Kring...kring.....kring...". Telepon di meja-kerjaku berdering-dering. Kucoba berjalan cepat menuju ruang kantor, sembari menghindari tabrakan dengan para tuna-wisma yang bergerombol di ruang depan. Kututupi pintu kantor untuk mengurangi bisingnya suara obrolan para tuna-wisma tersebut. "Ksg....schönen guten Abend." (Ksg...selamat malam nan indah ) Sapaku ramah, paling tidak mencoba untuk ramah.
"Hier ist Kältebus...gibt es noch Plätze für drei Personen bei euch ?" ( Disini Bus Dingin. Masih adakah tempat bagi tiga orang di situ ?)
Sejenak saya bingung. Apa itu "Kaltebus" ? Tempat disini untuk apa ? Tiga orang itu siapa ? Beragam pertanyaan menyergapku, membuatku untuk beberapa detik terdiam, tak mampu segera menanggapi pertanyaan itu.
Hari itu hari rabu, akhir January. Musim dingin di Berlin sedang mencapai titik titik terendahnya. Konon ini musim dingin terdingin selama 6 tahun terakhir. Yaa, bagi tubuh berdarah katulistiwa sebagaimana makhluk melayu ini musim dingin terpanas di Berlinpun sudah akan terasa sangat dingin..apalagi musim dingin terdingin.....membuat kerinduan akan mentari di bumi nusantara menjadi-jadi. Hari itu juga menjadi hari ketiga saya menjadi "penjaga malam" di Ksg, sebuah perkumpulan mahasiswa di Berlin. Briefing singkat dari pimpinan ksg mengenai tugas tugas seorang penjaga malam masih belum dikuasai dengan baik, dan rasanya dalam briefing itupun tidak pernah disebut-sebut mengenai "Kältebus " (Bus dingin).
"Yaa..Hallo..." Suara dalam telepon kembali menyadarkan saya, bahwa ada pertanyaan yang segera harus dijawab. Yaa, saya toh harus mengatakan sesuatu.
"Saya adalah petugas piket malam yang baru di sini. Saya belum tahu apa itu Kaltebus dan .....".
"Ah Yaa ?! Kami adalah petugas sosial kota Berlin. Selama musim dingin ini ada beberapa Bus yang melakukan patroli malam dan bertugas untuk menolong para tuna-wisma yang kedinginan di Jalanan. (Ahh.. makanya dinamakan "Bus dingin", pikirku) Saat ini kami menemukan tiga orang yang harus ditolong. Kembali kepertanyaan kami tadi, adakah tempat di ksg untuk menampung tiga orang ini ?"
"Dapatkah anda menunggu sebentar....saya harus bertanya dahulu kepada kelompok kerja yang menangani tuna-wisma."
"Ohh, silahkan. Anda tutup saja teleponnya dan kami akan menelpon anda 10 menit lagi."
Kuletakan telepom dan ketika itu juga masuk seorang gadis manis ke dalam kantor. Gadis itu masuk tanpa terlebih dahulu mengetuk pintu...pasti dia adalah "orang dalam" di ksg ini.
"Hai..Grüß dich..." ( Hai..salam untuk anda ), sapanya sembari tersenyum. Kemudian dilanjutkan:
"Anda tentu petugas piket yang baru di sini."
"Yaa, saya mengganti Amir yang telah kembali kenegaranya, Palestina."
"Saya tahu hal itu. Anda bernama...?" Dia mengalihkan pandangannya ke daftar piket di dinding.
"Ngg---nggara.....". Hmmmm, diftong "ng" kembali mendatangkan masalah buat lidah cewek bule ini.
"Ngarawula..." Potongku, karena memahami kesulitan ucap yang dirasakannya. Ahhh, bahkan teman-temanku dari suku Jawa di kota gudeg dulupun merasa aneh dengan nama itu. Di desa, saya dapat berbangga karena artinya yang indah dalam bahasa daerah: pendamba bulan, alias pendamba keindahan. Namun di tempat lain nama itu menjadi aneh. Tapi itulah identitasku.
"Yaa..nama saya Anja. Nanti kita dapat mengobrol lagi. Namun kini, saya butuh bantuan kamu."
"Dengan senang hati." kataku sambil mencoba lagi mengingat-ngingat tugas seorang piket malam.
"Kami butuh dua pak kopi."
Nah, ini memang termasuk tugas saya. Kuambil kunci nomor 4 dan sambil membuka lemari dan mengambil kopi, saya bertanya:
"Anda tentu dari kelompok kerja Tuna-wisma..."
"Benar." Jawabnya. Dua bungkus kopi diterima setelah sebelumnya Anja mengisi daftar pengeluaran kopi dari lemari itu.
"Barusan saya menerima telepon "kaltebus". Mereka bertanya apakah kita masih dapat menerima tiga tuna-wisma lagi."
"Tiga ? Yaa, tapi tidak lebih dari tiga." Jawab Anja sembari keluar dari ruang tersebut. Dan ketika 6 menit kemudian telepon dari "Kaltebus" kembali berdering, dengan mantap saya dapat menjawab:
"Yaa, Wir haben noch Plätze für drei Personen. Aber bitte nicht mehr als drei."
"Okey, dalam tempo 15 menit, kami akan tiba di tempat anda."
Telepon saya letakan sembari melemparkan pandangan ke pintu. Seorang tuna-wisma, dari warna kulitnya kuyakin seorang asing (Ausländer) berdiri di depan pintu kaca tersebut dan memberi tanda ingin masuk. Kugeser kursi dudukku, berjalan ke pintu, membukanya seraya berkata:
"Yaa ?"
"Saya ingin menitipkan tas saya di kantor ini. Besok pagi baru saya ambil. Bolehkah ??"
Kuarahkan pandangan ke tas plastik di tangan kanannya. Cepat cepat dia menambahkan:
"Di dalamnya ada walk man. Ini satu-satunya sumber hiburan yang saya miliki. Kalau tas ini saya bawa serta ke dalam saal waktu tidur nanti, saya yakin besoknya pasti hilang."
Saya mengerti. Dia takut walk mannya di ambil sesama tuna-wisma selagi tidur. Tas plastiknya saya terima dan setelah menempelkan sepotong kertas bertuliskan namanya, tas plastik itu saya letakan di rak kelompok kerja tuna-wisma.
"Terima-kasih." Katanya lalu keluar sambil kembali menutupi pintu.
Di luar saya melihat ada antrian panjang dari para tuna-wisma yang membutuhkan pakaian musim dingin. Seorang mahasiswa dari kelompok kerja tuna-wisma membagi-bagikan Jacket, Pullover (baju hangat), kaus tangan. Saya jadi teringat bahwa beberapa kali di depan pintu masuk ksg terdapat tas-tas penuh berisi pakaian pakaian bekas yang bertuliskan:"Für AK Obdachlos" (untuk Kelompok Kerja Tuna wisma). Rupanya pakaian pakaian itu digunakan untuk membantu para tuna-wisma ini.
15 menit sebelum jam piket saya selesai, masuklah seorang pria berjambang lebat ke dalam kantor dengan membawa sebuah map tebal.
"Gruß dich." Sapanya singkat sambil terus berjalan menuju meja yang berhadapan dengan mejaku. Diletakkannya mapnya lalu mengeluarkan sebuah kalkulator dari laci meja. Beberapa saat kemudian dia tenggelam dalam kesibukannya tanpa menghiraukan kehadiranku di situ. Yaa..khas Jerman....jika sedang bekerja. Tiba tiba dia mengangkat kepalanya dan berkata:
"Dapatkah anda menolong saya ?"
"Dengan senang hati."
"Saya membutuhkan tiga buah copy dari surat ini." Katanya seraya menyerahkan sepucuk surat kepada saya. Surat itu saya terima dan dengan kunci ruang fotokopi di tangan segera menuju ruang fotokopi...kembali bersenggolan dengan tubuh tubuh para tuna-wisma di ruang depan. Di ruang fotokopi, saya sempat membaca surat dua halaman tersebut. Surat itu berasal dari kelompok kerja tuna-wisma, ditujukan kepada senat Berlin sebagai pengantar laporan pertanggung-jawaban penggunaan keuangan oleh kelompok kerja tersebut. Ketika kemudian menyerahkan hasil fotokopi kepadanya (belum juga saya tahu namanya), sekadar berbasa-basi saya berkata:
"Sebuah surat yang cukup penting yaa."
Dengan sangat antusias dia menjawab:
"Yaa, memang penting buat kelanjutan kerja kelompok kami."
"Apakah seluruh kegiatan kelompok anda dibiayai oleh senat Berlin ?" Tanyaku segera setelah melihat antusiasmenya menjawabi pertanyaan pertama tadi.
"Sebagian terbesar yaa. sumber lainnya adalah Ordinariat Berlin...itu lembaga administrasi di Keuskupan Berlin."
"Ada berapa kelompok kerja seperti ini di seluruh Berlin ?"
"Ada banyak. Semuanya didukung secara finansial oleh Senat..jadi yaa negara."
"Apa saja yang dilakukan oleh kelompok kerja anda ?"
"Tiap rabu malam selama musim dingin, seperti halnya malam ini, kami mengadakan "Nachtscafe". Para tunawisma dari mana saja boleh datang kemari. Kami menyediakan minuman hangat dan makan malam serta tempat menginap untuk semalam. Hari kamis pagi, jadi besok paginya mereka harus meninggalkan tempat ini. Jika ada persediaan, kami juga membagi-bagikan pakaian bekas buat yang membutuhkan."
"Jadi kelompok anda hanya aktif tiap rabu malam selama musim dingin ?"
"Oh, tidak. Tiap sabtu siang, kami juga menyediakan makan siang buat mereka. Ini dilakukan sepanjang tahun, juga di musim panas. Kadang kadang, kelompok kerja kami juga mengunjungi tempat-tempat dimana para tuna wisma ini biasa mangkal."
"Menarik sekali. Lalu apa yang dilakukan di sana ?"
"Tak ada yang istimewa. Yaa, sekadar ngobrol-ngobrol dengan mereka. Mereka toh bukan hanya lapar fisik dan dingin tubuh namun juga batin. Kadang kadang bukan makan ataupun minuman yang kita berikan yang terpenting buat mereka tetapi cara kita menyapa mereka dan menghargai mereka. itu yang lebih penting."
Saya terpana. Anak muda Jerman ini ternyata tidak sedingin penampilannya. Sekali lagi terbukti bahwa tindakan mengeneralisasi suatu masyarakat ataupun suatu bangsa dapat menjebak orang pada kesalahan penilaian pribadi pribadi. Di depan saya kini, duduk seorang pemuda dari masyarakat yang terkenal ego, dingin dan acuh...masyarakat Jerman, namun dia sendiri memiliki kekayaan batin yang belum tentu dimiliki oleh pemuda Asia yang konon lebih human. Tapi saya mencoba untuk membantah opininya.
"Tetapi bukankah itu memanjakan mereka ? Apakah negara harus selalu menyiapkan dana untuk memberikan pertolongan pertolongan seperti halnya di musim dingin ini. "
"Oh, tentu saja. Itu adalah kewajiban negara. Penyediaan kesempatan kesempatan yang dapat memandirikan orang orang ini jelas juga menjadi kewajiban negara untuk mengaturnya bersama dengan pihak pihak swasta. Namun selama orang orang itu belum dapat mandiri, negara wajib memberikan pertolongan. Atau apakah menurut anda, negara boleh diam saja berpangku-tangan menyaksikan orang orang ini mati kedinginan di luar ?"
"Jelas tidak, tapi ngomong-ngomong....kapasitas tempat di sini toh terbatas. Jika sudah terlalu banyak yang datang apakah anda dan teman teman anda terpaksa mengusir yang tak tertampung itu ?"
"Kami mengirimkannya ke tempat lain. Ada beberapa tempat penampungan semalam..seperti di sini, namun ada juga tempat penampungan yang terbuka sepanjang minggu. Kami selalu dapat mengirimkan yang tak tertampung di sini ke tempat lain."
Dia menengok jamnya dan kemudian berkata:
"Saya masih harus membantu teman teman di dapur, di samping itu waktu piket anda toh sudah lewat...jika anda mau, anda sudah dapat kembali ke rumah. Oh iya, ada sebuah buku yang sebaiknya anda baca." Dia mengambil sebuah buku di rak dan menyerahkannya kepada saya.
"Bagaimana pemerintah Jerman menyediakan segala kemungkinan bantuan sosial, juga lewat lembaga lembaga keagamaan...dapat anda baca di buku ini. Ada beberapa jenis bantuan sosial yang juga dapat diperoleh oleh mahasiswa asing..mungkin ada manfaatnya jika anda mengetahuinya. Setelah di baca dapat anda kembalikan ke rak tadi."
Dia benar sudah jam sepuluh lewat 5 menit. Namun sebenarnya masih banyak yang ingin saya ketahui tentang kelompoknya.
"Kapan kira-kira kita dapat mengobrol lagi. Saya ingin..."
"Anda kan dua minggu sekali melakukan piket malam di sini. Pasti kita akan bertemu lagi dan memiliki banyak waktu untuk berbincang-bincang. Dan..kalau anda mau, anda juga bisa datang di hari sabtu siang, ketika kami menyiapkan makan siang untuk para tuna-wisma ini. Jika anda tertarik anda dapat juga membantu kegiatan kami. Anda berasal dari negara mana ?"
"Indonesia."
"Indonesia ? Aha, tiga minggu lagi sebuah kelompok mahasiswa Indonesia akan membantu kami memasak makanan buat para tuna wisma ini di hari sabtu. Saya juga akan datang. Anda dapat datang dan jika tertarik dan bersedia, tentu saja anda dapat juga membantu."
"Ide yang baik. Apakah anda dan kawan kawan akan tidur di sini ?"
"Tentu saja kami tidur di sini malam ini...yaa bergantian. Kita toh tidak mau ada suatu hal yang terjadi diantara mereka di tempat kita ini. "
"Okey, sampai jumpa lagi"
"Cao...dan selamat malam."
Biasanya sebelum pulang, saya harus menutupi jendela jendela di seluruh gedung itu. Kali ini tidak perlu, karena adanya kelompok kerja tersebut dengan para kliennya. Sesampai di rumah saya baru sadar bahwa saya belum mengenal nama dari pemuda Jerman tadi.
Benar kata dia. Buku itu memberikan cukup banyak informasi yang berharga. Jika dilihat dari isi buku itu dapat dikatakan bahwa pemerintah Jerman ini bersama-sama dengan lembaga lembaga keagamaan yang ada menyediakan banyak sekali kemungkinan kemungkinan bantuan untuk orang orang dengan penghasilan rendah. Ada yang disebut Wohngeld, bantuan keuangan untuk menyewa tempat tinggal, bantuan keuangan untuk kelahiran anak, kindergeld..bantuan keuangan untuk anak setelah kelahirannya, erziehunggeld..bantuan keuangan untuk pendidikan anak dll.
Saya segera tertarik dengan kemungkinan untuk dapat menyewa sozialwohnung, tempat tinggal yang disediakan oleh negara untuk kelompok berpenghasilan rendah dan dapat disewa dengan harga relatif lebih murah.
Saya butuh ini...demikian pikirku sambil mulai membacanya dengan lebih teliti. Ternyata untuk dapat menyewa Sozialwohnung tersebut, seseorang harus memiliki sebuah surat yang disebut: WBS, singkatan dari Wohnberechtigungsschein yang dapat diperoleh di Wohnungsamt (Kantor yang mengurusi masalah perumahan penduduk).
Dan untuk memperoleh WBS seseorang harus mengajukan permohonan dengan melampirkan kartu pembayaran pajak. Dari kartu ini dapat terlihat penghasilan seorang penduduk. Bagi orang asing, dia juga harus melampirkan Pasportnya dan bagi mahasiswa disertai dengan kartu mahasiswanya.
Semua dokumen itu saya miliki, sehingga dua hari kemudian saya segera ke Wohnungsamt. Semuanya berjalan lancar. Saya meninggalkan Wohnungsamt itu dengan penuh harapan setelah mendapat janji bahwa WBS saya akan dikirim ke alamat saya dalam tempo tiga minggu.
Di hari sabtu 3 minggu berikutnya saya menyempatkan diri datang lagi ke ksg. Di sana saya berkenalan dengan 4 mahasiswa serta 3 mahasiswi Indonesia, yang seperti kata teman yang belum saya tahu namanya itu, akan memasak. Kelihatannya koordinator dari kelompok ini adalah seorang mahasiswa bernama Heri. Kagum saya melihat mahasiswa mahasiswi itu yang sangat cekatan memotong sayuran dan bumbu-bumbu asia yang ada. Saya mendengar mereka akan memasak soto kali ini. Soto?? Wah, saya sendiri sudah cukup lama tidak memakan soto. Wah, boleh juga nih, jika nanti mendapat kesempatan buat mencicipinya.
"Masih kurang pedes nih..."Kata seorang gadis setelah mencicipi soto tersebut.
"Emangnya melayu yang akan makan nanti. Bule bule itu nggak tahan pedes..gitu aja cukuplah."
"Lho, saya pernah kenal seorang bule yang sangat doyan makan pedes....katanya dia pernah berlibur sebulan di daerah Padang dan rasanya seperti berada di Surga karena masakan-masakan di sana yang pedes."
"Ah, itu nggak umum. Tapi kalau mau kita siapkan saja sambal pedes bagi bule yang ingin pedes."
"Ide yang baik."
Begitu diucapkan langsung dilakukan. Seorang mahasiswa segera mengambil sebotol sambal "Oelek" dari lemari dan menumpahkannya ke sebuah mangkok gede.
Ketika melihat mereka membagi-bagi makanan itu beberapa pertanyaan menyelinap masuk dalam hatiku. Apakah kegiatan mahasiswa seperti ini tidak dapat dilakukan di tanah air? Namun darimana biayanya ? Apa ada mahasiswa yang mau melakukannya ? Terharu hati saya melihat wajah wajah polos mahasiswa/i itu yang membagikan nasi, soto serta sambal kepada para tuna-wisma Berlin yang antri secara rapi.
Sambil membagikan makanan tak lupa mereka bertukar kata dengan orang-orang jalanan itu. Ahh, jika kegiatan seperti ini dilakukan di Indonesia, apalagi jika dilakukan oleh organisasi keagamaan pasti akan dituduh sebagai agamanisasi. Susah memang jika masyarakat terbiasa hidup dalam suasana saling curiga. Kadang kadang saya takut bahwa yang disebut kerukunan beragama di nusantara itu hanya ada di permukaan saja.
"Mau membantu ?" Tanya Heri kepada saya, setelah melihat saya hanya bengong memandang mereka.
"Iya deh..apa yang dapat saya lakukan ?"
"Tolong gantikan saya membagi nasi ke piring piring yang masih kosong."
Saya mulai melakukannya...awalnya agak canggung, lama-lama jadi biasa.
"Darimana dana yang kalian dapatkan?" Tanya saya pada gadis disamping saya yang lincah tangannya membagikan soto serta juga lincah mulutnya mengobrol.
"Semua rekening pembelian bahan makanan ini kami serahkan ke KSG dan akan diganti oleh KSG. Itu menjadi bagian pengeluaran Kelompok kerja Tuna Wisma."
"Ohh...tapi apakah anda anda ini dibayar?"
"Nggak dong...ini datang datang pikirannya komersil nih."
"Bukan gitu, saya cuma pingin tahu saja?"
"Kami ini bagian dari KSG dan kegiatan ini adalah bagian dari kegiatan KSG. Dengan senang hati kami membantu. Bahagia juga lho kalau lihat para tuna-wisma itu menyantap hidangan yang disiapkan.dengan nikmat bahkan bebeberapa kali minta tambah."
"Kan ada juga yang bandel....seperti tadi itu, bukannya berterima-kasih malah mengomel karena bukan masakan Eropa?"
"Orang seperti itu akan ada di mana-mana. Kami sudah tahu itu. Tapi yang paling bikin keki kalau mereka memuji-muji masakan ini sebagai masakan Thailand misalnya. Enak aja...ini masakan Indonesia."
Saya tersenyum mendengar celotehan bibir mungil itu. Ini anak manis, baik juga hatinya walau kelihatannya agak cerewet.
Setelah selesai makan diberikan Nachtisch. Sepotong kue agar-agar...ini juga khas Asia.
Ketika mencuci piring, yang juga dibantu oleh anggota kelompok kerja dari KSG, saya baru tahu nama pemuda Jerman mengobrol dengan saya tiga minggu yang lalu. Roland sudah dua tahun aktif di kelompok kerja itu dan sangat menikmati kegiatan itu. Dia juga kelihatan akrab dengan mahasiswa Indonesia yang memasak hari itu. Kepada Roland saya menceritakan tentang permohonan saya ke Wohnungsamt untuk memperoleh WBS.
"Bagus. Apakah kamu membutuhkan tempat tinggal dengan segera?"
"Tidak sangat segera. Saya mengharapkan 4 bulan lagi keluarga saya akan menyusul ke sini. Sudah 15 Bulan saya meninggalkan mereka."
"Oh, jadi anda telah berkeluarga. Memang berat jauh dari keluarga."
Setelah semuanya selesai termasuk dengan kegiatan membersihkan ruang makan, saya memohon diri pada Roland dan juga sahabat sahabat baru anak-anak Indonesia itu.
"Datang datang ke sini yaa. Kami biasa ngumpul tiap hari minggu."
"Iya deh, minggu depan saya akan datang."
Dua minggu kemudian saya memperoleh WBS yang berlaku selama satu tahun. Di dalamnya tertulis bahwa saya berhak menyewa "1-Zimmerwohnung" (rumah berkamar satu) dengan luas maksimum 50 m 2 .
Yaa, lumayanlah. Rumah (Wohnung) berkamar satu berarti terdiri dari satu kamar tidur, 1 kamar mandi dan wc serta juga sebuah dapur yang terpisah. Dengan luas 50 m 2 cukuplah sempit-sempitan dengan kelauarga nanti. Memikirkan hal ini, jantung saya berdebar-debar....debar rindu akan mantan pacar serta sang putra yang sudah cukup lama ditinggal.
Dua bulan kemudian, di Cafetaria kampus, saya membaca sebuah "Zettel" (pengumuman) tentang adanya sebuah "1-Zi.Wohnung" yang akan disewakan...aber WBS erforderlich, diharuskan memiliki WBS. Aha, ini yang saya cari. Dengan mencantumkan "WBS erforderlich" dapat dipastikan bahwa itu adalah sebuah Sozialwohnung. Malam itu juga, sesuai isi zettel yang dibaca, saya pergi melihat-lihat wohnung itu, yang terletak di lantai 10 sebuah gedung yang di depannya terdapat taman yang cukup luas. Saya sempat melihat bayang-bayang sebuah "Spielplatz" (tempat bermain untuk anak-anak) di dalam taman itu. Waduh, saya dapat bermain-main dengan anak saya nanti di taman ini. Harapan dalam dada mulai membuncah.
Kutekan bel di pintu. Seorang pemuda membukakan pintu.
"Guten Abend." Sapaku sopan.
"Guten Abend...Sie kommen um die Wohnung anzuschauen, nicht wahr?"(Selamat malam.., anda datang untuk melihat-lihat rumah bukan?)
"Yaa."
"Silahkan masuk."
Asri juga ini Wohnung. Ahh nggak, ini Wohnung biasa, yang membuat asri adalah cara pemuda ini mengatur kamarnya. Walaupun sudah cukup banyak barang-barang yang telah dikemas dan ditumpuk di tengah kamar, namun beberapa lukisan di dinding, taman kecil dekat jendela serta sebuah aquarium mini di pojok kamar, membuat wohnung itu menjadi sangat asri.
"Saya akan pindah minggu depan. Semua barang barang saya akan dibawa kecuali sofa ini. Saya bermaksud membuangnya tapi jika penghuni baru ingin meemakainya dapat saya tinggalkan saja di sini." Terdengar suara pemuda itu. Saya mengalihkan pandangan ke sofa yang ada di situ...masih lumayan bagus.
"Di luar ada balkon kecil." Katanya lagi sambil menunjuk. Saya melongokkan kepala dan menemukan apa yang ditunjuknya. Khayalan saya mengembang... mungkin tempat itu dapat saya gunakan untuk senam di pagi hari.. sesuatu yang sudah lama menjadi bagian dari irama hidup saya.
"Nah, bagaimana kesan anda? Tertarik untuk menyewanya?"Tanyanya lagi.
"Wohnung ini memang bagus." Jawabku setelah tidak lupa melongok ke toilete dan dapurnya.
"Bagaimana dengan Heizungnya(pemanas)? Tanyaku lagi setelah sadar bahwa hal itu sangat penting buat darah katulistiwa ini.
"Bagus,.seperti yang anda lihat, ini Zentral Heizung. Jika anda berminat, secepatnya anda ke "Verwaltungnya"(kantor administrasi). Ini alamatnya. Besok jam bicara mereka mulai pukul 9.30 sampai 14.00. Banyak yang telah datang kesini dan menyatakan berminat."
Saya menerima secarik kertas bertuliskan alamat Verwaltung dari tangannya dan mohon pamit dari orang ramah itu. Yaa, di Berlin ini menemukan orang ramah adalah suatu karunia.
Ketika pulang saya sengaja melewati taman di depan gedung. Bayangan akan putra saya yang berlari-lari mengejar bola di taman itu, sekali lagi menggetarkan kerinduan hati. Ah, besok saya akan segera ke verwaltung.
Tepat jam 10.00 saya berada di kantor itu.
"Selamat pagi." Sapaku kepada sang ibu yang duduk di ruang penerimaan tamu.
"Pagi. Dengan siapa anda ingin bertemu?"
"Saya tidak tahu. Saya datang dalam kaitan dengan wohnung di Kothenerstrasse."Jawab saya sambil menunjukkan kertas kecil dari pemuda penghuni wohnung kemarin malam.
"Ohh itu. Sudah banyak orang yang kemari.. bahkan sejak kemarin. Tunggu sebentar yaa.." Dia menelpon sebentar dan kemudian berkata lagi:
"Anda tunggu sebentar di ruang tunggu. Anda bernama...?"
"Ngarawula...Ferdy Ngarawula."Jawabku cepat.
"Yaa, Herr Ngarawula, silahkan tunggu di sana. nanti anda akan dipanggil."
Wah, kaya mau ke dokter saja nih, pikirku dalam hati. Keteraturan...keteraturan hampir dalam segala bidang. Itu juga menjadi ciri masyarakat ini. Ini adalah bagian dari keteraturan itu.
Sudah 30 menit saya duduk menunggu, nama saya belum juga dipanggil. Saya tidak sabar lagi dan segera menuju kembali ke ruang penerima tamu.
"Maaf, kira-kira berapa lama lagi saya harus menunggu?"Tanya saya dengan suara yang diusahakan selembut mungkin.
"Ahh, anda belum dipanggil? Saya tidak tahu, tapi coba ditunggu sebentar yaa." Dia mengangkat lagi teleponnya dan kemudian:
"Anda dapat segera ke kamar 207." Jiamput nih, apa yang membuat saya harus menunggu tadi, omel saya dalam hati. Saya segera menuju ke kamar yang dimaksud.
"Guten Tag." Sekali lagi sapaan sopan saya keluarkan.
"Guten Tag..silahkan duduk Herrr...."
"Ngarawula." Kataku sembari duduk.
"Anda berminat menyewa Wohnung di Kothenerstrasse?"
"Iya, saya telah melihat wohnung itu tadi malam."
"Itu tidak penting buat saya. Anda punya WBS?"
"Yaa." Saya mengeluarkan WBS dan menyerahkannya kepadanya. Setelah meneliti WBS saya, dia mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya:
"Tapi Wohnung itu hanya diperuntukan buat mahasiswa."
"Saya mahasiswa."
"Anda punya kartu mahasiswa?"
"Tentu, jawab saya mantap. Kartu mahasiswa saya serahkan kepadanya. Ibu itu sekali lagi mengamati kartu mahasiswa saya. Sekilas saya melihat dia memandang ke arah temannya di meja seberang. Tiba-tiba katanya kemudian:
"Ini belum cukup. Wohnung itu kami peruntukkan bagi mereka yang mempunyai penghasilan tetap. Apakah anda mempunyai penghasilan tetap?"
Naluri saya membisikan bahwa ibu ini tidak akan menyewakan wohnung itu kepada saya. Dan dia sedang mencari-cari alasan. Perut saya panas mendadak.
"Ketika mengurus WBS di Wohnungsamt, saya telah menyerahkan semua dokumen yang dibutuhkan. Termasuk surat keterangan penghasilan tetap. Apakah di sini saya harus menyerahkan lagi?"
"Oh,iya. kami tidak ada urusan dengan wohnungsamt. Di sini kami punya aturan sendiri."
"Aturan sendiri bagaimana? Bukankah ini adalah Sozialwohnung?" Suara saya mulai naik.
"Anda punya keterangan penghasilan tetap sekarang?" Tanyanya lagi. Saya membuka-buka tas saya dan merasa sangat beruntung melihat surat bea-siswa juga ada di dalam tas.
"Ini yang saya miliki..surat bea-siswa dari sebuah lembaga Jerman."
Dia menerima surat itu dan mengerutkan alisnya. Setelah meneliti sebentar, katanya lagi:
"Ini memang dapat dianggap sebagai keterangan penghasilan tetap. Tetapi dengan bea-siswa yang anda terima tiap bulan, anda tidak memenuhi syarat kami. Penghasilan atau bea-siswa anda terlalu sedikit." Jadi benar naluri saya tadi. Saya masih mencoba membantah dengan sabar.
"Yaa, anda benar. Dan bukankah oleh karena itu saya dapat memperoleh WBS? Bukankah sebuah Sozialwohnung disiapkan oleh pemerintah anda untuk penduduk dengan penghasilan rendah..seperti bea-siswa saya ini."
"Tapi kami yang menentukan standardnya."
"Di WBS itu ditulis bahwa saya berhak menyewa 1-Zi.Wohnung dengan luas maksimal 50 m 2 . Wohnung di Kothenerstrasse adalah 1-Zi.Wohnung dengan luas 45 m 2 . Jadi cocok sekali. Selain itu, saya toh tidak berkeberatan dengan ongkos sewa bulanan yang ada. Apalagi yang kurang?!" Tanya saya benar benar penasaran dan mulai kecewa.
"Penghasilan anda yang kurang." Katanya singkat.
"Coba anda pertimbangkan. Saya toh harus membayar kaution (uang jaminan) sejumlah satu setengah kali ongkos sewa bulanan. Tiap bulan uang sewa akan dipotong langsung dari rekening saya. Jika nanti saya telah menunggak satu bulan,anda bisa langsung mengusir saya dan uang jaminannya akan menjadi milik anda."
"Itu tidak bisa kami lakukan. Kami punya standard penghasilan minimal dan anda tidak memenuhi standard kami. Urusan anda sudah selesai..maaf saya masih banyak pekerjaan lain."
Hmm, dia mengusir saya secara halus, namun saya masih mau membandel.
"Berapa standard minimal anda?" Tanya saya.
Dia menyebut sebuah jumlah.
"Begini.., segera setelah masuk wohnung anda, keluarga saya: istri dan putra saya akan datang dari tanah air saya. Dan saya akan mendapat tambahan bea-siswa." Saya menyerahkan keterangan tentang tunjangan keluarga dan anak dari sponsor saya. Dia kembali membaca dengan penuh perhatian. Saya memperhatikannya dengan penuh harap.
"Hmm... jadi anda telah berkeluarga, bahkan telah mempunyai anak lagi. Makin jelas buat saya bahwa anda tidak boleh menyewa wohnung itu."
"Ha! Apa alasannya?" Saya tidak bisa menguasai diri lagi.
"Karena menurut aturan di Jerman ini, 1-Zi Wohnung tidak layak ditempati oleh sebuah keluarga beranak satu. Minimal anda harus memiliki WBS untuk 2-Zi.Wohnung,"
"Wohnungsamt tidak dapat memberikan WBS untuk 2-Zi.Wohnung karena keluarga saya belum berada di sini. Kini saya memiliki WBS untuk 1-Zi.Wohnung, tolong hak saya itu diberi."
"Tak bisa." katanya dingin.
Kali ini saya benar benar emosi.
"Anda hanya mencari-cari alasan agar tidak menyewakan wohnung itu kepada saya. Mengapa? Karena orang asing?!"
Dia diam saja memandang ke arah saya. Saya tahu, saya telah kalah karena memang tidak bisa apa-apa. Karena itu saya berkata lagi:
"Kalau memang negara anda tidak menghendaki orang asing datang ke sini, keluarkan saja larangan itu! Jangan menerima orang asing, tetapi..."
"Ini tidak ada urusannya dengan orang asing atau bukan. Selain itu kenyataannya masih banyak orang asing yang datang ke sini...termasuk anda. bahkan banyak yang akhirnya menetap di sini. Itu artinya...."
"Tidak ada artinya apa-apa." Lapat lapat saya merasa bahwa saya makin tidak rasional, tapi peduli setan. Saya lanjutkan lagi:
"Saya datang ke sini, karena mendapat bea-siswa dari lembaga Jerman. Jika tidak, saya tidak akan mau datang ke sini. Dan tinggal menetap di sini? Huh, dibayarpun saya tidak akan pernah mau."
Saya mengambil kembali surat surat saya dan sambil memasukkannya ke dalam tas, saya meninggalkan ruangan itu tanpa mengucapkan "aufwiedersehen".
Saya sangat kecewa. Di luar saya menimbang-nimbang apakah akan tetap ke institut hari ini. Ahh.. nggak usahlah. Saya malas masuk Lab. dengan suasana hati seperti ini. Toh akhirnya saya menuju Cafetaria kampus.
Sambil menikmati secangkir kopi, saya merenungkan pengalaman hari ini, kenangan akan suasana di Nachtscafe rabu malam di KSG, makan sabtu siang di KSG, teringat akan segala keterangan di buku tentang bantuan sosial di Berlin. Juga ceritra seorang teman yang studi di Munchen tentang bantuan sosial yang dia peroleh ketika putrinya lahir... sesuatu yang bisa membuat iri, karena segala kebutuhan ibu hamil dan bayinya diberikan kepada keluarga teman itu, yang sama-sama mahasiswa asing di Jerman ini.
Yaa, dua hal yang sama sama penting. Penataan sistem dan pembinaan manusia yang menjalankan sistem itu. Aspek sosial dari negara kapitalis ini, Christianto Wibisono menyebutnya kapitalisme yang telah memperbaiki diri, telah ditata dengan sangat baik. Namun praktek di lapangan akhirnya tergantung pada pelaksana-pelaksananya.
Ketika kemudian di Berlin ini, saya sempat juga mengalami dan memperoleh sebagian kecil dari paket bantuan sosial yang ada, saya tetap bersyukur karena hal itu dimungkinkan oleh sistem sosial di sini. Dan ketika pikiran melayang ke tanah air, saya tahu banyak yang harus dilakukan untuk memperbaiki sistem di sana. Yaa, jika sistemnya amburadul dan manusianya amburadul maka dapat dibayangkan berapa banyak kekecewaan yang telah terjadi.
Dalam kereta bawah tanah ketika kembali ke rumah, seorang pemuda berpakaian lusuh berkata:
"Maafkanlah gangguan ini. Nama saya Peter, saya akan menjual sebuah majalah Tuna-wisma yang terbaru. Harga majalahnya 2 DM, satu mark darinya menjadi bagian saya, sekadar untuk membeli makanan dan selimut malam. Sisanya untuk biaya produksi majalah ini agar dapat terbit terus dan menolong kami. Siapa yang rela membelinya?"
Dia lalu berkeliling dari gerbong ke gerbong menjajakan majalahnya.
Jerman..negera industri ini juga mengenal kemiskinan pada lapisan masyarakatnya. Mungkin sangat kecil prosentasenya, mungkin dengan standard kemiskinan yang berbeda, mungkin juga kebanyakan darinya adalah orang orang Eropa timur yang mencoba mencari kehidupan baru di sini. Itu semua tidak penting. Yang terpenting adalah bahwa negara ini memiliki cara-cara terpadu untuk menolong orang orang itu.