Oleh : Ignas Iryanto & Rolf Susilo
Sudah 20 menit saya berputar-putar dengan
taxi saya di kota Berlin ini. Pusat pusat keramaian seperti kawasan Kudam,
Zoologischer Garten, Kantstraße telah beberapa kali saya lewati.
Penumpang saya malam ini memang agak aneh. Berpakaian rada kumal dengan
bau 'weizen bier' dari mulutnya, membuat saya mulanya mau menolaknya sebagai
penumpang. Namun pandangan matanya yang seperti tanpa harapan itu seketika
menerpa kalbu, membuat bibir terasa berat untuk menolaknya. Saya lalu membukakan
pintu belakang buatnya.
"Bitte...." (Silahkan....) Kataku dan kusambung lagi:
"Wo wollen Sie hin ?" (Anda mau ke mana?).
"Fahrt einfach weiter !!" (Jalan aja terus !)
Wah, agak sengak juga jawabnya. Tanpa "bitte" lagi, ini Jerman yang kurang tahu tatakrama. Kulirik lewat kaca spion depan. Oh, agak mabuk dia. Tak apalah, pikirku... lagipula setelah mengukur-ngukur potongan tubuhnya, rasanya masih mampu saya atasi jika dia ingin "kasar- kasaran". Rasanya jurus-jurus silatku belum punah seluruhnya. Pikiran terakhir ini membuat saya menjadi tenang dan mulai mengantar dia.
Kini sudah hampir setengah jam berlalu dan kelihatan sekali bahwa orang ini tidak punya tujuan pasti. Dia duduk dengan gaya letoy di belakang dan sekali-kali berkata: kekiri....kekanan....terus saja...dan kadang-kadang, coba agak perlahan... sembari kepalanya celingukan ke kiri dan ke kanan seakan-akan mencari-cari seseorang di tepi jalan tersebut.
Saya tersentak ketika melihat wanita wanita malam berkeliaran di sana. Jangan jangan bule ini mau jajan, pikirku. Memang wanita wanita timur dari Polandia, Ceko dan khususnya Rusia yang membanjiri Berlin akhir akhir ini menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah Jerman. Kedatangan wanita-wanita jalanan ini, dibarengi dengan hadirnya mafia mafia yang kegiatannya tidak terbatas pada bisnis sex semata tetapi juga obat bius dan bahkan perdagangan senjata. Berlin yang sedang didandani habis-habisan ini, kelak akan menjadi metropolitan internasional, lengkap dengan mafia mafia internasionalnya. Ahh, jangan jangan anak saya nanti tidak aman lagi kuliah di sini. Tapi persetanlah semuanya itu. Masalah saya saat ini adalah cari duit sebanyak-banyaknya agar dapat survive di Berlin untuk menyelesaikan studi saya. Itulah yang kini saya jalani...menjadi supir taxi di malam hari.
"Ehm..ehm..." Batuk penumpangku menyadarkan saya dari lamunan sesaat tadi. Lho sudah jam 10.30.... gila ini orang, mau apa dia sebenarnya ?
"Anda sebenarnya ingin kemana ?" Kuulangi lagi pertanyaan awal
tadi, kali ini dengan agak kesal.
"Anda punya masalah apa ?" Dia balik bertanya dengan agak sewot,
lalu sambungnya lagi:
"Yang penting buat anda adalah bahwa saya membayar ongkos taxi saya.
Toh, jam kerja anda belum usai."
Ini orang memang edan, malah galakan dia daripada saya. Kupinggirkan taxiku
lalu kuhentikan. Mesin dan argo tetap kujalankan.
"Okey Man...kini anda boleh membayar biaya yang sudah ada. Setelah
itu baru saya akan terus menghantar kemana anda mau. Jika tidak saya akan
panggil polisi."
"Kamu tidak percaya bahwa saya dapat membayar ?" Marahnya....
tersinggung juga dia rupanya. Tapi saya tetap bersikeras:
"Itu masalah anda, bukan masalah saya. Anda mau bayar atau tidak ?
Lihat sendiri tuh, sudah 65 DM."
"Schon gut." Kalimatnya melembut, dikeluarkannya dompetnya dan
diambilnya selembar 50 DM. Sambil memberikan uang itu pada saya, katanya lagi:
"Saya masih membutuhkan taxi anda dan saya akan bayar sisanya."
Kulirik dompetnya, tebal juga kelihatannya. Orang ini bukan gelandangan,
pasti dia mapu membayar... dan itu yang terpenting buat saya.
"Sekarang kita kemana ?"
"ke Pankow." Jawabnya, kali ini dengan mantap dan tegas.
Wah jauh juga tuh...ke daerah timur lagi, daerahnya kelompok skin head yang suka risih dan usil lihat orang asing. Tapi tak apalah, rasanya cukup aman jika terus berada dalam mobil. Dan lagi, lumayan juga kalau dengan menghantar orang ini bisa mendapat 150 DM nantinya. Kutancapkan gas mobilku, bergerak menuju Pankow.
Akhirnya kami sampai ke suatu perumahan bertingkat yang terkesan agak kumuh...sesuatu yang biasa di kawasan timur Berlin ini. Bangunan bangunan ex Jerman timur yang menanti giliran untuk didandani.
"Dapatkah anda menolong memanggilkan teman saya di lantai enam.
Namanya Jürgen dan tinggal di apartemen 621." Pintanya pada saya.
Kupandangi wajahnya dan sebelum sempat mengucapkan apa apa, dia telah
melanjutkan:
"Bitte..." (tolonglah...) Suaranya agak memohon.
Kubuka pintu depan, mengambil tas kecilku tempat segala dokumen penting dan uang tarikan tersimpan dan tak lupa pula mencabut kunci mobilku. Setelah tiga kali melangkah menuju wohnheim kumal tersebut, kubalikan badan dan kembali menuju taxi:
"Siapa nama anda ?" Tanyaku. Dia melengak dan sejenak kemudian,
rupanya setelah mengerti mengapa namanya harus kuketahui, jawabnya:
"Dirk." Singkat saja. Saya lalu kembali menuju pintu gedung itu.
Rupanya wohnheim ini tidak punya bel elektronik dari bawah, pintu utamanya tidak terkunci. Saya masuk dan melihat lift tua ditengah lantai dasar itu dan mengumpat dalam hati ketika melihat tulisan "außer betrieb" (rusak) di lift tersebut. Saya lalu menggunakan tangga samping. Capai juga untuk sampai di lantai enam dan segera mencari apartemen 621. Tidak sulit menemukannya. Kupencet bel dipintu apartemen itu.
"Siapa diluar ?" suara seorang wanita muda.
"Dirk ingin bertemu Jürgen." Jawabku sekenanya.
"Anda toh bukan Dirk...siapa anda ?"
"Saya sopir taxi dan Dirk adalah penumpang saya. Dia sedang menunggu
di mobil. Apakah Jürgen di rumah ?"
Agak lama kemudian baru terdengar jawaban wanita itu.
"Katakan padanya bahwa Jürgen tak ada di rumah."
"Alles klar." (Baiklah) Jawabku dan segera menuruni tangga.
Jelas si Jürgen itu ada di rumah bersama wanita itu dan dia tidak mau
menemui Dirk. Wanita itu, kemungkinan besar adalah teman kumpul kebonya Jürgen.
"Jürgen tak ada di rumah." Kataku pada Dirk singkat. Tak
kuceritrakan mengenai wanita tadi.
"Tak ada seorangpun di rumahnya ? Orang lain maksudku." Tanya
Dirk kemudian.
"Tak ada" jawabku lagi. Ahh, daripada di minta ke atas lagi
untuk menemui wanita tadi dan menitip pesan buat si Jürgen, demikian
pikirku dalam hati. Toh kemungkinan itu ada saja. Capai juga melewati tangga
menuju lantai 6.
"Sekarang kita kemana ?" Tanyaku kemudian.
"Pulang kerumahku...di Charlottenburg." Jawabnya lagi.
Kami bergerak lagi menuju pusat kota..menuju Charlottenburg. Kulirik argoku, 96 DM. Sampai Charlottenburg dapat kukantongi 30 DM lagi, lumayanlah. Beberapa kali Dirk menghela napas panjang sambil menggumam sesuatu yang tidak jelas. Ahh, bukan urusanku. Aku tersentak lagi. Begitu sering pikiran, "bukan urusanku" menjadi landasan dari segala tindakan. Bukankah itu ciri egoisme. Apakah setelah 5 tahun menjadi bagian dari kehidupan Berlin ini, saya juga terjangkit dengan penyakit modern tersebut. Rasanya ketika masih di tanah air, ungkapan "bukan urusanku" adalah ungkapan langka...lebih lebih ketika masih di desa.
"Di depan itu rumahku...nomor 73."
Kulihat kekanan jalan,
sebuah rumah bersusun lagi. Tapi jelas lebih asri ketimbang gedung di Pankow
tadi.
"Di lantai berapa anda tinggal ?" Tanyaku berbasa-basi. Argo
menunjukan angka 131 DM. Hatiku bersiul-siul.
Di lantai empat." jawabnya. Kupinggirkan taxiku dan kuhentikan. Dia
membuka pintu belakang, keluar dan lewat kaca pintu depan disodorkan satu lembar
50 DM kepadaku. Setelah itu berbalik menuju pintu rumahnya.
"Hey, anda masih harus membayar 31 DM lagi." Kataku setengah
berteriak.
"Saya tidak mempunyai uang lagi."
Ini orang rupanya mau mencari gara-gara. Kubuka pintu depan dan menghampiri dia, sementara dia terus saja melangkah menuju pintu rumahnya.
"Anda lihat sendiri saja ke Argo saya. Seluruhnya berjumlah......"
"Saya tahu, saya telah melihatnya. tapi saya tak punya uang lagi."
Dia mengeluarkan dompetnya dan menunjukan dompetnya. Penuh berisi kertas kertas
kecil, kartu nama dll tapi tak selembarpun uang yang ada. Mata saya telah
terkecoh oleh tebalnya dompet. Kami telah tiba di pintu, dia mengeluarkan kunci
dan mulai membuka pintu. Saya memegang pergelangan tangannya.
"Anda harus membayar sisanya, mengertikah anda ?!" Kataku keras.
"Hey, apa yang mau kaulakukan ? Memukul saya ?!" Dia melepaskan pergelangan tangannya dari peganganku. Tentu saja saya tidak akan memukul dia. Bukan karena takut atau hal-hal lain, namun karena hukum di Jerman memberi sanksi yang sangat keras bagi pihak yang memukul duluan, tidak tergantung pada pihak mana yang salah. Kalau ada pertikaian selesaikan secara hukum di depan petugas hukum, tidak main hakim sendiri. Itu prinsipnya dan itu ditaati.
"Tidak, tetapi anda harus membayar. Jika tidak saya akan memanggil
polisi."
"Dengarlah, saya akan naik ke apartemen saya dan mengambil uang. Anda
tunggu di sini."
Dia membuka pintu dan segera masuk. Lima menit berlalu, dia belum juga muncul. Kucari namanya di deretan nama penghuni gedung tersebut. Dirk... lantai 4, nah ini dia: Dirk Blumen-gartner. Kupencet bel ke apartemen-nya....berkali-kali dan juga tak dijawab. Dengan kesal teriakku ke atas:
"Dirk, jika kamu tidak turun dan membayar, saya betul betul akan panggil polisi !!" Beberapa kepala melongok lewat jendela yang terbuka:
"Hey, ini sudah tengah malam. Jangan ribut-ribut di sini !!" teriak seorang Opa dari lantai 3. Seorang Oma dari lantai 4, cuma melongokkan kepalanya dan meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. Saya sadar, saya telah membuat kesalahan. Orang orang itu berhak menelepon polisi dan sayalah yang akan dituduh mengganggu ketenangan mereka. Saya kembali ketaxi saya... ternyata argo belum saya matikan, kini menunjukan 140 DM. Saya biarkan saja argo berjalan dan mulai menelepon polisi.
"Ada masalah apa ?" Suara berat bertanya di telepon.
"Zahlungsschwierigkeiten !" (masalah pembayaran ) Jawabku. Mereka perlu tahu apa masalahnya, agar dapat mengirim orang dari kesatuan yang tepat. Dalam hal ini, pasti akan dikirim polisi kriminal, yang memang "siap tarung", karena biasanya yang tidak mau membayar tarif taxi adalah tipe tipe yang sok jago atau benar benar jagoan. 10 menit kemudian datanglah dua orang polisi. Betul dugaan saya, mereka dari polisi kriminal.
"Bagaimana masalahnya ?" Tanya salah seorang dari mereka.
Kuceritrakan seluruh kejadiannya. Setelah mencatat posisi argo terakhir, 151 DM, kami bertiga menuju ke apartemen Dirk. Rupanya Oma di lantai 4 tadi, mengamati kami dan lalu membuka pintu buat kami dari apartemennya. Kami segera menuju lantai empat. Ternyata di satu lantai ada 3 apartemen yang pintunya berdekat-dekatan. Di lantai empat, di depan pintu salah satu aparteman, telah menunggu si Oma tadi dan dengan suara dipelan-pelankan katanya:
"Si Dirk itu mengidap Aids dan usianya hanya tersisa dua bulan lagi."
Saya terkejut. Namun polisi itu dengan dingin berkata kepada Oma yang baik
hati itu:
"Terimakasih anda telah memberi tahu. Tapi itu bukan masalah kami.
Sekarang silahkan anda masuk ke kamar anda." Wanita tua itu masuk dan
menutup pintunya. Pikiranku menjadi tak tenang....dua bulan lagi umurnya. Dengan
langkah yang ragu saya menuju pintu apartemen Dirk. Salah seorang polisi menarik
saya ke samping. Mereka berdua mengambil posisi di kiri dan kanan pintu. Ahh,
mirip film film detektif saja, tapi mereka pasti polisi yang baik dan selalu
waspada akan segala kemungkinan.
"Dirk, kami anggota polisi...kami mohon anda membuka pintu anda." Pintu segera dibuka dan Dirk keluar.
"Nah, Junge Man (orang muda), bayarlah biaya taxi anda."
"Saya tidak punya uang lagi." Dirk mengulangi kalimat tadi.
"Tidak bisa begitu. Orang muda ini telah bekerja buat kamu dan kamu
harus membayar keringatnya."
Saya tidak berkata apa-apa lagi. Duit memang penting buat hidup saya, buat studi saya,namun pikiran bahwa sesama saya yang satu ini hanya akan hidup dua bulan lagi membuat saya menjadi tidak tega menuntut lagi. Dirk masuk ke dalam diikuti oleh polisi itu. Saya juga ikut masuk. Apartemennya berantakan, pakaian kotor berserakan di lantai. Di meja ada foto Dirk berdua dengan seorang lelaki...berpelukan. Dibawahnya tertulis: Jürgen Ich liebe dich. Jadi itulah Jürgen yang tadi dicari... mereka rupanya pasangan homo. Saya agak risih dengan pikiran itu, karena belum mampu merasa biasa dengan gejala sexual yang satu ini. Sebuah kartu pengenal tergeletak di atas meja. Sekilas kulirik, foto Dirk...namanya...alamat.. dan tanggal lahir: 29 Juli 1969. Masih muda orang ini..dan umurnya sisa dua bulan lagi.
"Saya hanya punya 20 Mark lagi." terdengar suara Dirk lemah.
Rupanya setelah dia membongkar-bongkar lacinya.
"Sisanya akan saya bayar besok...anda (kepada saya) dapat datang ke
sini jam 11.00." sambungnya lagi. Dua orang polisi tersebut melihat ke arah
saya.
Besok, saya tak punya waktu." Jawabku berusaha menghindar. Sebenarnya saya ingin membiarkan saja masalah ini. kalau dia tak punya duit sudahlah. Sebagai penderita Aids, jelas agak susah baginya mendapat tempat kerja dan tunjangan pengangguran dari negara sering tidak cukup.
"Saya terima 20 DM itu dan sisanya tak apalah." Bisikku kepada pak polisi.
Tidak boleh. Kamu telah bekerja dan dia harus membayar...itu aturannya. Menjadi tugas kami untuk menjaga agar aturan itu ditaati. Kami dibayar untuk itu. Kita atur begini saja. Saya akan memakai uang saya pribadi untuk membayar anda. Dan besok jam 11.00 saya akan kesini untuk mengambil uang dari Dirk. Okey ?"
Dirk mengangguk. Saya menerima uang dari pak Polisi sambil memandang Dirk...sekilas kulihat pandangan penyesalan di matanya.
Dan saya ? Saya sama sekali tidak merasa menang, saya malah merasa kalah.
Kujalankan mobilku dengan pikiran masih seputar Dirk. Tak ada niat untuk mencari penumpang lagi. Apa saja yang telah dia alami selama hidup ini ? Hangatnya keluarga, akrabnya persahabatan, mesranya percintaan, manisnya kesuksesan ? Apakah dia telah sempat mengalami semuanya itu. Dalam pertemuan singkat tadi, yang terekam hanyalah.. kesepian hidup, putus asa tanpa harapan. Dari pandangan matanya, saya yakin dia adalah orang yang baik budinya...mungkin saja Aids telah menghancurkan segala harapannya. Jürgen di Pankow itu, pasti pernah menjadi orang yang paling dekat dengannya. Di mana keluarganya ? Ahh, kembali lagu lama beralun -- hancurnya kemesraan keluarga di masyarakat modern ini. Negara ini memang maju, juga makmur namun selalu saja terbukti semua itu tidak cukup.
Kulirik jamku, pukul 12.14. Ahh, saya sebaiknya pulang tidur saja. Besok
tanggal 30 Juli saya harus ke.....nanti dulu, tanggal 30 Juli ?? Hari ini
tanggal 29 Juli....ahhh Dirk yang malang. Hari ini adalah hari ulang
tahunnya...dan juga hari ulang tahunnya yang terakhir. Pemuda malang, kesepian
dan tanpa harapan itu ingin menikmati hari ulang tahunnya yang terakhir. Dia
berusaha menghubungi teman dekatnya dulu namun temannya tidak mau menemui dia.
Tuhan, apa yang telah saya lakukan ??
Saya sama sekali tidak peka terhadap
sesama saya, saya egois....saya hanya memikirkan uang, uang dan uang.
Sesampai di rumah, masih saja pikiran itu mengganggu. Apakah saya salah ? Atau polisi tadi yang salah ? Dari sudut hukum dan tertib sosial, jelas sikap polisi tadi benar. Namun manusia diciptakan bukan untuk mengabdi hukum. Hukum memang harus ditegakkan dan semua warga-negara harus tunduk didepan hukum. Dalam hal ini, ibu pertiwi masih perlu diperbaiki karena dibandingkan dengan situasi di rantau ini masih jauh ketinggalan. Namun di balik itu, ada sisi sisi kehidupan yang membutuhkan sentuhan kemanusian yang tidak mungkin diatur oleh hukum dan aturan aturan kaku. Yaa, karena uniknya manusia itu, karena uniknya kehidupan itu sendiri. Di sana kepekaan nurani lebih berperan. Nah, apakah setelah hidup 5 tahun di Berlin ini, nurani saya telah menjadi tumpul ??
Di laci saya temukan sebuah kartu pos bergambar Bromo yang diselimuti kabut yang belum terpakai. Kutulis alamat Dirk dengan ucapan :
Besoknya, kuposkan kartu itu.
= Diangkat berbasiskan kisah nyata seorang sahabat. =