kelanggengngannya dan bahkan dapat memperdalam krisis.
III. Implikasi Politik dari issue CBS.
Provokasi terhadap IMF dimulai pada akhir November 1997 ketika Bambang Tri (mantan pemilik bank Adromeda yang sejak 1 Nov. 1997 dicabut izin operasinya oleh Menkeu berdasar paket reform hasil persetujuan dengan IMF) kembali memperoleh izin pembukaan Bank yang didapatkannya dari Bank Alpha. Pada bulan Desember 1997 kembali terpetik berita bahwa Bimantara Group mendapatkan order untuk menjalankan proyek kilang minyak Situbondo yang sebelumnya ditunda karena proyek tsb memerlukan banyak devisa. Pada tanggal 30 Desember 1997 pihak pengadilan menunda penutupan Bank Jakarta milik Probosutedjo yang hampir berarti bahwa Bank Jakarta tidak jadi dicabut izinnya. Monopoli kertas oleh PT. Apex (milik Muhammad Bob Hasan) yang sedianya dihentikan ternyata terus berjalan sehingga harga kertas melonjak drastis (Indonesia salah satu produsen bahan pembuat kertas pulp terbesar didunia, tapi harga kertas dalam negri sangat mahal sehingga banyak perusahaan koran/penerbit buku yang terpaksa gulung tikar). IPTN, yaitu proyek BJ.Habibie yang tidak simpatik bagi pasar devisa juga dinyatakan terus berjalan. Monopol cengkeh BPPC yang dikehendaki oleh IMF untuk dihentikan ternyata terus beroperasi.
Provokasi yang paling frontal adalah signal akan diterapkannya CBS di Indonesia sekalipun IMF, WB dan segenap pimpinan negara2 industri menentangnya secara keras. Polemik CBS mendominasi topik media massa manapun yang meliput Indonesia. Belum lama sebelum itu, yaitu sepanjang bulan Desember 1997 tema pokok media massa adalah keadaan kesehatan dan kesenjaan usia Presiden Suharto. Kurs dolar naik ketika itu akibat pasar merasa ragu apakah Presiden RI dalam waktu dekat masih mampu menjalankan kewajibannya sebagai Presiden RI. Selain itu suksesi di Indonesia masih belum ada kejelasan. 15 Januari 1998 untuk pertama kali Presiden langsung berdialog dengan para wartawan di kediamannya (sebelumnya hanya terjadi di pesawat udara) dan sekaligus membantah issue ttg memburuknya keadaan kesehatannya. Dikokohkannya BJ.Habibie sebagai kandidat wapres, diangkatnya Jend Wiranto (mantan ajudan Presiden 1988-1993) sebagai Pangab, diangkatnya Sugiono sebagai KASAD (mantan komandan Pasukan Pengawal Presiden) serta diperkenalkannya CBS ternyata mengubah agenda media massa. Presiden Suharto sejak Januari 1998 secara ofensif menstabilisir posisinya sebagai institusi terkuat di Indonesia sementara IMF, WB dan pihak oposisi berada dalam posisi defensif (banyak aktivis yang nasionalis dan beberapa dari kalangan Islam bersikap antipati thdp bantuan bersyarat IMF!!); sementara itu negara adikuasa AS (juga IMF atau WB) belum menemukan mitra politik alternatif yang tepat di Indonesia. Akibat manuver politik itu adalah melonjaknya kurs dolar yang berarti memburuknya resesi (yang secara negatif mempengaruhi ekonomi negara2 industri) dan meningkatnya kesengsaraan/ketidak puasan dalam masyarakat. Tragisnya ketidak puasan yang terus meningkat tidak terorganisir; selain itu dikalangan oposisi tidak ada koordinasi dan kekuatan politik yang memadai untuk mengadakan reform. Organisasi yang efektif dan efisien merupakan kunci dalam politik (Korea Utara, Myanmar atau Vietnam sejak lama dilanda kemiskinan tapi reform politik tidak kunjung tiba karena militer dan birokrasi disana lebih terorganisir dari masyarakat madaninya). Presiden pada pidato SU 1 Maret 1998 memberikan indikasi bahwa di satu pihak program paket IMF gagal mengatasi krisis, dilain pihak persiapan CBS belum meyakinkan. Oleh karena itu menurutnya diperlukan jalan tengah (IMF plus) untuk keluar dari krisis. Utusan pribadi Presiden AS Walter Mondale mencoba menekankan dilaksanakannya paket IMF dia juga mengatakan bahwa misinya tidak untuk menghimbau Presiden RI untuk "lengser ke prabon"!. Yang jelas, masyarakat kecil yang merupakan majoritas penduduk Indonesia secara umum keadaanya semakin memburuk; Presiden RI sampai kini berhasil menggunakan krisis ekonomi untuk menstabilisir posisinya, dimana CBS merupakan salah satu modusnya. ..Priyanto.